Di pinggir Sungai Saba, orang-orang sedang sibuk membangun jembatan. Tak hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak. Tak hanya warga sipil, tapi juga TNI-Polri. Mereka semua bergotong-royong satu sama lain, tak terkecuali Komang Arya dan bapaknya. Melihat pemandangan tersebut, mengingatkan kita pada Ranta dan warga dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer.
Arya terlihat setia menemani ayahnya, Made Suardika. Ia merupakan siswa kelas V di SDN 5 Ringdikit, Desa Ringdikit, Kecamatan Seririt, Buleleng. Sembari bermain dengan beberapa temannya, Arya sesekali melirik ayahnya. Ketika kedua mata mereka bertemu, keduanya saling melempar senyuman.
Sekadar informasi, jembatan yang dibangun di wilayah Sungai Saba itu sebagai alternatif jalan untuk menuju ke sekolah Arya dan teman-temannya. Ayahnya, Made Suardika, bekerja dengan penuh semangat. Ia tidak sendiri, sebagaimana telah disinggung di atas, ada beberapa orang tua lainnya serta anggota TNI-Polri yang turut bergotong royong, Jumat (27/9/2024) pagi itu.
Dalam hal ini, anggota TNI-Polri itu diterjunkan khusus oleh Kodim 1609/ Buleleng serta Polres Buleleng dalam rangka HUT TNI ke-79, memang. Seluruhnya bekerja bahu-membahu. Proses pembuatan jembatan ini merupakan upaya warga untuk memudahkan akses pendidikan bagi anak-anak di Desa Ularan, Desa Lokapaksa, dan Desa Ringdikit.
Sebelumnya, dengan swadaya dan inisiatif sendiri, beberapa bulan yang lalu warga dari tiga desa tersebut—yang anaknya sekolah di SDN 5 Ringdikit—sudah membangun jembatan ini dengan sumber daya seadanya. Mereka menggalang dana sana-sini, sampai menjual kupon manakan dan minuman. Semua itu hanya supaya anak-anak mereka berangkat sekolah dengan aman dan nyaman.
Ya, selama ini, Arya dan teman-temannya terpaksa menyeberang sungai setiap hari untuk menuju sekolah. Dengan sungai yang aliran airnya cukup deras dan jembatan gantung—yang dibangun pemerintah beberapa tahun silam—sudah rapuh, mereka harus rela melepas sepatu dan celana agar tidak basah saat menyeberang, apalagi saat musim hujan.
Biasanya, Arya dan teman-temannya pergi ke sekolah melalui jembatan gantung yang dibangun di bendungan Saba. Namun sejak lama, Arya sudah tidak lagi lewat di jembatan itu. Jembatan itu miring dan rapuh. Alas kayunya berlubang dan membahayakan. Meski masih bisa dilalui, tetapi Made Suardika khawatir jika anaknya mengalami sesuatu yang tidak diinginkan.
Komang Arya lantas memutuskan berangkat sekolah dengan menyeberangi sungai yang tepat berada di belakang rumahnya. Setiap berangkat sekolah, tak jarang Arya digendong Made Suardika menyeberangi sungai dengan lebar sekira 20-an meter itu. Sepatu dan celananya kadang dilepaskan dahulu saat menyeberang. Saat tiba di seberang barulah sepatu kembali digunakan.
“Dulu diantar sama bapak. Berangkat sekolah bersama teman-teman. Kalau sudah selesai menyeberang sungai, sepatunya dipakai di sekolah. Kadang digendong juga saat nyeberang sungai,” ungkap Arya sembari bermain bersama teman-temannya.
Made Suardika, ayah Arya, mengenang masa sulitnya saat sekolah di sekolah yang sama pada tahun 1984. Ia juga harus menyeberang sungai dan kadang bolos sekolah saat banjir. “Dulu kami sudah seperti ini. Kami ingin anak-anak kami tidak mengikuti jejak kami. Biar kami saja,” katanya.
Semangat warga untuk meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak ini mendorong mereka berinisiatif membangun jembatan baru. Para orang tua pun sepakat untuk menggalang dana secara swadaya agar bisa membangun jembatan seadanya—seperti yang sudah disampaikan di atas.
Dengan dikoordinir Dewa Ketut Darmayasa, jembatan sederhana dari bambu akhirnya selesai. Namun hal itu masih jauh dari kata layak dan aman. Seiring waktu, jembatan itu juga mulai rapuh karena termakan air dan sinar matahari. Arya dan teman-temannya kembali melepas celana dan sepatu untuk menyeberangi sungai.
“Anak-anak kami hanya dapat menikmati fasilitas itu tidak lama, karena sudah rapuh lagi. Jadi kami terus meminta bantuan ke sana-ke mari agar bisa membuat jembatan lagi,” kata Ketut Darmayasa.
Upaya untuk meningkatkan akses pendidikan itu pun akhirnya menemui titik terang. Kini, Arya dan teman-temannya memiliki jembatan. Meski belum sepenuhnya usai, tapi jembatan itu sudah dapat dilintasi dengan nyaman dan, sekali lagi, aman. Arya tak lagi perlu menanggalkan celana dan sepatunya. Atau harus digendong menuju seberang sungai.
“Kalau sekarang kan belum kering. Mungkin dua hari lagi sudah bisa dilalui. Gak perlu lagi diantar bapak sambil lepas sepatu,” ujar Komang Arya kegirangan.
Tak dapat dimungkiri, pembangunan jembatan ini memang begitu heroik dan mengharukan. Bahkan Arya tidak dapat menyembunyikan raut kebahagiaannya. Ia dapat sekolah dengan nyaman dan beban ayahnya untuk membangun jembatan sedikit berkurang. Arya tak henti-henti bersorak. Sesekali ia melirik jembatan yang baru setengah jadi itu. “Sebentar lagi ini jadi,” bisiknya kepada diri sendiri.
Terlepas dari kegembiraan Arya, jembatan ini dibangun bukan hanya untuk siswa, tetapi juga akan memberikan manfaat bagi seluruh warga di tiga desa yang terhubung tersebut. Terutama aktivitas pertanian yang dilakukan di tiga desa itu.
“Kami merasa bersyukur atas bantuan ini. Tapi perjuangan kami belum selesai, kami masih butuh biaya tambahan pula untuk membuat jembatan ini. Karena ini masih belum ada pegangannya. Supaya anak-anak kami saat lewat lebih aman,” ungkap Dewa Ketut Darmayasa, salah satu orang tua siswa.
Dewa Darmayasa juga merasa sedikit lega. Meski belum rampung sepenuhnya, ia merasa jembatan yang kini dibangun cukup untuk memfasilitasi para siswa dan orang tua yang beraktivitas.
“Selama ini kami sama-sama menyeberang sungai. Tapi sekarang sudah bisa lewat. Kalau lewat jalan besar itu memakan waktu 1 jam dan jauh juga. Jadi ini adalah jalan alternatif dan cepat untuk menuju ke wilayah seberang,” ujarnya.
Jembatan yang dibangun TNI/POLRI bersama masyarakat menjadi harapan baru bagi warga di Dusun Rawa, Desa Ringdikit; Dusun Sari Mekar, Desa Lokapaksa; dan Dusun Kuwum, Desa Ularan. Tidak hanya jadi penunjang sarana pendidikan, tetapi juga penunjang aktivitas perekonomian masyarakat sekitar.
Rasa lega tidak saja ditunjukkan oleh para orang tua dan para siswa. Dandim 1609/Buleleng, Letkol Kav. Angga Nurdyana juga merasakan hal serupa. Melihat wajah polos para siswa itu membuatnya tersentuh. Ia melihat pancaran mata yang begitu semangat untuk mengenyam pendidikan. Jembatan ini diharapkan menjadi jejak langkah keseharian mereka sepanjang menempuh pendidikan.
“Melihat wajah mereka saya terharu. Selama ini mereka terpaksa lewat sini karena jembatan gantung di bendungan itu sudah tidak layak. Jadi dengan jembatan ini mereka bisa menyeberang dengan aman tanpa harus basah-basahan lagi,” ujar Dandim Angga.[T]