“Di sela-sela kalian latihan, bapak melihat ada sepasang burung merpati kipas, itu artinya pertanda baik. Semoga pementasan kita besok berhasil dan berjalan lancar,” kata I Made Wisnawa selaku pembina Asta Cinema, SMP 8 Singaraja.
Ucapan Wisnaya itu menjadi penyemangat di tengah kesibukan kami, pemain dan kru mempersiapkan pementasan DasakSara.
Cahaya telah redup dan gesekan bilah-bilah bambu di halaman mulai terdengar nyaring.
Namun, kami masih sibuk dengan peran masing-masing. Setiap detik menjadi sangat berharga. Semangat para pemain tidak pernah surut, meski rasa cemas menghantui mereka, terutama yang memiliki demam panggung. Kami terus mengingatkan mereka.
“Jika nanti kamu salah mengucapkan dialog, lanjutkan saja. Penonton tidak pernah tahu jika kamu tidak panik.”
Persiapan dan Kolaborasi
Pementasan DasakSara adalah hasil dari latihan intensif selama tiga bulan. Made Pandu Wardana, sebagai sutradara sekaligus penulis naskah, telah memikirkan konsep pementasan yang sederhana dan mudah dipahami oleh anak-anak seusia mereka (SMP).
Konsep itu ia diskusikan dengan kami, Teater Seribu Jendela, pembina dan anak-anak Asta Cinema. Naskah ini menarik, baik dari segi penulisan, karakter, maupun cerita yang disusun olehnya. Setelah berbagai diskusi, semua setuju bahwa DasakSara adalah naskah yang tepat untuk dipentaskan.
DasakSara merupakan simbolisasi sastra agama Hindu yang mengajarkan kita berbuat kebaikan. Dalam naskah ini, Pandu merujuk pada ajaran Sa Ba Ta A I Nama Siwa Ya.
Setiap simbol memiliki makna mendalam: Sa berarti satu, Ba berarti Bayu, Ta berarti tatingkah, A berarti awak, I berarti idep, Nama artinya menghormati, Siwa berarti Siwa (Tuhan), dan Ya berarti Yukti.
Dalam kesempatan hidup yang sekali di dunia ini, kita terlahir sebagai manusia harus menghormati dan menghargai segala ciptaan-Nya.
Naskah ini memberikan kesan spiritual yang kuat, terutama bagi anak-anak yang baru mengenal nilai-nilai moral dan agama melalui seni teater.
Gladi Resik dan Pementasan
Jumat, 25 Oktober 2024, kami menyiapkan panggung, properti pementasan, dan gladi bersih. Di sela kepenatan setelah mengikuti lomba-lomba serangkaian Bulan Bahasa, mereka masih berkumpul dengan penuh gairah di antara sepasang pohon mangga sore itu. Menarik bangku dari satu kelas menuju panggung, menutup dengan kain hitam, dan memberi topeng pada kain sebagai hiasan pemantik.
Konsep panggung ini sederhana, tapi tak mengikis daya tarik visualnya.
Pementasan DasakSara adalah serangkaian acara Bulan Bahasa Indonesia di SMP 8 Singaraja pada Sabtu, 26 Oktober 2024. Perjalanan ini akan segera ditunjukkan.
Kami memulai persiapan: Luh Marni dirias sederhana menyerupai ibu rumah tangga dan Gede hanya mengenakan pakaian rumahan, yang memberi kesan suami pengangguran. \
Bayang-bayang dengan wajah pucat, mengenakan kain batik pada sebagian tubuh mereka, dan selendang yang membelit di leher sebagai ciri khas.
Kami berusaha menumbuhkan realita umur pada peran meme dan bapa. Mereka dirias dengan penekanan pada kerutan-kerutan wajah dan rambut yang memutih.
Tak lupa pada pemeran Investor, Cuplis, dan Mang Yanti. Tokoh Mang Yanti adalah bagian dari penciptaan suasana yang meriah, sehingga ia dirias lebih menonjol di antara pemeran lainnya. Perpaduan baju merah muda dan celana jeans pendek membawa kesan yang bertolak belakang dari perannya di dunia nyata.
Segala persiapan telah selesai. Sebelum pentas, kami berdoa dan melakukan latihan olah suara. Kami keluar dari ruangan karena Pandu telah meminta untuk berkumpul di belakang panggung. Belum saja pementasan dimulai semua mata telah tertuju pada kami.
Suasana di belakang panggung terasa tegang namun penuh harap. Ada sepintas terdengar kalimat-kalimat sederhana dilontarkan untuk mencairkan suasana.
Beberapa pemain menunjukkan tanda-tanda grogi, termasuk salah satu orang yang aku pegang tangannya, dingin sekali. “Kamu grogi ya?” kata saya.
Dia hanya mengangguk. Tentu saja, aku melihat para guru telah duduk paling depan dan bersiap menonton, semakin berpacu lah mereka dengan detak jantung yang memburu.
Begitu pementasan dimulai dengan sambutan riuh tepuk tangan penonton. Suasana panggung berubah, penonton terpaku pada setiap konflik yang disuguhkan. Terkadang penonton memberi kalimat umpatan pada tokoh Gede saat dimarahi oleh Luh Marni dan Meme. Tertawa ketika tokoh Mang Yanti muncul.
Saat tokoh Bapa memberi nasihat kepada Gede, suasana menjadi lebih riuh dan sarat akan emosi.
Selama kurang lebih 20 menit, emosi penonton berhasil dibawa naik turun oleh para pemain.
Akhirnya, pementasan selesai dengan tepuk tangan riuh dari penonton. Mereka terkesima dengan setiap peran yang ditampilkan melalui tubuh-tubuh ini: Made Marsya Kartika Candra Dhytta (Luh Marni), Manahau Leo Aditya Fortin (Gede), Luh Putu Radhyaniken Okantara (Meme), dan Ketut Erlangga Arya Tranjaya (Bapa).
Juga ada Kadek Leo Ardi Sastra Wiyasa (Mang Yanti), Tioman Andika Giordano (Investor), dan I Gede Bayu Setia Januarta (Cuplis).
Sebanyak 21 tubuh bayang-bayang dimainkan Komang Geby Abimanyu, Putu Samudra Dani Angkasa Pertiwi, Ni Made Putri Dwiantari, I Gusti Ngurah Hari Okasunu, Ketut Miska Pratiwi, Komang Sindy Marcelina Putri, Kadek Wulan Mertha Ariastuti, Putu Anggi Andya Maha Dewi, Ni Kadek Debi Widiani, Komang Zelda Savitri, Ni Made Bening Padma Dewi, Kadek Angel Kirana Maharani Putri, Putu Devi Agustina, Kadek Dwi Arsiti Indrayani, Putu Ayu Putri Adiliayanti, Kadek Sepi Olivia, Luh Reva Viantary Arsa, Ketut Desyani, Kadek Risma, Luh Aprilina Putri Perdama, dan Kahaia Angelica Ananda Fortin.
“Pementasan ini bertujuan untuk menjalin kerjasama dengan anak-anak ataupun pemuda yang senang bergerak dalam dunia teater. Dan juga, pementasan ini menunjukkan fenomena-fenomena yang ada di lingkungan sekitar kita. Semoga tidak ada yang bertindak seperti tokoh Gede,” kata Pandu Wardana.
Apresiasi juga datang dari berbagai kalangan, termasuk Vina Anggreni, salah satu penonton yang berkomentar, “Pentasnya keren, pesan yang disampaikan mudah dipahami oleh penonton. Pemain juga keren-keren walau ada beberapa yang lepas karakter, tapi yang menjadi pemeran utama bisa on point semua. Semoga ke depannya naskah dan para pemain bisa berkembang lagi melalui kolaborasi pementasan-pementasan lain nantinya.”
Dari awal hingga akhir, aku berada di belakang panggung, menyaksikan perjuangan mereka. Perasaan bangga dan haru bercampur aduk saat melihat kerja keras mereka terbayar.
Salah satu pemeran berceletuk, “Rasanya cepat banget ya, padahal latihannya lama.”
Begitulah, penonton akan memberikan apresiasi pada hasil akhirnya tanpa pernah tahu sesuatu yang telah ditempuh beberapa bulan sebelumnya.
“Pementasan yang memukau dengan setting panggung sederhana, cerita yang singkat, tapi maknanya dalam. Realisasi untuk keadaan abstrak bisa dimunculkan dengan simbolis. Bahkan penonton dengan segala usia menikmati penampilan ini, mereka kagum, tertawa, dan penasaran. Semua sudah berhasil dari ekspektasi kita yang mementaskan maupun di belakang layar,” kata I Made Wisnawa.
Meskipun setiap latihan ia menemani kami, tapi tetap saja kejutan-kejutan dari tokoh membuat ia kagum. Kami juga begitu, sebab mereka telah menumpahkan dengan baik setiap rasa dan gerakan di panggung pada hari itu.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa tanpa usaha yang sungguh-sungguh, kesuksesan mustahil diraih. Semesta akan mendukung ketika kita bekerja keras dan tulus.
Terima kasih kepada semua yang terlibat dalam pementasan DasakSara: Bapak I Made Wisnawa, Made Pandu Wardana, Teater Seribu Jendela, Asta Cinema, SMP 8 Singaraja, dan semua yang tak bisa disebutkan satu persatu. Mari terus berkarya dengan hati di dunia seni teater. [T]
Singaraja, 26 Oktober 2024