DUNIA arsitektur di Bali saat ini sangat semarak dengan banyaknya proyek berbagai skala dibangun. Di tepian pegunungan Kintamani, sepanjang alur sungai di Sidemen, di kawasan padat Ubud menyebar hingga pelosok, dan jangan ditanya kawasan tepian pantai. Bangunan besar dan kecil dengan desain-desain unik dan menarik bertebaran bak jamur di musim hujan. Siapa yang merancang? Ada berapa arsitek perempuan yang terlibat dalam proses perwujudannya?
Sebuah diskusi menarik tersaji di Uma Seminyak dalam acara MBloc Design Week dengan tema “Arsitek Perempuan”. Pembicaraan ini muncul ke permukaan setelah melihat data jumlah arsitek perempuan yang berpraktik ternyata jauh di bawah lawan jenisnya. Ini menjadi semakin menarik jika kita melihat jumlah mahasiswi arsitektur di beberapa perguruan tinggi justru lebih dominan dibandingkan dengan mahasiswa.
Fenomena meningkatnya proporsi mahasiswi ini terjadi dalam tiga atau empat tahun terakhir, bahkan di beberapa perguruan tinggi jumlahnya melampaui mahasiswa. Akan tetapi, saat kita melihat data setelah mereka tamat, jumlah arsitek pria justru sangat dominan. Maka muncul pertanyaan, ke mana perginya para arsitek perempuan?
Terdapat 5 arsitek perempuan—dan saya sendiri terjebak, menjadi satu-satunya narasumber pria—dalam diskusi tersebut. Alih-alih memberi banyak pandangan, saya memilih untuk lebih banyak mendengar, karena juga penasaran dengan pertanyaan tentang menghilangnya arsitek perempuan. Berikut adalah rangkuman dari diskusi yang ada dalam catatan saya.
Arsitek perempuan bicara tentang kesetaraan gender di dunia arsitektur | Foto: Gede Maha Putra
Selama ini kita mengenal ada dua kubu besar rumpun keilmuan, yaitu eksakta dan sosial. Ini berakar jauh hingga ke penjurusan pada saat kita di bangku Sekolah Menengah Atas dengan dua jurusan IPA dan IPS. Akibatnya, bidang desain ada di posisi liminal, ia bukan di eksakta dan juga bukan di sosial.
Sudah sejak awal 1980-an ada upaya untuk membuat satu rumpun besar ilmu desain tetapi belum berhasil. Karakter ilmu desain adalah menghasilkan sebuah rancangan/desain. Ini berbeda dengan penemuan kebenaran yang dapat dibuktikan dengan angka yang merupakan karakter ilmu eksakta yang mempelajari fenomena alam. Sementara dalam bidang ilmu sosial, yang menjadi fokus adalah perilaku masyarakat. Kedua bidang ilmu ini tidak bertanggung jawab dalam penciptaan.
Dalam bidang ilmu desain, seorang desainer dituntut pertama untuk mampu melakukan analisis terhadap persoalan, baik sosial maupun eksakta, lalu dari sana mengembangkan alternatif-alternatif yang harus terus diuji. Proses pengujian tidak pernah linier, seringkali bersifat random.
Setelah itu, alternatif-alternatif tersebut akan dipilih dan dikembangkan menjadi sebuah produk. Dari sini, seorang desainer tidak hanya dituntut untuk memiliki kemampuan critical dan strategic thinking; tetapi juga design thinking. Tidak mengherankan jika arsitek identik dengan lembur karena analisis, pengembangan alternatif, proses penentuan dan pengembangan pilihan dari alternatif mensyaratkan proses yang panjang dan komitmen tinggi untuk menyelesaikan pekerjaan.
Bekerja long hour menjadi lekat dengan profesi arsitek. Ini bukan perkara gampang. Salah satu arsitek wanita paling terkenal, Zaha Hadid, menyebutkan dalam quote-nya yang legendaris, “If you want an easy life, don’t be an architect.”
Pekerjaan yang membutuhkan waktu dan komitmen panjang ini dalam beberapa hal bersingugngan dengan karakter wanita yang tidak ada dalam diri laki-laki. Setiap perempuan normal harus mengahadapi siklus bulanan bernama menstruasi. Selanjutnya, saat sudah berumah tangga, maka akan mengalami hamil dengan berbagai macam gejalanya.
Arsitek perempuan yang melaksanakan pameran di Uma Seminyak | Foto: Gede Maha Putra
Dan setelah melahirkan, wanita harus menyusui anaknya dan, dalam banyak kasus, menemani anak menjalani masa-masa awal kehidupannya di muka bumi. Hal ini pun membutuhkan komitmen yang tinggi. Proses yang tidak dialami pria ini banyak menyita waktu setiap perempuan. Pada saat harus bersingungan dengan dunia profesional di bidang arsitektur, terdapat potensi benturan yang tinggi jika hal ini tidak dikelola dengan baik.
Dalam beberapa kasus, seperti yang dialami salah satu narasumber, para perempuan ini kadang merasa iri dengan compatriot prianya yang tidak mengalami hal-hal yang mereka harus lalui sebagai seorang perempuan.
Kondisi berikutnya yang menjadi tantangan bagi lulusan arsitek perempuan untuk berkarier datang dari lingkungan kerja, baik di kantor maupun di proyek atau di lapangan. Sudah cukup lama dan menjadi pengetahuan umum jika kantor-kantor dan pekerjaan lapangan di bidang rancang bangun merupakan tempat yang didominasi pria.
Lingkungan di mana wanita menjadi minoritas bisa jadi cukup rawan mengundang potensi terjadinya pelecehan dalam berbagai tingkatan mulai dari catcalling hingga yang cukup berat. Bahkan, sebelum terjadinya tindakan tersebut pun sebenarnya lingkungan semacam itu sudah cukup mengintimidasi wanita untuk masuk ke dalamnya.
Kita mungkin masih ingat kejadian saat lima orang karyawan perempuan di kantor arsitek ternama Richard Meier menuntut agar sang arsitek mundur karena mereka merasa menjadi korban pelecehan. Ini bisa jadi hanya puncak dari gunung es yang lebih besar.
Untuk berani memasuki dunia semacam itu, wanita lulusan pendidikan arsitektur dituntut untuk memiliki mental, rasa percaya diri, dan kemampuan untuk menghindar yang kuat selain juga sudah dibekali dengan pengatahuan dan skill merancang yang baik. Bandingkan dengan arsitek pria di mana tantangan-tantangan semacam itu tidak mereka hadapi.
Diskusi terbuka tentang peran dan tantangan arsitek perempuan di dunia profesional | Foto: Gede Maha Putra
Lingkungan sosial, terutama yang berkaitan dengan adat di Bali, yang cukup mengikat juga terungkap dalam diskusi. Dari lima narasumber, tiga di antaranya menyebutkan bahwa mereka harus tetap menjalani kehidupan sosial dalam bentuk ‘ngayah’, baik di banjar ataupun di pura yang ada di lingkungannya. Kesibukan-kesibukan ini membuat para arsitek -erempuan narasumber mengatakan jika mereka tidak bisa melepaskan diri dari kalender Bali.
Kalender ini memuat informasi tentang hari-hari penting di mana ritual harus dijalani. Meskipun cukup menyita waktu, disebutkan jika kegiatan ini masih bisa diatur. Anggota masyarakat adat saat ini disebutkan cukup fleksibel dalam mensyaratkan seseorang untuk terjun dalam setiap kegiatan. Ada keluwesan dan kelonggaran di Masyarakat mengingat saat ini hampir semua wanita juga harus bekerja mencari nafkah.
Kelonggaran-kelonggaran ini membuat para narasumber menyebutkan jika hal ini tidak begitu menjadi hambatan bagi pengembangan karier mereka. Ditambah lagi jika kita melihat bahwa praktik berarsitektur melibatkan proses kontemplasi dalam membuat dan menentukan alternatif-alternatif. Kontemplasi ini bisa saja terjadi saat mereka sedang melakukan kegiatan adat.
Saat ini, isu tentang kesetaraan gender sudah bukan lagi barang baru. Upaya untuk menciptakan kesamaan dalam berbagai level ini harus diupayakan oleh semua pihak, termasuk mereka yang terlibat dalam dunia rancang bangun.
Menjadi tanggung jawab sosial masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman bagi arsitek perempuan untuk dapat bekerja dan produktif setara dengan rekan prianya. Ini menjadi agenda penting jika dunia arsitektur ingin menjadi bagian yang memperjuangkan equality dalam bidang pekerjaannya—yang selama ini didominasi kaum pria.
Jika hal itu dapat terwujud, maka kita akan menyaksikan lebih banyak perempuan lulusan sekolah arsitektur yang bekerja menjadi arsitek profesional.[T]
Editor: Jaswanto
BACA artikel tentangARSITEKTURatau artikel lain dari penulisGEDE MAHA PUTRA