31 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Kembalinya Mimpi dan Puisi: Perjalanan Saya dan Sonia ke (dan dari) APWT di Chiang Mai, Thailand

Pranita DewibyPranita Dewi
December 9, 2024
inTualang
Kembalinya Mimpi dan Puisi: Perjalanan Saya dan Sonia ke (dan dari) APWT di Chiang Mai, Thailand

Kadek Sonia Piscayanti (kiri) dan Pranita Dewi (kanan) di konferensi Asia Pacific Writers and Translators (APWT) di Thailand | Foto: Dok. Pranita

JIKA keinginan yang kuat disebut mimpi, maka mimpi-mimpi saya di masa muda adalah seperti hantu gentayangan—berjalan panjang penuh belokan, sering kali tidak tahu harus ke mana. Ada mimpi yang saya impikan sejak belia tetapi tak pernah diraih. Ada mimpi yang saya tahu takkan pernah terwujud.

Ada pula mimpi yang saya kejar dengan segenap daya, hanya untuk dikubur oleh pergolakan hidup. Salah satu mimpi itu adalah puisi. Namun siapa sangka, dua dekade kemudian, justru puisi yang menjadi penopang saya untuk kembali percaya pada hidup.

Dulu, dunia bagi saya adalah puisi yang terhampar luas. Setiap daun yang jatuh, langit biru, hingga lapisan bumi di bawah kaki saya adalah puisi. Saya percaya bahwa apa pun yang saya lihat, rasakan, dan alami adalah puisi. Namun, seiring waktu, hidup merenggut kesempatan itu. Bukan karena apa-apa, tetapi karena saya terlalu malas untuk terus menulis.

Saya menyalahkan waktu yang berlalu begitu cepat sedangkan masih banyak pekerjaan yang harus saya tangani untuk sekadar memastikan bahwa saya cukup bisa melanjutkan hidup sebagai alasan untuk berhenti menulis.

Kadek Sonia Piscayanti (kiri) dan Pranita Dewi (kanan) di konferensi Asia Pacific Writers and Translators (APWT) di Thailand | Foto: Dok. Pranita

Saat berusia 16 tahun, saya mencintai puisi dengan sepenuh hati. Puisi menjadi dunia saya di mana saya percaya bahwa puisi akan membawa saya mengembara ke tempat-tempat yang hanya ada dalam mimpi. Namun, kehidupan mengajarkan saya tentang rasa takut, hingga keberanian saya menulis pun menghilang.

Tetapi ketika mencoba melupakannya, puisi terus menghantui saya, seperti kutukan yang tak bisa saya hindari. Saya cukup sadar bahwa setiap pengalaman hidup sebenarnya adalah puisi, tetapi saya tak berani lagi menuliskannya. Saya tidak berani lagi.

Dua tahun terakhir, setelah melalui perceraian yang berat, saya memutuskan kembali kepada puisi—satu-satunya hal yang saya percayai. Saya mulai menulis lagi, mengikuti kelas menulis, dan menemukan kembali kebahagiaan yang lama hilang. Ada rasa lega ketika tulisan saya dimuat kembali, seperti dulu. Kini, saya yakin tidak akan berhenti lagi.

Puisi membawa saya pada peluang-peluang baru, termasuk undangan ke konferensi Asia Pacific Writers and Translators (APWT) di Thailand. Undangan itu datang berkat rekomendasi sahabat lama saya, Kadek Sonia Piscayanti. Perjalanan ini bukan hanya tentang puisi, tetapi juga tentang persahabatan kami yang telah terjalin lebih dari dua dekade.

Pranita Dewi saat membaca puisi di konferensi Asia Pacific Writers and Translators (APWT) di Thailand | Foto: Dok. Pranita

“10 kilo cukup, Nya! Serius! Kita pasti bisa bawa semuanya,” ujar saya dengan percaya diri sambil menjejalkan barang-barang tambahan ke koper yang sudah penuh sesak.

Sonia, yang selalu lebih hati-hati, menghela napas panjang. “Aku yakin kita harus perhitungkan ulang. Kalau kelebihan, bakal repot nanti.”

Saya hanya tertawa. “Santai saja! Kalau ada masalah, improvisasi aja,” jawab saya sambil memasukkan sepasang baju tambahan.

Masalah dimulai saat kami akan pulang ke Bali. Di loket check-in, wajah saya langsung pucat ketika petugas mengumumkan: batas bagasi hanya 7 kilogram. Berat koper saya? Hampir 11 kilo.

Pranita dan Sonia bersama para penulis dan penerjemah peserta Asia Pasific Writers and Translators | Foto: Dok. Pranita

“Aduh, Nya! Kok bisa begini?” Saya mencoba tersenyum untuk menutupi kegugupan.

Sonia menghela napas lebih panjang dari biasanya. “Karena kamu terus menambahkan barang dan mengabaikan batasan, Pranita. Aku udah bilang, jangan anggap enteng aturan.”

Saya mencoba mencari solusi khas saya. “Gampang, gampang! Aku pakai tiga lapis baju. Buku-buku ini aku sembunyikan di jaket.”

Sonia hanya menggeleng pelan. “Trik seperti itu nggak akan berhasil. Kita harus realistis. Beli bagasi tambahan saja.”

“Tapi mahal!” protes saya.

Pranita dan Sonia bersama para penulis dan penerjemah peserta Asia Pasific Writers and Translators | Foto: Dok. Pranita

“Justru karena mahal, makanya dari awal aku bilang jangan sampai kelebihan,” jawab Sonia dengan nada tetap tenang.

Akhirnya, saya terpaksa membeli bagasi tambahan di loket boarding. Saat petugas menyebutkan harganya, saya nyaris terjatuh. “Astaga! Harga segini bisa buat makan dua minggu di Bali!”

Sonia hanya tersenyum kecil, lalu menepuk bahu saya. “Pelajaran untukmu. Lain kali, dengarkan aku.”

Kami akhirnya duduk di pesawat, kelelahan tetapi lega. Sonia membuka buku, sementara saya segera tertidur.

“Setidaknya, kita pulang bawa banyak cerita,” gumam saya sebelum terlelap.

“Dan pelajaran,” tambah Sonia.

Sonia (kiri) saat menjadi pembicara di Asia Pasific Writers and Translators | Foto: Dok. Pranita

Perjalanan ini mengukuhkan satu hal: persahabatan adalah perpaduan antara kebijaksanaan dan kegilaan, dengan bumbu kejutan tak terduga lainnya. Bagaimanapun, hidup adalah tentang saling melengkapi, seperti dunia dan puisi yang ingin terus kami tulis bersama.

Eits, sebentar! Saya ingin mencoba menutup tulisan ini dengan kesimpulan tentang persahabatan kami: kombinasi antara yang bijaksana (Sonia) dan yang gila (saya). Tapi, pikiran saya sepertinya punya agenda lain—masih banyak yang mau saya ceritakan! Jadi, mari kita tambahkan beberapa momen lagi di tulisan ini.

Sonia itu definisi hidup dari perempuan yang super rapi, cerdas, dan perfeksionis level platinum. Saking terstrukturnya, pernah suatu kali kami duduk di meja makan, di depan kami terhampar hidangan khas Thailand yang menggoda. Makanan ini kami beli dari warung pinggir jalan yang mirip dengan warung lalapan di Indonesia.

Sonia, seperti biasa, sudah merencanakan segalanya dengan matang. Dia memilih menu dengan perhitungan seperti seorang ahli strategi perang. Ketika makanan tersaji, dia memandang meja dengan ekspresi serius. Lalu dia bertanya, “Aku masih berpikir, bagaimana cara kita memakan ini?”

Pranita Dewi saat membaca puisi di konferensi Asia Pacific Writers and Translators (APWT) di Thailand | Foto: Dok. Pranita

Saya? Tentu tidak pakai mikir panjang. Saya langsung mengambil alat makan, mencapit lauk, dan memasukkannya ke mulut. “Begini caranya, Sonia,” jawab saya sambil mengunyah dengan bahagia.

Sonia tertawa terbahak-bahak sampai hampir terjungkal dari kursinya, dan saya ikut tertawa sambil melahap semua udang yang ada di piring. Udang itu, by the way, adalah favorit saya. Saat tinggal satu ekor udang tersisa, Sonia tiba-tiba berkata, “Boleh aku coba satu? Soalnya yang lain tinggal cangkang semua.”

Dengan polos saya menjawab, “Loh, aku pikir kamu nggak suka udang. Makanya aku habiskan.”

“Tidak suka, bukan berarti tidak mau coba!” balas Sonia sambil menatap udang terakhir seperti itu adalah tiket emas ke surga. Kami tertawa sampai perut sakit, di tengah jalan yang penuh lalu lalang orang asing yang bingung melihat dua perempuan konyol ini.

Malam lainnya, setelah hari panjang yang dipenuhi panel-panel diskusi di konferensi, kami pulang ke penginapan dengan kaki yang nyaris menyeret. Sesampainya di meja resepsionis, saya meminta kunci kamar. Resepsionis yang tampak ramah, tetapi mungkin agak bingung melihat wajah saya yang belepotan capek, bertanya:

“Who are you? What brings you here?”

Pranita dan Sonia bersama para penulis dan penerjemah peserta Asia Pasific Writers and Translators | Foto: Dok. Pranita

Tanpa berpikir panjang—karena ya, otak saya sudah hampir shutdown—saya menjawab, “I am No Body.”

Sonia yang berdiri di samping langsung menghela napas (khas Sonia) sebelum buru-buru menjelaskan kepada resepsionis bahwa kami sedang mengikuti konferensi. Ternyata, resepsionis bertanya karena dia menemukan bahwa pemesan kamar kami adalah seorang professor (yup, dengan gelar “Doctor”).

Dia hanya ingin memastikan bahwa orang di depannya adalah sang professor, tentu dugaannya salah. Saya bukanlah seorang professor, tetapi memang yang memesankan kamar kami adalah seorang professor.

Tentu, saya tahu arah pertanyaan itu. Tapi karena malas panjang-panjang, saya pikir jawaban “I am No Body” sudah cukup efisien.

Reaksi Sonia? Dia terbahak-bahak. Sepanjang perjalanan naik tangga ke kamar, dia terus tertawa. Bahkan dia harus bersandar ke dinding untuk menenangkan diri, saking ngakaknya. Sementara saya? Saya cuma bergumam sambil mengangkat bahu, “Kan memang benar, aku ini nobody.”

Pranita Dewi saat membaca puisi di konferensi Asia Pacific Writers and Translators (APWT) di Thailand | Foto: Dok. Pranita

Sonia menyahut di sela tawanya, “Kalau kamu nobody, berarti aku apa? Somebody?!”

Kami tertawa lagi. Tawa itu akhirnya membawa kami ke tempat tidur yang nyaman, diiringi pikiran bahwa hidup tidak pernah kekurangan momen absurd.

Lalu, bagaimana dengan pengalaman di APWT? Di sana, saya bertemu banyak kenalan baru, menyerap ide-ide segar yang kerapkali diselimuti atmosfer yang positif. Panel-panel diskusi yang intim memungkinkan interaksi langsung dengan para pembicara. Tidak ada penghakiman, hanya apresiasi. Saya dan Sonia akan menuliskan cerita khusus tentang ini nanti.

Yang jelas, saya akhirnya menyadari bahwa puisi adalah jati diri saya yang tak pernah benar-benar hilang. Pengalaman di APWT menjadi titik balik yang mempertegas keyakinan saya: puisi adalah rumah, dan akhirnya, saya pulang.[T]

Menjelajah Chiang Rai, Tertambat di Union of Hill Tribe Thailand
Night Market Chiang Mai: Surganya Makanan, Minuman, dan Souvenir di Thailand
Jalan-Jalan Pagi di Desa Pai, Thailand: Gambaran Nyata Desa Wisata
Perjalanan ke Thailand: Menimbang Utara di Chiang Mai dan Utara di Bali
Tags: APWTAsia Pacific Writers and TranslatorsChiang MaiThailand
Previous Post

Riwayat “Menak” Banten dan Asal-Usul Banten Versi Orang Baduy

Next Post

Mengenal Sawah dan Ekosistemnya melalui “Jelajah dan Belajar” di Subak Tegallinggah, Tabanan

Pranita Dewi

Pranita Dewi

Penyair. Tinggal di Denpasar

Next Post
Mengenal Sawah dan Ekosistemnya melalui “Jelajah dan Belajar” di Subak Tegallinggah, Tabanan

Mengenal Sawah dan Ekosistemnya melalui “Jelajah dan Belajar” di Subak Tegallinggah, Tabanan

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tembakau, Kian Dilarang Kian Memukau

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 31, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

PARA pembaca yang budiman, tanggal 31 Mei adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Tujuan utama dari peringatan ini adalah untuk meningkatkan...

Read more

Melahirkan Guru, Melahirkan Peradaban: Catatan di Masa Kolonial

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 30, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

Prolog Melalui pendidikan, seseorang berkesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus mengasah keterampilan bahkan sikap...

Read more

Menjawab Stigmatisasi Masa Aksi Kurang Baca

by Mansurni Abadi
May 30, 2025
0
Bersama dalam Fitri dan Nyepi: Romansa Toleransi di Tengah Problematika Bangsa

SEBELUM memulai pembahasan lebih jauh, marilah kita sejenak mencurahkan doa sembari mengenang kembali rangkaian kebiadaban yang terjadi pada masa-masa Reformasi,...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co