30 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Menyaksikan Wujud Neoliberalisme Ekonomi melalui Perkembangan Arsitektur di Bali: Sebuah Autokritik

Gede Maha PutrabyGede Maha Putra
October 30, 2024
inEsai
Menyaksikan Wujud Neoliberalisme Ekonomi melalui Perkembangan Arsitektur di Bali: Sebuah Autokritik

Menyaksikan Wujud Neoliberalisme Ekonomi melalui Perkembangan Arsitektur di Bali: Sebuah Autokritik | Foto-foto: Gede Maha Putra

KARYA-KARYA arsitektur di Bali belakangan ini, terutama pasca pemerintah menyatakan wabah Covid-19 berakhir, menarik untuk ditelisik atas beberapa alasan.

Pertama adalah jumlah dan sebaran proyek yang bermunculan dalam dua tahun terakhir ini menunjukkan tanda-tanda kebangkitan ekonomi yang luar biasa. Bangunan-bangunan baru berbagai jenis dan ukuran bermunculan benar-benar seperti jamur di musim hujan.

Kedua, wujud arsitekturnya semakin beragam nyaris tanpa satupun benang merah yang membantu kita memahaminya dalam sebuah framework teoritik yang utuh.

Ketiga, kita tidak perlu berkunjung ke tempat dimana proyek tersebut dibangun untuk bisa turut menikmatinya. Hal ini dimungkinkan karena semuanya kini terpampang vulgar di media sosial. Postingan-postingan tentang karya-karya arsitektur tersebut tidak hanya diunggah oleh pemilik atau pengelolanya saja, melainkan juga oleh pengunjung selaku penikmat karya tersebut.

Keempat adalah aroma international yang muncul dari berbagai elemennya; aktivitasnya, program ruangnya, sajiannya (ini khusus yang kuliner), penataan ruang dan arsitekturnya, hingga investor di baliknya.

Sebuah tower di dalam kawasan enclave di Tabanan | Foto: Gede Maha Putra

Saya beberapa kali melakukan unggahan di media sosial tentang fenomena ini. Yang muncul adalah komentar-komentar tentang perlunya Bali memiliki peraturan yang mengatur tata ruang dan arsitektur. Ada juga yang berkomentar tentang penegakan hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di lapangan.

Di lain kesempatan, banyak juga kawan yang mengapresiasi munculnya karya-karya arsitektur yang memiliki wujud beragam ini karena mereka memberikan nuansa baru dan dianggap memperkaya khasanah arsitektur lokal.

Menimang perbedaan-perbedaan tersebut, saya mencoba melihatnya dari kaca mata yang fokusnya lebih lebar, tidak membahasnya dari sisi bentuk semata. Dengan memperlebar sudut pandang, kita bisa membahas fenomena ini dengan memasukkan sistem ekonomi yang saat ini bekerja di seluruh dunia yaitu neoliberalisme.

Sistem ekonomi neoliberal adalah paradigma yang memberi peluang luas bagi terciptanya pasar bebas.  Geografer Marxis, David Harvey berargumen bahwa kebangkitan paradigma ini terjadi pasca “kegagalan” sistem ekonomi Keynesianisme yang berfokus pada intervensi negara. Paradigma terakhir ini dianggap gagal pasca krisis ekonomi awal decade 1970-an.

Mall dengan fasilitas ruang makan dan nongkrong | Foto: Gede Maha Putra

Dalam sistem ekonomi baru ini, negara mengurangi pengawasan dan pengaturan yang membatasi sektor keuangan, tenaga kerja, dan industri agar pasar bisa bergerak dan beroperasi dengan lebih leluasa. Tugas negara lebih dititikberatkan pada upaya untuk menjaga stabilitas pasar dan memastikan aturan hukum yang memberi keuntungan bagi kaum pelaku pasar dalam hal ini kapitalis dan investor. 

Upaya untuk membangun pasar yang menarik bagi investor adalah dengan membuka negara bagi masuknya modal asing. Hal ini membuat modal dan produksi dapat berpindah lintas batas nyaris tanpa adanya halangan. Akibatnya, tercipta pasar global yang saling terkait.

Salah satu landasan pokok paradigm ini, seperti diungkap Harvey, adalah bahwa pasar akan mengelola sumber daya lebih efisien melalui kompetisi tanpa adanya campur tangan negara. Di Indonesia, Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan tahun 2020, meski tidak menyebut secara eksplisit, menunjukkan arah dukungan kepada pandangan neoliberalisme ini.  Aturan-aturan yang dianggap rumit untuk investasi dipangkas dan disederhanakan sehingga pemodal memiliki keleluasaan lebih untuk membuka dan menjalankan usahanya.

Restaurant bambu untuk menarik konsumsi | Foto: Gede Maha Putra

Pada saat wabah sedang melanda, perekonomian Bali ada di titik terendah akibat ditutupnya penerbangan. Saat itu, bisnis pariwisata mati suri yang berimplikasi pada kelumpuhan keuangan pemerintah. Akibatnya, pemerintah merasa tidak mampu berbuat banyak tanpa adanya peran swasta. Setelah penerbangan dibuka dan wisatawan kembali datang, pemerintah juga membuka peluang luas bagi sector swasta untuk berperanserta lebih aktif dalam perekonomian di wilayahnya.

Peran serta swasta ini tentu didukung oleh Undang-undang yang disahkan tersebut. Kondisi ini sejalan dengan lonjakan kunjungan ke Bali. Selain pengunjung internasional, minat wisatawan nasional dan orang lokal Bali untuk berwisata juga meningkat. Mereka ini turut membuat pasar pariwisata menjadi berlipat. Pascawabah, Bali menjadi ladang yang sangat menarik bagi sektor swasta karena dua hal: pemerintahan yang semakin terbuka dan pasar yang menggelembung sangat besar.

Salah satu situs jual-beli-sewa properti bahkan menyebut bahwa saat ini Bali merupakan tempat dengan Return on Investment (ROI) paling tinggi di dunia mengalahkan Dubai.

Secara tata ruang, tingginya pengembalian modal atau ROI ini menyebabkan alih fungsi lahan yang deras. Alih fungsi ini didorong oleh masuknya arus modal yang dibawa serta ditawarkan oleh aktor-aktor global.

Dari situ akan muncul apa yang disebut dengan enclave atau kawasan ekslusif yang tertutup dan hanya bisa diakses oleh para pemilik. Wujudnya bisa berupa resorts dan villa vila yang all-inclusive, gated villa communities, pantai-pantai yang diprivatisasi, atau permukiman yang berbentuk semacam kota kecil mandiri. Kawasan ini secara aktif memisahkan dirinya dari lingkungan sekitar, menciptakan pemisahan fisik dan simbolik.

Dalam kondisi semacam inilah pradigma neoliberalisme masuk melalui arsitektur. Karya-karya arsitektur yang lahir dalam dua tahun belakangan ini merupakan alat untuk menarik perhatian dan sekaligus merebut pasar. Pasar di sini bisa berarti propertinya atau pengunjungnya. Karena pasar yang besar ini tidak hanya diisi oleh konsumen nasional atau internasional tetapi juga lokal, maka tidak pula mengherankan jika wujud arsitekturnya menyesuaikan dengan selera penduduk Bali.

Karya arsitektur masuk jauh hingga tepian jurang | Foto: Gede Maha Putra

Di awal pengembangan pariwisata massal tahun 1970-1980-an, saat pasar masih didominasi oleh wisatawan internasional, arsitektur tradisional mengalami kebangkitan. Fasilitas-faslitas yang melayani turis dirancang dengan cara mengadopsi bangunan-bangunan tradisional. Ini adalah pasar yang masih membawa imaji Bali tahun 1930-an. Kini, saat pasar adalah juga orang lokal maka yang muncul adalah kebalikanya, yaitu arsitektur internasional. Ini adalah bentuk-bentuk yang sedang menjadi trend secara global dan menarik perhatian masyarakat lokal.

Wujud-wujud yang tidak pernah kita jumpai dalam kosakata bentuk tradisi kini mudah dijumpai. Arsitektur tower dengan bentuk seperti lidah api, bangunan villa dengan dinding sepenuhnya kaca, coffee shop dengan vibes ala bangunan di Italia, restaurant mie ramen dengan gaya Jepang, dan lain-lain adalah sebagian dari wujud yang lahir untuk menggaet pasar lokal dan nasional.

Dalam kompetisi, wujud-wujud arsitektur tersebut saling bersaing satu sama lain untuk menarik perhatian secara bebas, dengan intervensi yang minim dari pemerintah. Mekanisme pasar akan menentukan bentuk arsitektur seperti apa yang paling laku dan mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama untuk terus melipatgandakan kapital.

Sebaliknya, bentuk-bentuk yang tidak sesuai dengan keinginan konsumen akan ditinggalkan atau hilang dari lansekap. Dalam kondisi ini, aturan-aturan tentang wujud bangunan bersifat sekunder dikalahkan oleh seleksi alami yang merupakan cara kerja pasar.

Sejalan dengan pasar yang dinamis, bentuk-bentuk arsitektur yang dilandasi paradigma tersebut, dalam upayanya untuk merebut pasar serta melipatgandakan modal, akan terus menyesuaikan diri dengan selera dan tuntutan konsumennya. Konsumen yang mudah jenuh, akibat bombardir media sosial, terus menerus membutuhkan inovasi. Dari sini lahir wujud-wujud arsitektural baru silih berganti. Sebuah farmhouse adalah sesuatu yang tidak terbayangkan beberapa tahun lampau dan kini hadir di dekat Bedugul.

Clubhouse yang dulu hanya ada di pantai kini bisa kita jumpai di kawasan dataran tinggi, Ubud, bahkan di tengah permukiman seperti di Celuk. Ada pula yang berbentuk mobil berkeliling kota. Dalam wujud yang seperti ini, arsitektur tidak hanya menjadi akibat dari neoliberalisme ekonomi, tetapi ia secara aktif menjadi subyek yang terus menduplikasi diri dan turut menciptakan pasar yang saling berkompetisi.

Banyak kawasan yang tidak bisa hidup tanpa turis | Foto: Gede Maha Putra

Arsitektur modern memang tidak bisa dilepaskan dari tiga komponen utamanya yaitu regulasi, kapital dan kreativitas arsitek atau designer-nya. Dalam kondisi saat regulasi dikurangi dan mekanisme diserahkan kepada pasar, maka kreativitas dan kapital berperan dominan dalam membentuk ruang-ruang hidup kita di masa yang akan datang.

Selain berkompetisi menghasilkan bentuk yang unik dan menciptakan pasar, kapital juga dapat ‘memaksa’ arsitek untuk menciptakan bangunan yang murah. Artinya, bangunan-bangunan yang memiliki cost pembangunan tidak terlampau tinggi namun dapat dipaksa untuk menghasilkan profit yang gigantic.

Selain cost produksi, bisa saja biaya perencanaan juga akan terimbas semakin murah. Ini terjadi terutama jika fee untuk arsitek dihitung berdasarkan atas kalkulasi dari prosentase harga bangunan per meter persegi. Semakin murah harga bangunan bisa ditekan, maka fee untuk arsitek yang harus dibayarkan juga semakin tidak mahal.

Arsitek mungkin berargumen bahwa mereka terlepas dari berbagai tekanan saat melahirkan karyanya yang dinilai sebagai karya yang inovatif, progresif dengan mengedepankan kebebasan individu dan kreativitas personalnya.

Tetapi, Douglas Spencer, seorang kritikus arsitektur asal Inggris, mengkritik bahwa arsitek sebenarnya juga sedang melayani keinginan kapital untuk memaksimalkan profit dengan cara menciptakan ruang-ruang yang mampu membuat konsumsi masyarakat meningkat. Peningkatan belanja ini ditujukan untuk mendukung investor global yang menjadi kliennya.

Dalam situasi saat ini, dan jika kita memegang apa yang disampaikan oleh Spencer, sepertinya tidak ada lagi teori arsitektur dan estetika yang berperan selain untuk melayani cara kerja ekonomi kapitalistik. Bentuk-bentuk arsitektur menjadi tidak netral tetapi dibentuk oleh dan berguna untuk kepentingan pelipatgandaan modal.

Tidak bisa dipungkiri bahwa meningkatnya konsumsi yang terjadi telah memberi kesejahteraan. Tetapi, kita perlu berhati-hati dalam menanggapi hal ini karena selalu ada bahaya tersembunyi di balik euforia.

Bentuk-bentuk arsitektural yang lahir dalam dua tahun belakangan ini memang ‘sukses’ mencuri perhatian kita. Ini terlihat dari jumlah postingan yang ramai di media sosial. Tetapi, wujud-wujud tersebut, jika kita lihat lebih seksama, mengalami pen-dangkal-an makna.

Secara sadar atau tidak, terjadi banalitas atau pengutamaan tampilan atau kemasan, alih-alih isi atau substansi. Ini terjadi karena karya dibuat untuk kepentingan bisnis. Manusia dilihat hanya sebagai konsumen dan karya arsitektur sebagai komoditas. Kebosanan yang mudah terjadi memicu produksi dan reproduksi atas banalitas ini.

Kondisi berikutnya yang bisa diamati dari munculnya fenomena bangunan-bangunan ini adalah krisis historisitas. Meskipun banyak karya yang berupaya untuk memenuhi unsur-unsur kedaerahan, yang kemungkinan diimbuhkan untuk kepentingan perijinan, tetapi elemen-elemen budaya yang ditampilkan tidak memiliki keber-akar-an sejarah. Kata-kata atau jargon lokal seperti tri hita karana seturut menjadi alat pemasaran. Ia tampak hanya sebagai citra-citra yang justru menjadi penanda terputusnya transmisi tradisi. Alih-alih membentuk ikatan yang kuat dengan tempat, kondisi ini justru mempertontonkan ketidaktahuan atau ketidakpedulian kita pada sejarah.

Bangunan berdesain unik bisa memancing popularitas di media sosial | Foto: Gede Maha Putra

Bangunan-bangunan baru, permanen dan non-permanen, karya arsitektur lama, ruang-ruang ekonomi, sakral, berbudaya, hari ini memenuhi lansekap kita. Kembang api megah bersanding dengan upacara adat. Atraksi pertunjukan tradisional berpadu dengan tarian api modern atau gerakan disco menjadi kenormalan. Orang-orang berbikini yang bersanding dengan pemangku berpakaian putih bersih adalah keseharian kita saat ini.

Masalahnya adalah kita belum mampu menyejajarkan diri dengan kondisi tersebut. Ruang-ruang yang terjadi hari ini membentuk liminalitas atau kegamangan. Kondisi terkatung-katung yang membuat kita terombang-ambing dan gugup dalam situasi paradoks. Konflik-konflik atas ruang muncul. Hiperspace adalah istilah yang umum dipakai. Ini adalah kondisi saat kita tidak mampu membentuk pengalaman ruang perseptual yang utuh akibat banyaknya benturan-benturan yang ditimbukan oleh praktek-praktek produksi ruang neoliberalistik.

Pertanyaannya, mampukah kita menyikapi hal ini? Atau setidaknya kita bisa menanyakan kepada diri kita sendiri, adakah kita menyadari hal ini? [T]

  • BACA artikel tentangARSITEKTURatau artikel lain dari penulisGEDE MAHA PUTRA
Limit Arsitektur dalam Menyongsong Abad Urban
Arsitektur Regeneratif dan Pembangunan Kapitalistik : Menuliskan Bali dan Arsitektur Desa Potato Seminyak
Proyek-proyek Besar (di Bali) Dimana Arsitektur Merupakan Alat untuk Mengakumulasi Kapital
Eksperimen Arsitektur di Tengah Pasar Wisata Bali yang Makin Besar
Siasat Singapura Membangun Gedung Megah Tanpa Boros Energi

Tags: arsitekturarsitektur baliarsitektur internasionalarsitektur kotaekonomiNeoliberalisme EkonomiPariwisatapariwisata balipendidikan arsitektur
Previous Post

Menaklukkan Bali: Memoar Perjalanan Tanpa Peta

Next Post

Syahdan, Kantin di FBS Undiksha “Hilang”, Mahasiswa Seperti Kehilangan Kasih Sayang

Gede Maha Putra

Gede Maha Putra

Dosen arsitektur di Universitas Warmadewa

Next Post
Syahdan, Kantin di FBS Undiksha “Hilang”, Mahasiswa Seperti Kehilangan Kasih Sayang

Syahdan, Kantin di FBS Undiksha “Hilang”, Mahasiswa Seperti Kehilangan Kasih Sayang

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

by Emi Suy
May 29, 2025
0
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak...

Read more

Uji Coba Vaksin, Kontroversi Agenda Depopulasi versus Kultur Egoistik Masyarakat

by Putu Arya Nugraha
May 29, 2025
0
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Profesi Dokter

KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya...

Read more

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co