KEDATANGAN setelah kepergian yang lama adalah kepulangan menuju tempat aku diciptakan. Kurang lebih butuh dua sampai tiga jam sampai di rumah ini. Bermodalkan motor yang kubeli dari menuju cita-cita. Rumah yang kusam karena ditinggalkan. Rumahku yang malang, semak belukar dibiarkan subur menutup, plafonnya beberapa merunduk ingin ambruk. Seperti rumah yang tidak pernah ditinggali orang yang hidup.
Masuk saja ke dalam dan langsung saja membuka kuncinya. Mendorong pintu rumah jaman dulu agak berat, namun pintunya selalu awet dibandingkan rumah jaman sekarang. Seperempat pintu terdorong, dengingnya menyaring. Aku langsung mengambil perlengkapan bersih-bersih. Semuanya sudah ada, sapu, pel, kemoceng, kain, dan lain-lain.
Udara dingin ke luar merayap di langit-langit. Terkadang anginnya menampar diriku, setelah itu seluruh bulu di tubuh berdiri. Seperti uji nyali di rumah sendiri. Merasakan perubahan yang terjadi pada kondisi rumah. Hati-hati, aku mencari kunci untuk menuju kamar mamah.
Kamar begitu berantakan, debu bertebaran, laba-laba membuat sarangnya dengan megah. Puluhan tai tikus berserakan di mana-mana. Seraya memecah-mecah mana dahulu yang akan dibersihkan.
“Mah, Nek, kalau kalian masih di sini, banyak sekali tempat yang bisa kita kunjungi sekarang. Enggak kaya dulu, di rumah aja,” ucapku, seolah-olah mereka mendengarku berbicara.
Semua pintu aku buka lebar-lebar, lampu dinyalakan. Dari kamar mamah aku membereskannya. Seingatku, dulu di kamar ini aku suka menangis, tangisannya seperti terompet tahun baru. Yang paling kuingat, keinginan untuk membeli mainan. Kalau sudah begitu, mamah selalu mengunci aku di dalam sampai aku reda dalam letihnya tangisan.
“Sudah nangisnya? Nanti Mamah belikan kalau sudah ada uangnya. Mamah kan kerja dulu. Kalau kamu nangis terus, mana bisa Mamah belikan?” ucapnya yang selalu aku ingat saat aku menangis.
“Tapi aku pengen punya, Mah. Anak-anak lain udah punya mobil-mobilan. Aku doang yang belum!” Aku terus saja menggerutu tidak mengerti.
Setelah aku marah-marah kepadanya, ia seraya langsung mendekat dan memelukku. Ia menenangkan seluruh tubuhku dengan badannya yang hangat itu. Pelukannya erat dan menenangkan. Aku merasa jauh dari bahaya, kesendirian, dan kekosongan seperti yang kurasakan saat ini. Beberapa waktu berikutnya, ia akan mengelus pundakku dengan sangat pelan dan kecupnya selalu menjadi penutup emosi yang kumiliki.
Esoknya Mamah selalu mengecup dan mengingatkan, “Nanti Mamah belikan, ya!” Lalu ia pergi bekerja dengan giat, membersihkan rumah, mencuci dan menggosok pakaian di rumah orang lain.
Saat aku dewasa, aku baru saja mengerti. Kehidupan Mamah untuk menghidupi aku dan Nenek begitu berat. Tangisanku atas mobil mainan, mungkin saja membuatnya ia semangat bekerja, namun dalam hatinya, ada masalah lain yang perlu ditancapkan dalam-dalam sebelum menguak menjadi tangisan lainnya.
Pikiranku terbawa agak melenceng, lalu kembali di sini. Kamar Mamah aku mulai bersihkan dari langit-langit yang tidak terjamah, lalu menyapunya hingga bersih. Ranjang yang empuk aku gebuk-gebuk. Debu melayang seperti mimpi yang terbang di udara, seolah menggoda kenangan untuk kembali. Aku terus membereskannya, hingga waktu berlalu dan kamar mamah pun sudah bersih.
Aku menutupnya lalu ke kamar Nenek. Kamar Nenek yang begitu sederhana. Kasur yang selalu tidak ada penyekat dengan lantai. Kalau kata Nenek dahulu, “Kalau tidur di kasur yang tinggi nenek takut jatuh. Kalau jatuh, nanti merepotkan. Nenek kan berat. Apalagi kamu yang angkat, nanti kamu tertiban, ya bisa gepeng!” Ia menunjukku dan lalu ia tertawa cengegesan.
Aku masih menggeleng-geleng karena terlempar atas masa lalu. Masih saja hal-hal itu memenuhi rak-rak kepalaku. Padahal mereka sudah kusimpan dengan baik untuk tidak dikenang. Namun tetap saja, barang adalah pengantar yang baik untuk sebuah memori berkembang menjadi ingatan.
Tiba-tiba saja suara hujan mengguyur, suaranya sangat teduh. Secara perlahan mendinginkan rumah. Terlihat beberapa tetes hujan menelisik dari plafon ke kamar nenek. Aku langsung saja ke dapur mengambil baskom. Beberapa baskom tersusun rapih dan aku mengambil yang paling mudah saja.
Tidak sadar baskom tersebut adalah baskom yang suka digunakan Mamah untuk membantu buang air kecil Nenek. Sejak penyakit stroke membuat Nenek mengalah untuk berisitirahat terus-menerus, Nenek bagai bayi yang baru lahir. Terbatas melakukan apapun, semuanya perlu bantuan.
Jika Nenek ingin buang air kecil, ia memanggil Mamah. Mamah datang membawa baskom ini dengan beberapa kain. Mamah dan Nenek sudah mengerti apa yang akan dilakukan. Nenek langsung saja diangkat pinggangnya, kakinya dibuka lebar-lebar mengangkang seperti ibu-ibu yang ingin lahiran. Lalu baskom tersebut diselipkan di bawah pinggang dan paha Nenek.
“Udah, pipis aja, Mak,” kata Mamah. Suara air keluar mengguyur baskom beberapa saat, seperti suara air terjun yang deras mengalir turun.
Beberapa waktu kemudian, “Sah, Mamak udah selesai,” ucap Nenek, sembari menahan ke dua kakinya.
Lalu Mamah membereskan itu semua, mengelap dengan kain yang ia siapkan. Beberapa helai digunakan dengan cara membasahinya terlebih dahulu. Nenek hanya telentang menahan pinggangnya. Beberapa kali aku lihat ia bergetar menahan, Mamah menguatkan dan mengeringkan dengan kain yang tersisa dan membuang pipis Nenek.
Aku tersenyum kembali membayangkan kejadian itu. Segala memori tentang mereka selalu lebih kuat daripada kebahagiaan yang pernah ada. Sepertinya aku hidup untuk mengingat rasa sakit demi rasa sakit, atau memang rasa sakit pada diriku terlampau berat dan banyak dibandingkan kebahagiaan itu sendiri.
Beberapa tetes tadi aku bersihkan dengan lap terlebih dahulu, setelah bersih, air yang menerobos kamar Nenek, kutahan dengan baskom. Setelah Nenek pergi dan tidak menggunakannya untuk pipis lagi. Aku yakin baskom itu masih kuat menahan miliaran kubik air, entah air pipis, atau air mata atas kepergian mereka.
Saat-saat Nenek meninggal, Mamah yang pertama kali melihatnya, lalu Mamah menyuruhku memanggil adiknya untuk pulang.
“Nak, panggilin Aus, di rumah Baskoro. Tahu kan?” ucap mamah sambil menyeka tangisan dengan tangannya.
Aku mengangguk, lalu berlari dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku terus saja berlari secepat-cepatnya seperti pelari lomba. Tanpa mengerti apa yang terjadi, apa yang aku rasakan, dan entah aku hanya ingin cepat selesai.
Sesampainya di sana, aku melihat adik Mamah. Lalu saat ia melihat, aku tampak ragu-ragu.
“Kenapa? Ngapain ke sini?” Ia menegurku terlebih dahulu.
“Mmmm, itu, Bang. Nenek… Nenek meninggal…” ucapku ragu-ragu.
Ia langsung bangun rapih-rapih, dan berlari. Aku mengejarnya. ia jauh lebih cepat.
“Ayo cepetan.” Ia menegurku.
Aku tidak menjawabnya. Aku terus saja berlari mengejar. Rasa letih terhempas, orang lain seperti bayangan tak berwujud, hanya ada aku dan dirinya untuk pulang. Beberapa orang berteriakan untuk menyuruh kami hati-hati. Gang demi gang terlewati seperti maling jalanan yang berlari, walaupun hanya seekor ayam yang diambilnya.
Adik Mamah terus saja memimpin. Sesekali, ada saja yang tersenggol, berteriak, dan menghindar. Suara kencang sekali dari depan. Adik mamah menyenggol orang membawa makanan. Aku melihat semuanya berantakan. Yang membawa maupun yang berlari. Semuanya berlarut dengan emosi. Aku sampai pada mereka, adik Mamah dan pembawa makanan saling beradu ucapan. Tidak semua ucapannya tertangkap di telingaku, tiba-tiba saja terdengar pemberitahuan dari masjid.
“Inalillahi wa inailihi rajiun, Inalillahi wa inailihi rajiun.” Kami seraya diam tak bersuara.
Pemberitahuan membuat kami diam membisu tanpa bergerak sedikit pun. Saat suara tersebut menyebut nama Nenek, adik Mamah langsung lari sekencang-kencangnya dan aku mengikutinya. Larinya tidak seperti sebelumnya. Beberapa kali aku melihat air matanya jatuh di jejak larinya, dan suara tangisnya mengiringi.
Sesampainya di sana, ia memeluk Nenek. Orang-orang sudah ramai. Semuanya sibuk. Aku hanya dapat termenung melihat mereka. Tidak ada yang bisa aku lakukan, rasakan, dan mengerti keadaan.
Dari dalam, Mamah keluar dengan tangisan yang membanjiri seluruh wajahnya. Tampak sayup tidak seperti hari-hari lainnya. Tidak bersemangat saat ia bekerja untuk membelikanku mobil-mobilan. Tiba-tiba saja tangisku menguap. Aku seperti kesurupan, meraung-raung menyebut Nenek. Berharap ia bangun seperti biasa, tersenyum, dan hari ini adalah hari yang tidak pernah terjadi.
“Kata Nenek, Nenek nanti janji sembuh. Mau beli jajan lagi sama aku.” Suaraku mengundang perhatian semuanya, Mamah sudah di hadapanku entah dari mana. Ia mendekapku erat-erat. Lama sekali. Sampai Mamah perlu menggoyang-goyangkan aku. Untuk menyadarkan agar aku tenang.
Semua momen terus saja mengulang di kepala. Berputar-putar bagai kaset yang tidak pernah berhenti untuk tamat. Terus teringat, dirasakan, dan tidak boleh terkubur seperti kepergian Nenek yang menyakitkan.
Untung saja di sini aman. Aku tidak perlu khawatir barang-barang di rumah akan hilang, karena para tetangga selalu siap membantu menjaga saat aku pergi. Ruang tamu sedikit demi sedikit bersih. Satu persatu rumah ini akan rapih.
Walaupun belum semuanya dibersihkan, rumah ini tampak berpenghuni. Seperti ruang tamu yang selalu ada Mamah saat sibuk menjahit di sela-sela usai bekerja dan merawat nenek. Dalam kesendiriannya, ia akan membuat berbagai macam, memperbaiki apa pun.
Udara yang lembab, meja yang kusam. Membuat aku teringat bayangan foto-foto di laci meja. Bagaimana kabarnya? Apakah semua baik-baik saja? Kubuka laci dan melihat mereka semua dalam keadaan baik. Jemariku meraih semua dan lalu aku memangku album foto itu dan menyandar di sofa.
Tanganku langsung membuka tanpa meminta persetujuan isi kepala. Mataku menerawang seluruh apa yang ada. Halaman demi halaman terlewati. Ia berhenti pada senyum mamah yang melihat ke kamera sambil menjahit.
“Mah, apa mungkin jahitanmu bisa menjahit rinduku padamu?” gumamku dalam hati.
Tidak ada jawaban. Tapi aku yakin, ia bisa mendengar, entah dari mana ia berada.
Foto berikutnya, aku melihat Nenek berbaring. Senyumnya sama seperti Mamah. Sama-sama manis dan menyejukkan. Hingga akhir, aku baru sadar, tidak ada foto kami bertiga yang mengingatkan kami pernah bersama, dalam rumah yang saat ini aku tinggali pergi dan hanya kembali saat ingin membersihkan.
Album lainnya kubuka, terlihat di sana waktu Mamah masih muda. Ia terlihat seperti seusiaku saat ini. Jemariku terus mengusap foto-foto. Rasanya aku sedang mengusap dua belahan jiwa yang sudah tidak ada. Aku merasakan kehangatan yang mereka pernah berikan. Perlahan hujan di luar berpindah ke air mataku. Udara yang dingin membuat badanku merasa butuh pelukan mamah sekali lagi.
Air mata yang keluar, kutahan agar tidak jatuh pada foto yang ada. Sisa dari yang telah tiada, merupakan keburukan yang tidak terkira jika terjadi kerusakan. Akhirnya tanganku berlomba dengan air mata. Air mata yang ingin jatuh dan tangan yang mengaisnya berulang.
Aku menidurkan seluruh badanku ke sofa. Membuat diriku tidak melawan kepedihan yang terus datang, kelopak mata menutup. Namun sayang, percobaan menahan air mata sungguh sia-sia. Saat menutup, air mata menjadi cermin yang memantulkan bayangan mereka berdua.
Isi kepalaku terus saja menyadarkan atas kepedihan ini. Semua perlakuan mamah dan nenek terus menyambung tanpa pamrih untuk pergi. Semua perlakuan mereka teringat, terulang, terasa. Tangisku mulai bersuara sesekali, tanganku menyeka lebih giat, badanku terasa sangat dingin sekali. Aku tidak hanya membutuhkan sosok mamah untuk menghangatkan diriku saat ini. Namun juga Nenek. Nenek yang selalu memelukku dalam sakitnya.
Apakah cinta yang kalian berikan masih ada di dunia? Seperti yang kalian berikan kepadaku hingga saat ini, atau kalian bisa bantu untuk menghilangkan pikiran ini. Aku sungguh membencinya, emosi terus menggunung, tangisan tidak terbendung, dan aku tidak bisa melanjutkan kehidupan dengan tenang. [T]
BACA cerpen lain di tatkala.co