NOVEL Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) pada mulanya adalah novel yang terbit terpisah. Yang pertama memang judulnya adalah Ronggeng Dukuh Paruk dengan anak judul “Catatan buat Emak” (1982); disusul Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan yang ketiga adalah Jantera Bianglala (1986). Dalam sejarah sastra Indonesia, ketiga novel ini lebih dikenal dengan satu judul yaitu trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Trilogi Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang paling tenar, di samping Bekisar Merah (1993).
Ada beberapa catatan penting yang perlu ditulis ketika masa kejayaan novel cetak/kertas sudah hilang atau hanya berhenti di persimpangan jalan yang tidak lagi dilewati; yang disebabkan oleh diskontinuitas, sebagai akibat disrupsi dunia digital terhadap dunia cetak.
Karya-karya yang pernah sangat penting di dunia cetak karena keunggulan yang tidak terbantah, tidak mampu menembus gap yang begitu lebar dan curam antara kedua dunia tersebut. Namun demikian, masih perlu kiranya membaca Ronggeng Dukuh Paruk sebagaimana akan dijelaskan di dalam isi ini.
Catatan ini merupakan proyek pembacaan ulang era sastra cetak, era sastra print kapitalisme. Era ketika berjayanya redaktur sastra di penerbitan mayor. Era ketika koran-koran di ibu kota mengendalikan penerbitan sastra. Menjadi barometer pengakuan kepengarangan seseorang. Era itu memang sangat berkuasa sehingga menimbulkan kasta dalam dunia kepengarangan.
Ahmad Tohari adalah pengarang yang sukses karena memang karyanya sangat hebat. Ronggeng Dukuh Paruk telah memulai sesuatu yang memicu pertanyaan; mengapa Ahmad Tohari menulis ronggeng Dukuh Paruk karena ingin memenuhi minat pembaca setelah novel ini terbit. Persoalannya yang sangat spesifik, lokal. Sangat sempit! Hanya di suatu wilayah pedukuhan bernama Dukuh Paruk. Jumlah rumahnya tidak lebih daripada 23 bangunan.
Persoalan hidup yang diangkat di dalam novel ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan perubahan Indonesia, globalisasi, dan pendidikan, atau negara otoriter Orde Baru. Pun novel ini bersih dari muatan kritik sosial. Walaupun begitu, Ahmad Tohari tidak juga tepat berjalan di atas realisme sosialis seperti sastra era demokrasi terpimpimpin (satu setengah atau dua dekade menjelang Presiden Soekarno turun dari tampuk kekuasaan. Ahmad Tohari murni menulis cerita sebagai dan untuk cerita itu sendiri. Ia tidak menggunakan novel untuk tujuan perjuangan kelas, misalnya. Mengapa novel ini mampu menembus wilayah-wilayah yang jauh berada di luar persoalan orang-orang Dukuh Paruk (racun tempe bongkrek, pemujaan kepada roh bromocorah Ki Secamenggala, ronggeng dan dimensi pelacuran, pergulatan batin Rasus atas emaknya yang tidak jelas keberadaannya, naluri keibuan seorang ronggeng).
Novel ini menyajikan pengalaman batin para tokoh (Rasus, Srintil, Nyai dan Ki Kertareja, dan Nyai Sakarya) yang sangat mendalam. Ahmad Tohari memiliki cerita orang-orang di Dukuh Paruk. Menulis baginya bukan urusan pembaca tetapi urusan penulis. Urusan penulis adalah menulis! Pembaca adalah urusan masyarakat pembaca itu sendiri. Urusan pembaca mungkin lebih dekat dengan urusan penerbit atau urusan pasar. Pembaca adalah cerminan pasar buku atau pasar novel. Penerbit berharap buku yang diterbitkan laku dijual sehingga mendapatkan keuntungan. Membaca berurusan dengan daya tarik bahan bacaan atau daya tarik novel. Ahmad Tohari tentu tidak memiliki standar pembaca. Atau, Ahmad Tohari menulis tidak ada pada kriteria-kriteria selera pembaca. Ahmad Tohari menulis Ronggeng Dukuh Paruk, Catatan buat Emak misalnya, mungkin hanya untuk dirinya sendiri.
Jadi, benar ucapan pemenang nobel sastra dari China, Gao Xinjiang. Bahwa ia menulis hanya untuk diri sendiri. Benar apa yang dilakukan oleh Soe Hok Gie. Ia menulis catatan seorang demonstran tanpa pernah berpikir karyanya kelak dibaca mahasiswa, para peneliti, dan didiskusikan secara luas di Indonesia. Benar apa yang dilakukan oleh Anne Frank. Ia hanya menulis pandangan-pandangannya terhadap perang dari belakang rumahnya, dari persembunyiannya.
Ahmad Tohari. Jika ia memikirkan pembaca pasti tidak jadi menulis karena yakin urusan pembaca bukan urusan pedukuhan yang begitu kecil, begitu kuno, buta huruf, kotor, terbelakang, kasar, dan cabul. Manusia Indonesia era 80-an adalah urusan pembangunan pendidikan, globalisasi, dan modernisasi. Mengapa Ronggeng Dukuh Paruk lahir dalam persoalan-persoalan yang sedemikian sempit? Lalu, mengapa novel ini memikat?
Maka dari segi materi yang ditulis, Ahmad Tohari sama sekali tidak ada kaitannya dengan usaha untuk memenuhi standar atau selera pembaca. Ahmad Tohari hanya menuliskan pikiran-pikiran batinnya. Ahmad Tohari hanya menceritakan sebuah kisah melalui teknik penggunaan tokoh utama sebagai narator atau orang yang bercerita yaitu Rasus.
Rasus adalah anak Dukuh Paruk kemudian tumbuh menjadi pemuda gagah. Pada akhir cerita Ronggeng Dukuh Paruk, Catatan buat Emak sebagai jilid pertama trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah ketika di subuh pagi Rasus meninggalkan Dukuh Paruk. Ia kembali ke kesatuannya di Dwuan. Atas prestasinya membunuh perampok ia diangkat menjadi tentara yang berpangkat di bawah Sersan Slamet.
Malam itu ia tidur bersama Srintil yang sudah resmi menjadi ronggeng dan melakukan hubungan suami istri. Rasus tidak mungkin memenuhi keinginan Srintil; menjadikannya istri, memberinya anak karena pilihan Rasus untuk tetap menghadiahi Dukuh Paruk seorang ronggeng yaitu Srintil. Jika Rasus mengambil alih Srintil menjadi istrinya maka ia akan mengambil harta terbesar padukuhannya, yakni ronggeng. Karena itulah pada pagi subuh Rasus menyandang bedilnya meninggalkan Dukuh Paruk dan Srintil, masih tertidur pulas di atas lincak bambu.
Perkara yang patut diajukan terhadap Ronggeng Dukuh Paruk, Catatan buat Emak adalah ada semacam arus yang mengendalikan resepsi pembaca. Ronggeng Dukuh Paruk, kemudian lebih banyak dibaca dari perspektif laki-laki melihat perempuan. Dunia ronggeng adalah dunia laki-laki dan harta atas kekuasaannya terhadap dunia perempuan. Maka inilah yang kemudian sampai kepada pembaca. Nyaris semua pembaca melihat ronggeng Dukuh Paruk sebagai Srintil.
Sementara itu Rasus tidak pernah menjadi perhatian pembaca padahal dari judul sudah diindikasikan bahwa novel ini adalah pergulatan batin seorang anak Dukuh Paruk yang kehilangan ibunya akibat makan tempe bongkrek. Dalam hal ini Rasus dan Srintil senasib. Kedua Ibu mereka meninggal karena racun. Rasus mendapatkan cerita dari neneknya bahwa ibunya meninggal dan hilang tanpa kuburan. Cerita-cerita tentang ibu Rasus; apakah ibunya dibawa mantri yang mengobatinya dari keracunan, menikahi, dan melarikannya. Satu cerita lain, ibu Rasus meninggal di kota lalu mayatnya dibedah, diiris-iris untuk penyelidikan medis dari racun tempe bongkrek. Setelah penyelidikan, tidak dikembalikan untuk dikuburkan di Dukuh Paruk.
Selama hidupnya, setidaknya sampai umur 19 tahun Rasus tetap memikirkan ibunya. Dan semasa itu justru Rasus menemukan Srintil bukan sebagai ronggeng tetapi sebagai perempuan yang menyimpan sosok ibunya. Secara psikologis, maka hubungan Rasus dan Srintil adalah hubungan “ibu dan anak”. Pengarang lebih banyak membicarakan pergolakan batin atau pergolakan kejiwaan rasus. Bukan perkara ronggeng sebagai perkara antropologi dan prostitusi kuno dan terlegitimasi oleh kepercayaan masyarakat dengan memuja makam Ki Secamenggala.
Hubungan yang pertama kali terjalin antara Rasus dan Srintil adalah hubungan ibu dan anak. Kelak hubungan ini secara perlahan akan berubah menjadi hubungan asmara. Hubungan asmara ini kemudian mengakhiri bayang-bayang Rasus terhadap ibunya yang identik dengan Srintil. Ketika kejadian pertama di hari buka kelambu, siang harinya di pekuburan, Rasus tidak bisa memenuhi hasrat Srintil untuk melakukan hubungan badan karena Srintil ingin menghadiahi Rasus keperawanannya kepadanya sebelum nanti malamnya dinikmati oleh laki-laki yang memenangkan lelang. Ketika itu rasus melihat Srintil masih sebagai ibunya. Rasus banyak memperhatikan srintil. Sebagai orang Dukuh Paruk ia yang paling berkeberatan ketika Srintil menjadi ronggeng. Ini semata-mata bukan hubungan cinta. Rasus tidak tega melihat sosok ibunya pada Srintil dan jika Srintil melakukan itu berarti ibunya juga sebagai ronggeng. Rasus mungkin menjadi sebuah perkecualian di kalangan orang Dukuh Paruk yang tidak menyukai, mengapa rongeng ditolak; bahwa ronggeng dukuh paruk adalah prostitusi.
Perkara ronggeng dijelaskan dengan sangat baik oleh pengarang dan bagaimana seorang mucikari (dukun ronggeng, Ki dan Nyai Kartareja) melahirkan seorang ronggeng. Ada memang pertarungan-pertarungan religi yang menjadi justifikasi untuk mengesahkan prostitusi di dukuh paruk di bawah kesenian ronggeng. Seperti misalnya pemujaan indang ronggeng yang mana ini tidak bisa sembarangan dilakukan oleh perempuan; maka untuk menjadi seorang ronggeng di Dukuh Paruk, ia harus melewati peristiwa-peristiwa magis; seolah-olah prostitusi itu adalah kendali dari dunia leluhur; prostitusi menjadi sah atas nama leluhur.
Karena itu, orang Dukuh Paruk selalu menghormati tradisi ronggengnya dan sejak lama tidak ada lagi ronggeng di pedukuhan mereka. Lewat Srintil, Dukuh Paruk kembali hidup; setelah Srintil mendapatkan wahyu menarikan ronggeng dan menerima tayuban; secara sah diwisuda pada malam bukak kelambu. Malam bukak kelambu adalah malam ketika seorang ronggeng menyerahkan keperawanannya kepada laki-laki yang bisa membayar karena telah memenangkan ”lelang keperawanan”. Pada kasus ini mucikari Ronggeng Dukuh Paruk berlaku licik. Pada malam bukak kelambu tidak hanya satu yang bisa membeli keperawanan Srintil tetapi ada dua laki-laki (Dower dan Sulam, keduanya dari luar Dukuh Paruk). Dengan siasat licik mucikari (Nyai Kartareja), ia sukses melelang keperawanan Srintil kepada Sulam dan Dower. Namun sebelum Srintil berhubungan badan dengan kedua laki-laki ini, Rasus telah melakukannya.
Perhatian Rasus kepada Srintil dan terutama ketika di acara malam buka kelambu; ketika pada suatu malam di Desa muncul laki-laki penuntun kerbau yang digunakan untuk membayar harga yang harus dibayarkan kepada Srintil dari seorang pemuda Pecikalang yang bernama Dower; Rasus mengikuti dan mengintip dari belakang rumah di Kertajaya. benar apa yang terjadi! Di sana sudah ada pemuda lain (Sulam). Mereka bertarung untuk memperebutkan siapa yang memenangkan sayembara dalam acara bukak kelambu; siapa yang pertama kali meniduri Srintil dan benar-benar mendapatkan keperawanannya malam itu.
Kehebatan atau kelicikan seorang mucikari yang berpengalaman di sebuah dusun kecil di Dukuh Paruk akhirnya memberi peluang untuk bertarung antara Dower dan Sulam. Sebelum pada akhirnya siasat licik dijalankan oleh Nyai Kertareja. Ketika Sulam tidur pulas karena mabuk Dower masuk kamar Srintil. Setelah semuanya selesai Dower kembali ke rumahnya di Pecikalang, barulah Sulam siuman dan segera dipersilakan masuk ke kamar Srintil oleh Nyai Kertareja.
Ketika Nyai Kartareja sibuk mengatur siasat, Srintil keluar dari biliknya untuk kencing dan Rasus menemukannya di belakang rumah Kertareja. Apa yang terjadi tadi paginya gagal di pekuburan kompleks makam Ki Secamenggala dan malam ini Srintil telah menyerahkan keperawanannya kepada Rasus. Tetapi orang Dukuh Paruk tidak ada yang tahu bahwa telah terjadi noda besar dalam kesucian ronggeng; bukan orang yang memenangkan lelang yang melakukan hubungan badan pertama kali. Tetapi Rasus. Namun demikian, memang Rasus tampaknya tidak membayar apa-apa kepada Srintil, tidak seperti Dower dengan kerbau dan uang rupiah putih serta Sulam dengan sekeping ringgit emas.
Rasus sebenarnya jauh sebelum itu memberi keris kepada srintil. Jadi harga keperawanan Srintil dapat dilihat dari sebilah keris warisan leluhur Dukuh Paruk, kerbau dan dua rupiah putih, serta ringgit emas. Setelah malam bukak kelambu Rasus meninggalkan neneknya dan Dukuh Paruk. Bekerja sebagai penjaga singkong di pasar Dawuan. Dari pasar ini ia mulai berjarak dengan Dukuh Paruk. Ia melakukan perubahan-perubahan dalam hidupnya. Rasus menemukan kenyataan bahwa Srintil menjadi sangat kaya karena telah menjadi ronggeng. Ini sebagai bukti bahwa Srintil dan dunia ronggeng adalah prostitusi kuno di Dukuh Paruk.
Ketika terjadi perampokan di Dawuandan pemerintah mengirimkan tentara. Secara tidak sengaja Rasus masuk ke dalam kehidupan tentara. Pada awalnya Sersan Slamat minta bantuan kepadanya untuk mengangkat peti. Rasus akhirnya menjadi tobang (pembantu tentara atau pembantu militer) dengan berpakaian seragam tetapi tidak berpangkat. Sementara itu bayangan-bayangan tentang kekejaman, kebencian Rasus kepada mantri kesehatan yang membawa ibunya lari, tetap hidup di hatinya. Namun demikian, ada yang berubah setelah meninggalkan Dukuh Paruk dan setelah Rasus selesai berhubungan badan dengan Srintil di belakang rumah Kartareja malam itu dalam acara malam bukak kelambu; ia tidak lagi menemukan sosok ibunya pada Srintil. Tidak lagi melihat sosok Srintil sebagai sosok ibunya. Pikirannya mulai berubah karena ia sangat menyadari seorang ronggeng adalah milik masyarakat dan milik laki-laki yang mampu membayar.
Pada waktu Rasus berburu ke tengah hutan menemukan cara untuk membunuh menteri kesehatan yang melarikan ibunya itu. Dengan cara menembak wajah yang dibuat dari paras di tengah hutan ketika ia berburu bersama tentara dan mencari mencuri senapan atau bedil; hingga berkeping-keping, mati dan hancur. Rasus puas karena sudah membalas dendamnya. Ini adalah peristiwa kejiwaan yang mendalam dan dengan cara demikian pada dunia bayangan ternyata persoalan kejiwaan batin, pergulatan untuk membalaskan dendam kepada laki-laki yang membawa lari ibunya; telah bisa diselesaikan. Mantri kesehatan itu sudah mati di tangan Rasus dengan cara ditembak kepalanya hancur berkeping-keping. Maka pergulatan batin Rasus sudah berakhir. Ya tidak lagi memikirkan bahwa ibunya dilarikan oleh mantri kesehatan itu. Juga sebelumnya ketika malam bukak kelambu selesai dan Rasus mendapatkan keperawanan Srintil. Pada saat itu sama sekali bayangan ibunya tidak ada maka Rasus. Ia sudah menuntaskan catatan buat emak. Nanti pada akhir novel ada satu kesimpulan; catatan terpenting Rasus ke mana emaknya pergi.
Ketika kemudian Rasus menjadi pembantu tentara dan pada suatu malam berjaga di Dukuh Paruk, untuk mencegah atau mengintai datangnya perampok dan memang pada malam itu lima orang datang ke rumah Kertareja, Dukun Ronggeng, mucikari; lalu di situlah kesempatan Rasus membunuh dua perampok sekaligus dan dua lagi oleh tentara setelah mendapatkan bantuan dari markas Dawuan. Masyarakat Dukuh Paruk kemudian mengenali siapa pemuda yang membunuh perampok tersebut yaitu Rasus, orang yang meninggalkan Dukuh Paruk ketika peristiwa malam bukak kelambu itu terjadi. Di sini Rasus menghadapi kenyataan bagaimana sebenarnya pikiran Srintil. Walaupun menjadi ronggeng, Srintil tetap ingin mendapatkan anak dari Rasus dan dia ingin meninggalkan dunia ronggeng. Pada bagian akhir cerita ini Rasus kembali mengambil sebuah keputusan batin sebagai catatan akhir buat emak bahwa emaknya tidak dilarikan oleh menteri kesehatan dan dinikahi tetapi mayat dibedah untuk tujuan penyelidikan kemanusiaan.
Rasus tenang dan inilah jawaban batin atas hilangnya emak. Pada usia 20 tahun dia sudah menemukan jawabannya sendiri bahwa emaknya di mana dan bagaimana kematiannya akibat racun tempe bongkrek. Rasus kembali ke kesatuannya meninggalkan Srintil di Dukuh Paruk. Itulah hadiah terbesar yang diberikan oleh Rasus kepada Dukuh Paruk: ronggeng.
Ronggeng Dukuh Paruk sejatinya adalah pergulatan seorang anak laki-laki yang mengalami odipus kompleks. Bagaimana ia merasa sangat mesra dan dekat kepada ibunya dan dia tidak memiliki sosok ibu. Ahmad Tohari sama sekali tidak pernah menghadirkan sosok ayah pada kehidupan Rasus. Juga Rasus diasuh oleh seorang nenek. Sayang sekali pikiran-pikiran pembaca selalu lebih suka menyudutkan Srintil. Padahal yang menjadi fokus besar dalam Ronggeng Dukuh Paruk, Catatan buat Emak adalah catatan buat emak sendiri dari seorang anak laki-laki yaitu Rasus. Yang kehilangan emaknya. Ia hanya tahu cerita-cerita di mana emaknya, dari neneknya dan inilah kemudian yang mewarnai perjalanannya selama di Dukuh Paruk sebelum ia meninggalkan pedukuhan ini untuk menjadi tentara dan bergabung dengan kesatuan Sersan Slamet.
Pembaca kadang-kadang berlaku tidak adil secara gender. Secara feminis pembaca ikut-ikutan menyudutkan perempuan seperti Srintil. Sudah jelas pergulatan batin Rasus dalam menemukan emaknya tetapi hal ini tidak penting dalam pembacaan dengan bias gender. Dan, ia bersinggungan dengan kehidupan perempuan yang pada waktu jauh sebelum menjadi ronggeng yaitu Srintil. Srintil bagi Rasus pada awalnya adalah sosok ibunya. Ahmad Tohari menghadirkan dunia batin di mana pembaca sedang dikecoh oleh pikirannya sendiri yang bias gender. Seolah-olah pembacaan laki-laki tidak menarik. Justru yang menarik adalah pembacaan sebagai perempuan yang disudutkan. Menghasilkan kesepakatan bahwa Ronggeng Dukuh Paruk Catatan buat Emak adalah penindasan perempuan di bawah budaya ronggeng; sebenarnya tidak demikian adanya! ”Catatan buat Emak” dalam seri pertama trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah pergulatan anak yang sedang mengalami odipus kompleks. Rasus terobsesi kepada ibunya. Ia diasuh neneknya setelah Dukuh Paruk mengalami peristiwa keracunan massal tempe bongkrek.
Sepanjang kisah dalam ”Catatan buat Emak” ia berjuang, bergulat membangun dan menemukan jawaban kematian ibunya atau keberadaan emaknya. Novel Ronggeng Dukuh Paruk Catatan buat Emak adalah pergulatan batin seorang bocah Dukuh Paruk dari usia 1 hingga 20 tahun untuk menemukan jawaban di mana ibunya. Jawaban itu ditemukannya pada akhir novel. Emak Rasus tidak pergi dibawa dan dinikahi oleh mantri kesehatan tetapi mati di kota. Mayat emaknya dibedah untuk kepentingan penelitian keracunan tempe bongkrek. Tidak tahu kuburannya di mana? Apakah dikubur atau tidak? Atau daging ibunya diekstrak, dihancurkan setelah penyelidikan racun tempe bongkret di tubuh emaknya selesai.
Rasus mengakhiri ”catatan buat emak” dengan penerimaan bahwa mayat emaknya dipakai untuk penyelidikan kedokteran, bagi penelitian keracunan tempe bongkrek. [T]
BACA esai-esai lain dari penulis I WAYAN ARTIKA