HABERMAS memandang bahasa sebagai manifestasi kebutuhan manusia untuk berkomunikasi. Bahasa adalah sarana integrasi sosial antara berbagai subjek komunikasi dan sarana sosialisasi kebutuhan, serta kepentingan yang melatarbelakangi komunikasi.
Habermas mengembangkan gagasan tentang manusia sebagai komunikator yang rasional dalam kehidupan. Bagi Habermas, inti persoalan manusia adalah bagaimana memperoleh rasionalitas komunikatif, yaitu syarat-syarat yang memungkinkan komunikasi rasional antarindividu dan budaya yang berbeda.
Bahasa sebagai identitas dalam perilaku manusia dapat beralih sebentar ke bahasa berbeda untuk alasan sosial, yaitu memberi tahu dan membangun secara aktif identitas etnik dan solidaritas dengan lawan bicara. Pakar sosiolinguistik Champion berpendapat dalam Liliweri (2018) bahwa identitas utama suatu etnik adalah bahasa.
Kenneth Burke juga mengatakan bahwa bahasa menjadi faktor yang sangat penting untuk menentukan identitas budaya, baik bahasa verbal maupun nonverbal. Bukan saja menandai identitas budaya, tetapi juga identitas peran di dalam masyarakat. Kata-kata yang dipilih sebagai pengganti bahasa asli berperan sebagai penanda identitas etnik.
Tradisi Lisan yang Menghibur
Gagasan Habermas intinya adalah suatu rasionalitas yang sama bagi semua peserta dialog sebagai syarat komunikasi. Pikiran Habermas dapat digunakan untuk memotret suatu tradisi lisan yang berkembang di masyarakat lokal kita, seperti berbalas pantun, musyawarah, guyonan; baik ala masyarakat Jawa Timuran, Jawa Tengah Banyumasan ngapak, Sunda, dan Betawi.
Saya yakin, hampir setiap daerah memiliki cara masyarakat menghibur dirinya dengan bahasanya, berseloroh, humor, yang tentunya sudah hidup sejak masyarakat itu ada. Perlu dilakukan penelitian yang serius untuk hal ini, karena menurut saya ini bagian dari kearifan lokal masyarakat pendukungnya.
Menurut saya, tradisi lisan ini merupaka hiburan yang membuat masyarakat bahagia (happy). Bila melihat tayangan lawakan, sinetron, film, pentas teater, banyak juga yang mengambil atau mengangkat tradisi lisan yang berkembang di masyarakat. Sebut saja lawakan Srimulat yang pernah berjaya beberapa dekade, Opera Van Java (Parto dan Sule cs), group lawak Jayakarta (Jojon cs), group lawak Pelita (Kimung cs, dengn nuansa etnik Jawa, Batak, Minang, Sunda), lawakan de Kabayan (kang Ibing cs), film-film Benyamis S, dan sinetron si Doel yang berlatar Betawi.
Bila kita perhatikan dialog-dialog dalam pementasan mereka ada satu kekhasan yang menurut saya selalu terjadi ledek-ledekan, main ”kata-kataan”, atau dalam bahasa orang Betawi adalah ngeceng, ceng-cengan. Agar pentasnya menarik dan lucu, mereka melakukan yang namanya ceng-cengan dalam setiap episodenya. Kebetulan saya tumbuh remaja di Kota Tangerang sebelah timur, yang sedikit banyak dipengaruh oleh budaya Betawi.
Pementasan lawakan atau stand up komedi yang lagi tren di kalangan anak muda sekarang, agar meriah dan lucu mereka melakukan ledek-ledekan atau ceng-cengan, apakah di antara peserta lakon atau dalam monolog sekalipun. Mereka bernarasi agar tetap lucu, biasanya mereka ”membully”, perihal apa yang mereka sampaikan.
Istilah yang berkembang guyon gaya anak remaja kala itu sering disebut di- cengin, ledek-ledekan. Istilah anak remaja sekarang bully. Entah dari mana istilah itu, bully memiliki kesan tidak baik dan cenderung sadis, berbeda dengan istilah ceng-cengan.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan gagasan Habermas, bahwa komunikasi atau dialog akan terjadi bila frekuesinya sama, antara komunikator dan komunikan sudah in tune. Terkait hal ini ada satu penelitian menarik dari Darmani (1990) yang berjudul Peranan Bahasa Dalam Budaya Komunikasi, Studi Mengenai Ceng-cengan pada Masyarakat Betawi di Kemayoran. Salah satu aspek kebudayaan khas yang dimiliki masyarakat Betawi ialah apa yang dikenal dengan ngeceng, dan ceng-cengan, atau main ledek-ledekan, bersilat lidah dalam kontek humor yang penuh canda.
Ngeceng, ledek-ledekan, berseloroh, guyon dan sebutan lainnya, sifat yang cukup menonjol bagi kebanyakan orang Betawi. Humor mempunyai hubungan erat dengan ceng-cengan yang merupakan topik pembahasan tulisan ini. Ceng-cengan yang merupakan kegiatan komunikasi bernada senda gurau itu dalam dialog memang penuh dengan humor. Sehingga tidak mengherankan kalau kegiatan itu berlangsung banyak disertai dengan gelak tawa. Sebagai aktivitas komunikasi, ngeceng tetap harus memeperhatikan etika.
Istilah ngeceng sejauh pengetahuan saya sudah ada sejak lama. Pertama saya mengenal istilah ini saat duduk di kelas 2 SMP tahun 1978.Namun sejak kapan istilah ini digunakan di kalangan remaja, wallahulam bissawab, karena sudah sejak lama dikenal masyarakat. Peribahasa Betawinya,“dari zaman kude gigit besi istilah ngeceng ude ade, walhasil itu bukan hal baru”.
Sampai sekarang praktis masih tetap digunakan. Bahkan terus berkembang, bertambah banyak pendukung tradisi ini dalam acara dan pementasan film sinetron, lawakan dan lain-lain. Dengan demikian ngeceng tampaknya sudah menjadi salah satu bagian tata pergaulan masyarakat Betawi, dan mewarnai berbagai aktivitas masyarakat di sekitarnya.
Bentuk dan Kegiatan Ceng-cengan
Biasanya diawali oleh salah seorang anak muda yang seolah-olah berperan sebagai pemancing inisiatif. Kemudian setelah berlangsung, dari sejumlah anak muda yang terlibat, ada yang aktif tapi ada pula yang hanya berperan sebagai pemberi “bumbu” dengan menyelipkan kata-kata lucu dalam bentuk ceng-cengan yang sedang berlangsung.
Katakanlah sabagai penyumbang moral kepada yang ngeceng, kemudian beralih kepada yang di-ceng. Mengingat bentuk ceng-cengan banyak ragamnya, agar menjadi jelas berikut akan diketengahkan salah satu contoh, termasuk situasi berlangsungnya.
Sekelompok anak muda berkumpul, suasananya santai dan tampak meriah. Sesaat kemudian datang rekan sebaya dengan langkah pasti dan penuh percaya diri. Ia mencangking atau membawa sebuah gitar yang penuh tempelan berbagai macam stiker yang gambar maupun tulisan bargaya pop, romantis dan berkesan lucu.
Kedatangan teman yang baru itu cukup menarik perhatian rekan yang berkumpul lebih dulu. Ada suatu yang menarik, tampaknya bukan karena gitar maupun pakaian yang melekat di badannya, melainkan jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya.“Baru nih yeee, jam tangan jengkol bewe?” (arti bebasnya kira-kira: baru ya, jam tangan mu kok seperti jengkol yang telah dipendam beberapa hari), terlontar seberkas kata-kata bernada ngeceng dari salah satu seorang rekan.
Si pemakai jam tangan, mendapat serangan tiba-tiba itu tidak berkecil hati apalagi tersinggung. Sedikitpun tidak tergambar kekecewaan pada wajahnya. Bahkan begitu spontan benaknya yang bagaikan komputer segera memprogram serangkaian kata – kata untuk balasan yang inspirasinya bersumber dari jaket yang dikenakan rekan yang ngeceng lebih dulu.
“Masih mendingan gue, gini-gini kan arloji canggih kuning bukan sembarang kuning, kuning emas. Timbang elu, jaket ape kutang nenek-nenek” (arti bebasnya: masih lebih baik jam tangan saya, walaupun begini arloji canggih, kuning bukan sembarang kuning, kuning emas. Daripada kamu pakai, jaket seperti kutang / BH nenek-nenek). Balasan spontan tersebut disambut oleh rekan-rekan dengan tawa bersambungan, sedangkan yang baru saja menerima balasan terdiam sejenak untuk menyusun strategi lebih lanjut.
Semetara terdapat kesenjangan, salah seorang rekan mengambil kesempatan menimpali. “Eeee.., biar kaya kutang nenek–nenek itu kan barang antik, manjur bisa ngebaein anak kecil yang kesambet, tutupin mukannye kontan bae” (arti balasannya : Eee.., biar seperti kutang nenek–nenek itu kan barang antik, mujarab dan dapat menyembuhkan anak kecil yang sakit karena gangguan roh halus, tutup wajahnya langsung sembuh). “Bukan mengandung obat, tapi bau selangkangan onta, mana tahan, jin juga kabur ame baunye” (arti bebasnya : Bukan mengandung obat, tetapi bau antara dua paha onta, siapa yang tahan, jin saja lari cium baunya). Begitu sela rekan lain.
Objek Benda
Pada ceng-cengan seperti diilustrasikan tersebut yang menjadi objeknya benda, yakni jam tangan dan jaket. Kedua jenis benda yang menjadi objek tadi untuk dapat dieksploitasi menjadi bahan ceng-cengan tidak perlu memiliki bentuk terlalu unik. Sedikit saja dianggap memiliki “kelainan” dapat dikembangkan menjadi bahan ceng-cengan.
Terhadap jam tangan yang dipakai tadi bentuknya cukup normal, bulat tidak berbenjol–benjol seperti pecahan batu koral. Lagipula model seperti itu banyak dipakai orang. Barangkali karena ukurannya saja yang agak maksimal, sedangkan yang memakainya kurus ceking, membuat benda itu amat kontras melingkar di pergelangan tangan kirinya yang kurang lebih sebesar batang tebu.
Demikian pula dengan jaket, melihat bahannya tidaklah terlalu jelek, warnanya pun cukup cerah, tidak lentur atau dekil termakan usia. Hanya saja karena dikenakannya kurang pas atau agak serba tanggung sehinnga dikatakan sebagai kutang nenek-nenek. Menurut ukuran umum tidak terlihat di mana letak segi lucunya benda tersebut.
Kutang hanyalah sejenis pakaian dalam wanita; yang dikatakan kutang nenek–nenek di Betawi sudah lazim dikenakan khususnya oleh mereka yang sudah setengah baya ke atas. Tapi kenyataannya begitu disebut dalam kontek ceng-cengan nyaris mengundang tawa.
Selain benda, bagian anggota tubuh dan sifat seorang dapat memberikan inspirasi ceng–cengan. Untuk bagian tubuh hanya kelainan yang tidak begitu parah saja yang dijadikan sasaran. Semakin parah tingkat kecacatan tubuh seseorang semakin enggan dijadikan objek, apalagi saling berhadapan langsung.
Sebagai misal, mereka yang tertatih-tatih karena cacat, biasanya hanya ditempatkan sebagai pelengkap. “jalan bergaya nih yee, petantang–petenteng gonjet kaya si Anu” (arti bebasnya : berjalan penuh gaya, mondar-mondar pasang aksi sambil junjit-jinjit seperti si Anu). Yang dimaksud si Anu ialah mereka yang berjalan berjinjit–jinjit dan tidak berada di tempat saat ceng-cengan berlangsung.
“Ceng-cengan emang udeh jadi kebiasaan, apalagi anak muda, tapi kalo ngeceng yang badannye kagak normal rasanye kagak tega” (arti bebasnya: Ceng-cengan emang sudah menjadi kebiasaan anak muda, tapi kalau ngeceng yang badannya tidak normal rasanya tidak tega), kilah anak muda yang termasuk getol (gandrung) ceng-cengan.
Bagian tubuh yang dapat dijadikan sasaran ceng-cengan meliputi dari kepala sampai kaki. Di bagian kepala sekitar wajah bisa beraneka ragam seperti berikut : untuk bagian hidung: hidung dot militer; bagian bibir: bibir apa puser beruang, bagian gigi: gigi apa pacul kuburan, bagian dahi: jidad apa pantat monyet.
Terkadang sesuatu yang wajar dapat diaktualasikan menjadi objek. Model sisiran rambut misalnya, padahal sudah demikan rapih dengan jambul berbentuk tipis, dikatakan: “jambul apa sendok semen” (arti bebasnya: jambul seperti sendok semen).
Objek Sifat
Mengenai sifat seseorang, walaupun objek sasarannya sama yaitu tentang diri pribadi, tetapi antara ngeceng yang objeknya bagian tubuh dan sifat pribadi ada perbedaanya. Kalau bagian tubuh terdapat kesan masih memilih-milih, untuk sifat pribadi agak bebas.
Beberapa contoh ngeceng yang objeknya sifat seseorang adalah sebagai berikut: Untuk anak muda yang makannya gembul (banyak) : “makannya sedikit yee, cuma kagak sekalian piringnya dilalap” (arti bebasnya: makannya sih sedikit, hanya saja piringnya tidak sekalian dimakan). Mereka yang mempunyai sifat agak pelit : “dia ude berenti ngeroko, minta sih jalan terus”.
Seringkali pula keadaan lingkungan turut mengilhami semaraknya ceng-cengan, seperti dalam bentuk: “badannya wangi, bau jamban pinggir kali”. Rupanya ragam kata yang digunakan dalam ceng cengan tidak begitu mempersalahkan kaitan makna antara satu sama lain.
Bahkan acapkali pula terdapat kata-kata yang sulit dibayangkan maknanya, bahkan boleh dikatakan membingungkan, seperti berikut: muka apa selangkangan onta, nyanyi kaya geledek kentut, bibir apa jempol Idi Amin (Presiden Uganda 1970an yang memiliki wajah dan perilaku sangar, bengis, dan sadis). Dari contoh tersebut tentunya dapat menimbulkan pertanyaan, bagaimana selangkangan onta, seperti apa geledek kentut dan bagaimana pula jempol Idi Amin. Barangkali yang ngeceng pun tidak dapat menjelaskan yang dikatakan apalagi orang lain, yang tidak terlibat dalam aktivitas tersebut.
Apa yang menarik anak muda melibatkan diri dalam kegiatan ceng-cengan memang belum diadakan peneltian secara mendalam. Sementara ini yang menjadi pendorong ialah terletak pada unsur kocak dan sifat keakraban yang terdapat dalam kegiatan itu.
Pada umumnya anak muda Betawi menyatakan senang sekali pada tradisi ngeceng, karena menyatakan senang gembira, tertawa itu sehat bikin awet muda, humor membuat tertawa dapat menhilangkan pikiran ruwet. Dengan humor akan menambah akrab dalam pergaulan anak muda, dan tentunya happy bahagia. [T]
- Tulisan ini bersambung pada bagian 2 yang akan membahas hubungan kocak dengan ceng-cengan.
Baca artikel berikutnya: