JIKA pembaca pernah berkendara di Tibubeneng, bisa jadi akan mengalami stres.
Desa yang terletak di Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali, itu adalah bagian dari kawasan Canggu yang dulunya merupakan desa nelayan dan tidak terlalu ramai.
Kemacetan di Canggu, terutama saat jam-jam sibuk, hampir sama dengan kota besar di Pulau Jawa; kendaraan tidak bisa bergerak.
Atau jika pun bisa, bergerak dengan lamban. Bus, mobil, sepeda motor, dan truk-truk pengangkut material terlihat memenuhi jalan yang sempit, jika dibandingkan dengan jalan di kota-kota provinsi lain di Indonesia.
Overtourism kerap kali dikatakan sebagai penyebab kemacetan lalu lintas di Badung, yang menjadi destinasi wisata terkemuka dengan banyaknya akomodasi pariwisata seperti restoran, hotel, beach club, dan juga vila.

Lalu-lintas di Canggu | Foto: Angga Wijaya
Pembangunan yang masif mengakibatkan alih fungsi lahan, yang sayangnya dianggap biasa. Sawah-sawah menyusut secara drastis. Canggu lambat laun menjadi “kota baru” yang ramai ditinggali oleh orang asing, baik itu wisatawan yang berlibur maupun menetap secara permanen; bekerja, berkeluarga, membangun usaha, dan lain sebagainya. Mereka pun telah “menyatu” dengan gaya hidup dan budaya penduduk lokal.
Harga tanah dan properti di Canggu melonjak tinggi, termasuk harga sewa toko-toko dan kios. Perputaran dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi terutama pasca pandemi COVID-19 secara kasat mata memang menunjukkan kemajuan.
Namun, di sisi lain melahirkan banyak perubahan terutama tentang demografi yang jauh berubah. Ibarat pepatah “ada gula, ada semut”, Canggu menjadi daerah tujuan migrasi penduduk dari berbagai tempat di Indonesia bahkan luar negeri.
Lapangan pekerjaan yang luas, sebagai dampak sampingan pariwisata tidak hanya diisi oleh warga lokal semata, tetapi juga warga perantau. Canggu pun bisa dikatakan menjadi seperti Jakarta yang menjadi tujuan migrasi. Tempat-tempat kos atau rumah kontrakan milik warga setempat selalu penuh. Itu penanda bahwa kebutuhan akan tempat tinggal sementara atau permanen sangatlah besar.
Para pekerja misalnya pada sektor pariwisata dan turunannya memenuhi Canggu, dengan segala dinamika dan “mimpi manis” tentang upah minimum kabupaten (UMK) yang menjanjikan dan menduduki peringkat tertinggi di Bali.
Kemacetan lalu lintas di Canggu, bisa dijadikan parameter tentang Bali di masa depan. Pembangunan jalan baru tentu tidak menjadi solusi tepat, jika misalnya pemerintah tak membangun dan memikirkan tata kelola kota: dalam hal ini transportasi publik.

Lalu-lintas di Canggu | Foto: Angga Wijaya
Tidak seperti destinasi wisata di luar negeri—atau tidak jauh-jauh kota besar di Indonesia yang memiliki sistem transportasi yang baik, menjadi aneh jika Bali kini belum punya sistem transportasi publik yang misalnya antar kota dan dalam kota yang terintegrasi.
Dulu, pada era 1980-an hingga 2000-an, terdapat transportasi publik yang dikenal dengan nama “bemo” di Kota Denpasar dengan jalur dari dan ke terminal-terminal yang ada, bahkan hingga ke wilayah kabupaten Badung, seperti Tuban dan Benoa.
Masih segar di ingatan saya, saat liburan sekolah berkunjung ke Denpasar dan Badung dengan menumpang bus dari Negara, Jembrana, Bali wilayah barat, menuju terminal Ubung, Denpasar dan selanjutnya menuju terminal Tegal. Dari sana saya menaiki bemo menuju Tuban, dekat bandara Ngurah Rai, untuk kemudian berkunjung ke rumah seorang kakak di wilayah tersebut.
Sistem transportasi yang bisa dibilang telah terintegrasi tersebut sayangnya tidak dipertahankan oleh pemerintah lokal. “Serbuan” kendaraan pribadi baik mobil dan sepeda motor yang konon menjadi pemasukan besar pajak pendapatan daerah, pelan-pelan menggeser kebiasaan warga yang dulunya biasa berpergian dengan transportasi publik menjadi memilih terutama sepeda motor, membuat jalanan bertambah macet dari tahun ke tahun.
Terminal makin sepi dan berubah fungsi. Sopir “bemo” kehilangan mata pencaharian. Belum ada kebijakan yang memihak mereka. Ada sopir yang bertahan, ada yang tidak lagi menjadi sopir.
Kemacetan lalu lintas yang diakibatkan salah satunya oleh jumlah kendaraan pribadi yang melampaui batas, bisa membuat Bali akan ditinggalkan oleh wisatawan. Siapa yang mau terjebak kemacetan ketika menuju obyek wisata misalnya dengan bus pariwisata, yang awalnya bersemangat menjadi hilang semangat dan bahkan “tersiksa” berlama-lama di jalan? Hal ini tentu perlu dicarikan solusi segera, tidak hanya dengan program pembuatan jalan baru, seperti dalam kampanye pada Pilkada Bali beberapa waktu lalu.

Lalu-lintas di Canggu | Foto: Angga Wijaya
Pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) di Bali akan tidak berdampak apa-apa jika kesadaran dan kebanggaan juga “budaya” naik transportasi publik tak ada. MRT akan “jalan” sendiri sementara warga tetap akan memilih sepeda motor dan mobil untuk bepergian sehari-hari, sehingga kemacetan menjadi pemandangan rutin, yang tentu bisa berdampak pada kesehatan mental masyarakat karena merasakan tekanan atau stres di jalan raya. Belum lagi, angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas terutama sepeda motor sangat tinggi di Bali.
Jika ingin melihat masa depan Bali, lihatlah Canggu saat ini. Pariwisata budaya yang pernah menjadi “jargon” dan dengan bangga disampaikan para pejabat, kini menemui tantangan yang tidak mudah. Dari mana kita mesti mengurai “semrawut”-nya Bali sekarang? Entahlah, saya selaku orang Bali yang juga “perantau” merasa tidak mampu menjawabnya.
Hal yang pasti, dialog antarpemangku kebijakan perlu lebih banyak dilakukan. Bali tidak butuh lagi banyak retorika di-“awang-awang”, namun aksi nyata untuk mencari solusi permasalahan yang menggelayuti Pulau Dewata, sebagai “rumah bersama” di mana penduduknya makin beragam baik dari suku, agama, maupun ras.
Canggu pun sebenarnya bisa dijadikan “laboratorium” tempat siswa, mahasiswa, akademisi, dan para peneliti terutama bidang sosial dan budaya untuk mencari “formula” atau kajian tentang apa dan bagaimana pengelolaan Bali yang tepat dan baik, pada masa sekarang dan masa depan.
Berkendara di Canggu bisa menjadi awal baik untuk “merasakan” apa yang menjadi kendala dan tantangan Bali, baik itu pariwisata, alih fungsi lahan, demografi, dan lain sebagainya.[T]