KEGANDRUNGAN terhadap ceng-cengan bukan saja tidak mengenal batas usia kelompok anak muda dan jenis pekerjaan, tempat asal kelahiran pun tampaknya memiliki kesamaan. Anak muda yang berasal dari daerah lain yang hanya sempat dibesarkan di Betawi praktis banyak yang mahir dalam ceng-cengan. Bahkan tidak jarang terjadi, adakalanya mereka lebih getol dan dapat lebih ceplas-ceplos dibandingkan anak muda kelahiran Betawi sendiri.
Sering terlihat anak muda yang asli Betawi nginyem (kalah, keok) karena di-ceng anak muda asal Sumatera Utara, Sumatera Barat, maupun yang berasal dari daerah lain yang sejak masih bau kencur (kecil, masa kanak-kanak) sudah mengenal adat Betawi.
Mereka yang kebetulan bukan dibesarkan di Betawi dalam arti baru setelah menjelang dewasa jadi penduduk Betawi kelihatannya amat bersungguh untuk dapat berbaur, dalam pergaulan sebagaimana layaknya anak muda kelahiran Betawi, termasuk ceng-cengan.
Ngeceng Sebagai Identitas
Upaya untuk memperoleh “identitas” sebagai anak muda Betawi karena terdorong oleh keinginan agar dapat bergaul sehari-hari secara akrab dengan sesamanya tidak terlepas dari kegiatan ceng-cengan dengan menggunakan bahasa Betawi dalam pergaulan. Ada kecenderungan bahwa anak muda yang masih bersekolah enggan menggunakan bahasa Indonesia secara utuh di sekolah terutama kepada sesama teman. Kalaupun ada, tetapi di sana-sini masih belum dapat terlepas sepenuhnya dari pengaruh bahasa Betawi sebagai bahasa pergaulan antarmereka.
Demikian pula bahasa daerah lain, karena bahasa daerah hanya dapat dipakai untuk komunikasi intra kelompok dan intra suku saja, padahal Jakarta sudah menjadi wadah adukan berbagai suku bangsa yang mengharuskan adanya suatu alat pengungkap solidaritas (Harimurti Kridalaksana, 1964:XIV).
Usaha untuk dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Betawi agaknya tidak mengalami kesulitan, Praktis dalam waktu yang tidak begitu lama mereka telah mampu menggunakan sebagai pengantar pergaulan sesamanya, hanya saja di sana-sini masih terdapat pengaruh logat bahasa daerah di mana mereka berasal. Tampaknya ada perbedaan waktu dalam menyesuaikan logat apabila dihubungkan dengan daerah asal. Umumnya anak muda yang berasal dari daerah Sunda, Padang, Tapanuli relatif lebih cepat dibandingkan yang berasal dari Jawa Tengah.
Mudahnya menyesuaikan diri dalam bahasa Betawi buat anak muda yang pendatang adalah wajar. Karena secara morfologi bahasa Betawi yang dewasa ini digunakan di Derah Khusus Ibukota Jakarta dan sekitarnya adalah bahasa Melayu yang sejak terbentuknya masyarakat Betawi dipakai sebagai bahasa antarpenduduk yang mempunyai latar belakang etnis dan bahasa yang beraneka ragam. Oleh karenanya struktur dan perbendaharaan kata-kata merupakan identitas bahasa kelompok etnis pemakainya.
Berlainan dengan bahasa daerah dan bahasa Melayu lainnya seperti bahasa Melayu Riau, Banjar dan sebagainya, bahasa Melayu Betawi tidak didukung oleh kelompok etnis yang sama melainkan berbagai suku bangsa.
Keaneka ragaman yang melatarbelakangi bahasa Melayu Betawi erat kaitannya dengan komposisi penduduk pada saat pembentukan bahasa itu terproses. Proses asimilasi yang berjalan wajar secara alami tersebut tentunya berkat adanya sifat toleransi masyarakat Betawi yang bersifat terbuka terhadap masalah yang menyangkut suku bangsa.
Tidak terlalu berlebihan kalau sikap keterbukaan itu merupakan andil besar dalam mempercepat proses asimilasi. Hal ini bila diproyeksikan kepada lingkup yang lebih luas dalam rangka lebih meperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa melalui proses pembaruan, sudah barang tentu sikap toleransi oleh masing-masing suku bangsa menjadi lebih penting.
Apabila sampai terjadi kelambatan proses asimilasi antar suku bangsa besar kumungkinan disebabkan oleh sikap toleransi dan simpati yang belum berkembang antara suku bangsa satu sama lain (Koentjaraningrat, 1966:47).
Upaya Mengaktualisasikan
Kedudukan ceng-cengan dalam menunjang seni budaya Betawi boleh dikatakan bukan sekedar pelengkap. Peranannya begitu besar dalam memperkaya pertumbuhan bahasa serta memberi makna positif di bidang pergaulan, khususnya bagi anak muda.
Dalam aktualisasinya itu menjadikan ceng-cengan posisinya lebih “menguntungkan” dibandingkan dengan kebanyakan unsur kebudayaan betawi lainnya. Betapa tidak, belakangan ini timbul kesan terjadi erosi nilai kebudayaan tradisionil di mana-mana, tidak terkecuali dengan kesenian dan kebudayaan Betawi sendiri.
Kesenian daerah seolah-olah mulai tergeser oleh datangnya nilai-nilai baru. Gejala tersebut oleh pihak yang besar perhatiannya akan kelangsungan kesenian Betawi memang dikhawatirkan: ”Ya sampai kapan orang Betawi dapat bertahan?, inilah masalahnya. Haruskah orang Betawi terusir dari tanah sorganya, dari alam budayanya, seperti orang Indian di Amerika atau orang Aborigin di Australia. Haruskah Lenong, Gambang Kromong, Sambrah…. Puncak-puncak kesenian Betawi yang tidak kalah indahnya itu lenyap dicaplok zaman? Bagaimana pula nasib dialek Betawi yang sempat melebarkan sayap hingga ke daerah-daerah? Haruskah dialek Betawi….yang sekarang sudah mulai mengalami erosi keasliannya ikut-ikutan sirna”. (Firman Muntaco).
Untuk mencari sebab yang menimbulkan problem tentunya tidak mudah karena banyak faktor yang harus ditelusuri. Apakah karena unsur kebudayaan itu sendiri yang oleh masyarakat pendukungnya sudah dianggap tidak dapat memberi dukungan moral sebagai suatu yang perlu dibanggakan atau secara pragmatis dapat memberi manfaat langsung secara lahir batin. Gejala kemunduran nilai tradisionil yang sudah mulai tampak barangkali akan lebih serius lagi apabila orang tua sebagai pewaris kesenian sudah tidak kuasa lagi memberi sumbangan tenaga dan fikiran bagi kelangsungan hidup kesenian Betawi secara utuh.
Memudarnya Kesenian Betawi
Memudarnya kesenian Betawi secara kualitatif dan kuantitatif dialami juga oleh jenis kesenian yang dulunya terdapat di Kemayoran, yang terkenal dengan Keroncong Kemayorannya sampai sekitar awal tahun 1960an masih manggung, juga kesenian gambang Kromong Pak Mawar. Demikian pula bentuk kesenian lain seperti Rebana banyak mewarnai upacara- upacara sosial yang diwarnai agama maupun pesta perkawinan dan khitanan. Suara gambang Kromong Pak Mawar, alunan bunyi Rebana ditabuh pada saat sekarang hanya tinggal kenangan.
Proses menurunnya unsur kebudayaan rupanya tidak hanya di bidang kesenian saja, bentuk upacara yang menyangkut sekilas kehidupan sudah terlihat gejala kemundurannya. Seperti upacara nuju bulanin, sejenis upacara bayi dalam kandungan yang berusia tjuh bulan terutama pada kehamilan pertama. Namun demikian di Kemayoran sampai saat ini masih bisa dijumpai, tetapi di sana-sini sudah banyak mengalami pergeseran. Tahap-tahap acacaranya sudah sedemikian mengalami penyederhanaan.
Kesan ingin praktis telah mulai menggeser kebiasaan yang belum jelas segi kemanfaatannya. Kalau sebelumnya untuk mandi acara itu mengambil air dari tujuh sumur, sekarang cukup dari sebuah sumur saja. Upacara gedog (cara mengurut sesaat kehamilan tujuh bulan) yang merupakan bagian upacara sebelumnya, yang banyak memerlukan persyaratan itu, kini praktis hanya sekedar upacara urut mengurut biasanya. Pendeknya upacara nujuh bulanin kini hanya dianggap sebagai upacara ikut-ikutan orang tua terdahulu. Konsekuensi kalau tidak melaksanakan tidak lebih hanya sekedar “tidak enak”kepada tetangga.
Di bidang kesenian perubahan terjadi bukan semata karena lingkungan pemilihan suatu jenis teater tradisi menjadi lebih luas, akan tetapi bisa karena manusia pendukung kebudayaan daerah tersebut sendiri telah berubah karena perubahan cara hidup, atau pergantian generasi. Dalam hal ini juga suatu perkembangan internal di dalam teater tradisi yang bersangkutan, di mana faktor penentu perubahan yang paling banyak bicara ialah kejenuhan (Edi Sedyawati, 1981:41).
Kemunduran kesenian tradisionil di Kemayoran tidak berdiri sendiri, melainkan banyak faktor yang menyebabkannya. Tidak bisa disangkal, pertumbuhan kota Jakarta yang hampir meliputi seluruh kampung yang semakin “urban” dengan segala konsekuensinya banyak memberikan andil. Para pemain Gambang Kromong sudah tidak dapat berkonsentrasi penuh seperti sebelumnya dikarenakan kesibukan masing-masing menghadapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks sesuai pertumbuhan zaman.
Setidaknya Gambang Kromong dan Rebana akan terganggu oleh kehadiran radio, televisi, orkes dangdut, dan berbagai tempat hiburan yang ada di Jakarta seperti bioskop. Belum lagi mengendurnya gairah serta kegigihan dan pengorbanan; kalau tidak ingin dikatakan sudah mulai acuh dengan kesenian tradisionil miliknya itu. Pada acara kondangan orang akan merasa lebih bergengsi bila menyajikan orkes yang panas dan mampu merangsang para muda-mudi untuk berjoget semalaman daripada hiburan yang lain di kota, adalah juga merupakan bagian dari gaya hidup (Bandingkan Umar Kayam, 1981:122).
Fungsi Ngeceng Dalam Pergaulan
Kembali pada pokok permasalahan ceng-cengan, fungsi penambah akrab pergaulan bukan hanya untuk mereka yang sudah saling kenal. Acapkali yang memiliki teman baru untuk lebih mempererat proses perkenalan dengan yang lain diajaknya menyaksikan jalannya ceng-cengan, untuk sementara memang hanya sebagai penyumbang tawa. Mengajak teman baru menyaksikan ceng-cengan tidak perlu was-was kalau secara tiba-tiba terkena “peluru nyasar”, itu hampir tidak pernah terjadi. Jangankan kepada kawannya teman yang belum saling kenal, kepada yang sudah kenal pun masih melihat berbagai pertimbangan misalnya tingkat keakraban, perbedaan usia, tingkat identitifikasi, dan yang tidak kalah penting adalah dipertimbangkannya faktor situasi.
“Kalo ngeliat temen ude kepepet berenti dong ngeceng jangan diterusin. Kita kalo terus-terusan dicengin jadi mpet juga, tapi bukannya marah, bakal ape marah, temen lain juga yang dicengin, lagian saya juga serinfg ngecengin temen, cuman kayaknya kagak pernah sampe nyakitin” (artinya: kalau melihat kawan sudah terdesak lebih baik baik berhenti ngeceng. Kita kalau terus menerus di-ceng jadi sebal juga, tetapi bukan marah, untuk apa marah, kawan lain pun banyak yang di-ceng, lagi pula saya juga sering ngeceng kawan, hanya perasaan saya tidak pernah sampai menyakitkan).
Pada batas tertentu manakala sifat kawan tang ngambekan, mudah marah dan tersinggung, itu melekat pada diri seseorang konsekuansinya akan kurang mendapat simpati dalam pergaulan. Wajarlah apabila anak muda umumnya berusaha sedapat mungkin tidak memiliki predikat yang runyam (suasana yang kurang serasi, dalam kalimat misalnya; karena saling ngotot, rapat itu jadi runyam). Caranya tentu saja harus selalu tebal telinga, tidak cepat tersinggung dalam pergaulan, terutama ketika ceng-cengan.
Kurang disenanginya teman yang memiliki sifat ngambekan bukan karena faktor subyektif. Kondisi pergaulan di mana keakraban telah menjadi tujuan utama acapkali menjadi tercemar. “Abis gimane ye, diajak becanda kebanyakan ngambueknye, nggak diajak ngomong entar katenye diacuhin, kita jadi serbe kagok ngadepinnya”. (artinya: Habis mau bagaimana, diajak bercanda malah mengambek, tidak diajak ngomong nanti dikatakan mengacuhkan, kita jadi serba canggung menghadapinya). Demikian pendapat seorang anak terhadap teman yang gampang ngambek dalam pergaulan.
Dari hasil penelitian, tidak seorang pun dari informan yang menyatakan sifat ngambekan itu baik. Berikut ini contoh sebuah kasus ceng-cengan yang salah satu pihak ngambeukan. Objek ceng-cengan ialah kacamata minus yang cukup tebal ukurannya. Ketika salah seorang rekan ngeceng dengan bentukan kata: ”Kacamata, kekeran bajak laut?”, seperti biasanya yang lain pun ikut nimbrung (ambil bagian) dengan kata-kata: ”Kacamata begitu bahaya, bangsat (kutu busuk) bisa keliatan segede bemo”. Keinginan teman-teman si pemakai kacamata membalas ngeceng dengan seperangkat kata yang kocak pula. Rupanya keadaan tidak demikian, situasinya menjadi terbalik. Ia merajuk sambil melontarkan kata-kata: ”Mulut jangan kaya perempuan akh, kite mau pake ape ke, usil aje, urusin dong diri sendiri” (artinya; Mulut jangan seperti perempuan akh, kita mau pakai apa saja terserah kita, mau ikut campur saja, urus diri sendiri).
Biasanya kalau ada yang ngeceng balasannya seperti itu suasana sudah tidak sedap lagi. Gelak tawa yang serba ceria sirna, biasanya berubah menjadi serba kaku. Suasana seperti itulah yang paling tidak disukai anak muda dalam pergaulan sehari-hari, disamping sifat ngambekan dalam pergaulan.
Ceng-cengan sebagai bentuk komunikasi yang bernada senda gurau saat berlangsungnya selalu disertai suasana meriah diliputi gelak tawa. Terkadang bobot kata-kata dapat mempengaruhi suasana ceng-cengan, hal itu disebabkan karena adanya perbedaan tingkat kemampuan menghadapi dinamikanya ragam kata yang diucapkan.
Menurut ukuran yang umum, suasana yang dianggap ”istimewa”lah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi dalam ceng-cengan, seperti sedang berduaan dengan pacar, orang tua, dengan mertua, atau calon mertua. Pada situasi seperti itu bobot kata yang tadinya biasa saja dapat menjadi bentuk kebangetan (keterlaluan). Apabila sampai terjadi, dapat merubah fungsi ceng-cengan yang tadinya sebagai penambah pergaulan, malah merenggangkan persahabatan. Anak muda umumnya paham betul dengan situasi itu, kalaupun terjadi ngeceng bentuknya hanya sebagai sapaan biasa. [T]
BACA artikel sebelumnya: