- Judul : Bumi Manusia
- Jenis : Novel-Fiksi
- Penulis : Pramoedya Ananta Toer
- Terbit : 2005
- Penerbit : Lentera Dipantara
- Tebal Buku : 551 halaman; 20 cm
Pram sedang menulis dalam keabadian ketika alur Bumi Manusia dibentangkan dengan begitu menawan. Saya akui, kemampuan Pram dalam melukiskan pedalaman jiwa manusia dalam sebuah buku adalah salah satu anugerah terbaik yang pernah dimiliki peradaban sastra di Indonesia.
Buku ini memusatkan perhatiannya pada tokoh Minke, seorang pribumi yang tenggelam dalam peradaban Eropa di era kolonial. Kesempatan yang dimilikinya sebagai pribumi priyayi membawanya mampu mengenyam pendidikan H.B.S., sebuah tingkatan pendidikan yang tidak banyak dicicipi oleh pribumi pada masanya.
Akibat dari pergaulan dan pendidikannya yang sangat kental dengan Eropa, membuatnya terlena terhadap perkembangan ilmu pengetahuannya yang modern dan membawa moral kemanusiaan, sebuah harapan yang tidak didapatinya dari peradaban pribumi yang tertinggal. Kekagumannya terhadap peradaban eropa dan kemuakkannya terhadap kehidupan pribumi membuatnya tercerabut dari nilai-nilai sebangsanya dan menjelma menjadi manusia eropa di pedalaman jiwanya.
Namun, pemikiran itu mulai teruji ketika Minke bertemu dengan Nyai Ontosoroh, seorang gundik pribumi yang memiliki jiwa berbeda dari pribumi lainnya. Walaupun ‘Nyai’ menjadi gelar abadi, namun Minke mendapati perempuan tersebut sangat jauh dari gambaran nyai yang selalu dilekatkan pada hal-hal tidak bermoral. Perempuan itu memiliki isi kepala yang lebih berperadaban eropa dibandingkan dirinya sendiri.
Ditambah dengan hiruk pikuk kisah cinta Minke dengan Annelies, anak perempuan Nyai Ontosoroh, membawanya lebih dekat dengan pedalaman jiwa keluarga tersebut. Minke mulai menuliskan kisah keagungan Nyai Ontosoroh dan kecantikan khayali Annelies. Namun tak disangka, petualangan kekaguman itu membuat tabir pikirannya mulai terbuka sedikit demi sedikit terhadap nasib pribumi, sebangsanya sendiri.
Minke mulai memahami, bagaimana peradaban Eropa yang dia kesani selama ini nyatanya tidak sesempurna yang dibayangkan. Kedudukannya sebagai pribumi di mata orang Eropa hanyalah sebuah kasta terendah dari bangsa yang terjajah, mengharuskannya berada di posisi sebagai masyarakat yang tidak berdaya.
Kesadaran itu memuncak ketika akhirnya Minke harus melawan sendiri peradaban Eropa. Minke harus mempertaruhkan seluruh kekuatannya untuk bisa memperjuangkan Annelies, perempuan yang akhirnya menjadi istrinya itu, ketika berada di ujung perkara yang akan memisahkan mereka. Minke merasakan kepahitan yang luar biasa ketika menghadapi hukum kolonial yang dianggap tak memandang manusia sebagai sebuah jiwa. Peristiwa yang menjadi hantaman keras bagi pribumi yang berjiwa eropa itu akhirnya menjadi bibit perlawanan Minke untuk mengenal lebih dekat dan memperjuangkan nasib sebangsanya yang kelak akan dikisahkan di dalam seri buku tetralogi pulau buru berikutnya.
Penokohan:
Sesosok Minke digambarkan sebagai pemuda pribumi yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap dunia modern. Kecintaannya terhadap dunia baca-tulis membuatnya tumbuh menjadi pemuda yang suka berpikir dan mempertanyakan banyak hal. Kesempatannya tumbuh dalam pendidikan Eropa menciptakan dogma di dalam kepalanya, bahwa peradaban Eropa adalah peradaban paling unggul yang diciptakan manusia.
Sebaliknya, ketidaksetujuannya terhadap kehidupan pribumi yang harus terus tunduk dan patuh terhadap hal-hal simbolis yang tidak memberikan nilai pada harga diri manusia. Karena kesenjangan itu, Minke akhirnya memilih untuk berjarak dengan keluarganya, keluarga bangsawan yang dianggapnya tidak menghargai ilmu pengetahuan yang sudah susah payah dibangun manusia
Sedangkan, sosok Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai perempuan pribumi yang telah menghadapi kepahitan hidup saat dipergundik oleh Tuan Mellema, seorang pejabat Eropa yang jatuh cinta karena keindahan parasnya. Dijual oleh ayahnya menjadi gundik, membuatnya memiliki jiwa penuh dendam sekaligus memaksa dirinya untuk menjadi perempuan tegas dan mandiri agar tidak bergantung pada manusia yang telah banyak mengecewakan dirinya.
Atas bekal didikan Tuan Mellema, akhirnya Nyai Ontosoroh menjelma menjadi manusia berperadaban Eropa. Kecakapan dan ketegasannya membuatnya mampu mengurusi perusahaan Tuan Mellema, Borderig Buitenzorg, hingga terkenal di Surabaya. Dalam fase itulah dia banyak terjamah oleh ilmu pengetahuan Eropa melalui bacaan dan melihat secara langsung bagaimana Eropa bekerja. Atas dasar itu, Nyai Ontosoroh berkembang menjadi perempuan yang memiliki pola pikir Eropa, namun tetap dengan jiwa pribumi, mendendam terhadap apa yang telah peradaban itu renggut dari dirinya.
Nilai-Nilai Kesadaran Berbangsa:
Pram selayaknya menyerukan kesadaran berbangsa dalam buku ini. Alurnya menggambarkan revolusi pemikiran yang dihadapi oleh Minke dari sebelum dan sesudah bertemu dengan Nyai Ontosoroh, sesosok perempuan yang digambarkan sebagai guru kehidupan. Minke yang awalnya begitu mengagungkan peradaban Eropa harus menelan pil pahit setelah menghadapi kenyataan atas dirinya sendiri, sebagai pribumi, yang tidak berdaya terhadap peradaban yang diagungkannya. Nyatanya, perkembangan ilmu pengetahuan yang diciptakan Eropa tidak serta merta membawa seseorang pada tingkat moral yang tinggi seperti yang dia bayangkan.
“Omongkosong saja segala ilmu-pengetahuan Eropa yang diagung-agungkan itu. Omongkosong! Pada akhirnya semua akan berarti alat hanya untuk merampasi segala apa yang kami sayangi dan kami punyai: kehormatan, keringat, hak, bahkan juga anak dan istri”-Minke, hal. 497.
Hal ini menjadi bibit kekecewaan bagi Minke yang telah lama mengagumi peradaban Eropa.dan melupakan kedudukannya sendiri sebagai seorang pribumi. Ditambah dengan pertemuannya dengan Herbert De La Croix dan anaknya Miriam dan Sarah menyadarkannya akan nasib bangsanya yang terjajah. Bagi Herbert dan anak-anaknya, Minke adalah salah satu tokoh yang kelak mampu menyadarkan bangsanya akan keadaan yang begitu memprihatinkan.
“Kami dengarkan dengan terharu, juga ikut jengkel dengan kelakuan para pembesarmu yang menjual konsessi pada Kompeni untuk kepentingan sendiri sebagai pertanda kekroposan watak dan jiwanya. Pahlawan-pahlawanmu, dalam cerita papa, bermunculan dari latar belakang penjual konsessi, begitu terus menerus, berabad-abad, dan tidak mengerti bahwa semua itu hanya ulangan dari yang sudah-sudah, semakin lama semakin kecil dan semakin kerdil. Dan begitulah, kata Papa, suatu bangsa yang telah mempertaruhkan jiwa-raga dan harta benda untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan” – Sarah De La Croix, hal. 285.
Dari buku ini, Pram seolah ingin berkata, kenalilah pedalaman jiwa bangsa sendiri, karena bisa jadi kita lebih khatam terhadap bangsa lain, namun melupakan jiwa bangsa kita yang sedang sekarat. Peradaban lain mungkin begitu menjanjikan, namun penjajahan selalu dimulai dari sesuatu yang tidak kita sadari. Pentingnya mengetahui posisi kita sebagai sebuah bangsa di tengah bangsa-bangsa lainnya menjadi tolak ukur penting untuk mengetahui apa tindakan yang bisa kita lakukan sebagai seorang individu untuk menggerakkan dan memajukan bangsa sendiri.
Pram seolah menyerukan pentingnya untuk peka terhadap permasalahan sosial yang sedang terjadi di dalam masyarakat kita. Bisa jadi negeri kita sedang demam, namun kita begitu terkagum dengan kehidupan mewah bangsa lain yang dirasa lebih berharga daripada tubuh kita yang sedang sakit. Dengan demikian, Pram menegaskan bahwa tak ada perubahan terhadap suatu bangsa, kecuali dari pedalaman diri bangsa itu sendiri, dan itu semua dimulai dari kesadaran atas permasalahan sosial yang sedang kita hadapi.
Buku ini masih sangat relevan dengan kondisi kesadaran berbangsa kita hari ini, terlebih perpaduan apik antara kapitalisme dan globalisme membuat kita begitu mudah terpesona dengan apa yang dimiliki orang (bangsa) lain daripada apa yang kita miliki. Jangan sampai kesadaran untuk mencintai dan berjuang untuk bangsa sendiri, nyatanya menjadi barang langka di kemudian hari. Dan bukan menjadi suatu hal yang sulit jika nantinya penjajahan tidak lagi berupa kekerasan dan perampasan seperti di era kolonial, namun menjelma menjadi virus yang menghilangkan jati diri dan rasa juang suatu bangsa, termasuk kita, Indonesia. [T]