- Artikel ini adalah hasil dari seminar “Khazanah Rempah dalam Lontar”, program khusus Singaraja Literary Festival 2024, yang didukung Direktorat PPK (Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan), Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia, 23-25 Agustus 2024.
ACARA Singaraja Literary Festival (SLF) yang mengangkat tema “Energi Ibu Bumi” Tahun 2024 ini memberikan ruang khusus untuk membicarakan khazanah rempah dalam lontar yang menyajikan narasi-narasi edukatif dan inspiratif dari para pembicara. Pembicaraan dibagi menjadi tiga klasifikasi dari perspektif pengobatan (usada), aroma (ganda) dan kuliner (boga). Tiga pembahasan ini sangat relevan dengan wilayah Singaraja, Buleleng yang dinyatakan sebagai lumbung cengkeh di Bali.
Ungkapan yang menyatakan Buleleng sebagai lumbungnya cengkeh di Bali tentu tidak berlebihan. Hal ini selaras dengan pemberitaan dari salah satu media nasional yaitu Times Indonesia (2018), menjelaskan bahwa salah satu wilayah penghasil rempah yaitu cengkeh terbesar di Bali terletak di Kabupaten Buleleng. Desa Selat yang terdiri dari Dusun Dwijati, Dusun Sekar Sari, dan Dusun Gunung Sekar merupak tiga wilayah utama di Buleleng yang menghasilkan cengkeh. Sebanyak 80 persen masyarakat di tiga dusun tersebut merupakan petani cengkeh. Selain itu, keberadaan hutan lindung dan perbukitan yang cukup luas, ditanami cengkeh maupun beberapa tanaman lainnya seperti kopi dan kakao (coklat).
Rempah dalam Naskah Lontar
Jejak perdagangan rempah di Bali diperkirakan terjadi sejak zaman prasejarah atau awal abad masehi. Hal tersebut ditandai dengan penemuan artefak arkeologis seperti gerabah, cermin dari perunggu, dan manik-manik dari India, Cina, dan Mesir. Hubungan intensif yang terjalin antara Bali dengan daerah-daerah lain tersebut salah satunya diduga kuat berhubungan erat dengan pencarian rempah-rempah. (Ardika, 2020). Menelusuri jejak rempah di Bali tidak hanya menyoalkan tentang perdagangan, tetapi tentang warisan budaya yang masih kita temukan dalam wujudnya berupa pengobatan, kecantikan, kuliner, dan lainnya yang termuat dalam naskah-naskah lontar di Bali. Seperti halnya dengan naskah-naskah lontar yang membicarakan tentang rempah yang tersimpan di Kirtya Liefrinck Van der Tuuk atau kini disebut dengan Gedong Kirtya. Naskah-naskah lontar tersebut, di antaranya Usada Taru Pramana, Usada Buda Kecapi, Rukmini Tattwa, Dharma Caruban, dan lain sebagainya.
Usaha untuk menelusuri rempah di Bali yang termuat dalam naskah-naskah lontar, senantiasa menarik sebagai suatu warisan budaya yang adiluhung. Melalui khazanah naskah lontar, menjadi langkah awal untuk menjelajahi pemanfaatan rempah dalam tradisi masyarakat Bali. Guna Yasa dalam tulisannya yang berjudul “Jelajah Pemanfaatan Rempah dalam Naskah Lontar”, menitik beratkan pada usaha membumikan dunia literasi khususnya rempah dalam berbagai dunia industri. Dalam pembahasannya, rempah sebagai ilmu pengobatan atau usada termuat dalam sejumlah lontar di antaranya Usada Ila, Usada Rare, dan lainya. Selain itu, lebih lanjut dijelaskan pula tentang pemanfaatan rempah dalam perspektif ganda (bau) yaitu rempah yang digunakan sebagai parfum untuk guna-guna. Hal tersebut termuat dalam Geguritan Megantaka. Sementara itu, menariknya rempah dalam perspektif boga (makanan) disebutkan dalam sebuah kakawin yang berjudul Dharma Sawita. Lebih lanjut, teks lontar Purincining Ebatan menguraikan komposisi rempah untuk membuat bumbu tertentu seperti basa genep, dan lainnya dalam olahan kuliner ala Bali.
Berdasarkan uraian di atas, keberadaan rempah di Nusantara dan di Bali pada khususnya, nyatanya memberikan berbagai manfaat. Salah satu manfaat lainnya yaitu untuk kecantikan. Menjadi cantik atau dalam konteks ini yaitu tampil dengan penampilan yang menarik, tentu menjadi dambaan setiap orang. Usaha untuk menjaga dan merawat tubuh khususnya rambut agar terlihat indah dan sehat, menjadi catatan penting yang termuat dalam naskah lontar Indrani Sastra. Resep untuk menjaga kesehatan dan keindahan rambut dikupas dengan apik dan menarik oleh Ari Dwijayanthi dalam tulisannya yang berjudul “Tentang Rambut dan Kisah-Kisahnya”. Lebih lanjut, dalam lontar tersebut dijelaskan bahwa salah satu jenis rempah yaitu parutan jahe yang dicampurkan dengan perasaan daun waru dan daun kembang sepatu dapat menyejukkan kulit kepala dan membersihkan kulit kepala dari ketombe.
Khazanah naskah lontar yang membicarakan tentang manfaat rempah di atas, menunjukkan bahwa masyarakat Bali sangat dekat dengan alam dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Tradisi bercocok tanam kuat mengakar dalam kehidupan orang Bali. Hal ini ditandai dengan adanya pemilihan waktu yang baik dalam menanam berbagai jenis tanaman atau tumbuhan seperti yang termuat dalam teks Geguritan Dewasa, Wariga, atau Padewasan. Misalnya berdasarkan hari (saptawara), hari Minggu merupakan waktu yang baik untuk menanam tanaman beruas-ruas (berbuku-buku), seperti kunyit, jahe, lengkuas, kencur dan lainnya yang termasuk dalam jenis-jenis rempah.
Sementara itu, teks lontar Aji Janantaka yang disajikan secara naratif mengisahkan tentang Raja Arya Pratiwara beserta bawahannya yang berubah menjadi tumbuh-tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang disebutkan dalam teks tersebut yaitu kayu cendana, pala, menyan dan kayu lainnya yang berbau harum tersebut dapat digunakan untuk membuat bangunan suci. Selain itu, usaha lainnya yang menunjukkan betapa pentingnya tumbuhan dan rempah pada khusunya di Bali, dituangkan dalam sebuah geguritan (sastra tembang) dengan judul Geguritan Jahe Cekuh. Dikutip dari Buletin Ilmiah Program Magister Linguistik Udayana (2018), karya sastra yang bermotif panji ini mengangkat tokoh cerita dengan nama-nama yang unik yaitu nama-nama bumbu yang berganti di pertengahan cerita. Melalui teks-teks tersebut, menunjukkan adanya berbagai usaha orang Bali untuk mendekatkan dirinya dengan alam. Selaras dengan hal tersebut, maka idealnya usaha untuk menjaga, merawat, dan menanam kembali tumbuh-tumbuhan tersebut dapat tetap dilakukan.
Mengacu pada tradisi bercocok tanam di Bali, catatan dari Jero Penyarikan Duuran Batur yang berjudul “Membaca Arsip Pertanian, Membentang Benang Kearifan: Teropong Mitos, Manuskrip, dan Ritus”, memberikan penekanan bahwa leluhur Bali sejak berabad-abad silam memandang pertanian bukan sekadar objek ekonomi, tetapi mata air peradaban. Hampir seluruh pura, manuskrip, tradisi lisan, kesenian, ritus, pengetahuan tradisional, hingga pranata orang Bali lahir dari aktivitas bercocok tanam di tegalan atau sawah. Sementara itu, Sugi Lanus dalam tulisannya yang berjudul “Sri Tattwa: Dewi Sri dan Mpu Kuturan-Merayakan Spirit Kesejahteraan Umat Manusia untuk Melawan Nafsu Kuasa Para Raksasa”, mengungkapkan tentang makna simbolis dan aspek filosofis ‘Sri’ secara fragmentaris dalam teks Adiparwa.
Sementara itu, pembahasan tersebut di atas juga selaras dengan tulisan dari Agus Darma Putra yang berjudul “Pedih Padi dan Tuhan yang ‘Mabuk’ untuk Bapak dan Ibu”. Ulasan tersebut mengisyaratkan kecemasan sekaligus kegemasan pemuda Bali terhadap kondisi petani Bali yang berhadapan dengan untung yang sedikit, di tengah-tengah lahan yang semakin menyempit. Lebih lanjut, secara khusus juga dijelaskan pula tentang rempah dalam tulisannya yang berjudul “Rempah sebagai Usadha”. Dalam tulisan tersebut dipaparkan mengenai penyebutan nama-nama rempah seperti jahe, kunyit, kemiri, dan lain sebagainya yang termuat dalam sejumlah prasasti seperti Prasasti Bebetin A1, Sembiran A1, Kintamani C, dan lainnya.
Rempah yang Penuh Berkah
Keadaan alam Bali yang agraris membuat sebagian besar penduduknya hidup dari pertanian, perkebunan, dan peternakan. Menurut catatan dalam buku Sejarah Daerah Bali (1978), pada saat terbentuknya Daerah Tingkat 1 Bali pasca kemerdekaan, pemerintah memberikan bantuan atau pinjaman kepada petani dalam hal penyediaan pupuk dan bibit unggul. Bidang perkebunan dan pertanian mendapatkan perhatian khusus dan memegang peranan penting dalam kehidupan perekonomian di Bali saat itu. Selain kelapa, kopi, dan kapuk, cengkeh dan panili yang tergolong dalam jenis rempah digolongkan ke dalam jenis tanaman industri yang terus-menerus dibudidayakan. Lebih lanjut, diungkapkan bahwa jenis tanaman industri dan termasuk rempah itu, membuka peluang ekspor Bali melalui pelabuhan ekspor yang penting di Bali saat itu yaitu di Buleleng dan Benoa.
Berdasarkan pada catatan di atas, rempah sebagai tanaman industri telah memberikan berbagai manfaat dalam memajukan perekonomian daerah Bali saat itu. Untuk itu, usaha untuk membudidayakan tanaman rempah seperti cengkeh, panili, dan segala tanaman beruas lainnya hendaknya terus-menerus dilakukan. Sementara itu, dalam menghadapi tantangan zaman dan arus globalisasi saat ini, masyarakat Bali diharapkan dapat terus-menerus melakukan inovasi dalam hal mengolah rempah menjadi produk industri yang bersumber dari literasi Bali. Salah satunya misalnya dalam kuliner Bali yang menggunakan rempah sebagai olahan utamanya yaitu bumbu lengkap khas Bali atau yang dikenal dengan basa genep.
Basa genep atau juga disebut dengan basa gede. Selain sambal mentah atau yang dikenal dengan sambel matah, bumbu gede atau basa genep kini semakin menarik masyarakat yang lebih luas untuk dapat mencicipi olahan khas Bali. Hampir sebagain besar kuliner khas Bali yang popular seperti ayam betutu, lawar, urutan (sosis khas Bali) mengunakan bumbu gede atau basa genep sebagai bahan campuran utamanya. Dengan demikian, kuliner khas Bali dapat diidentifikasi salah satunya dengan penggunaan basa genep. Dharma Caruban menjadi rujukan sastra yang dapat memberikan sejumlah informasi mengenai khaziat rempah seperti kunyit, jahe, lengkuas, dan lainnya yang termasuk dalam ‘basa genep’. Dengan menggunakan bahan-bahan rempah tersebut, maka dipercaya dapat membunuh bakteri makanan. Misalnya saat membuat lawar yang berarti olahan mentah, maka basa genep menjadi bumbu wajib yang dicampurkan untuk menyajikan makanan yang aman dikonsumsi dan juga enak saat dinikmati. Lebih lanjut hasil riset Ardika, dkk (2018), menjelaskan bahwa basa genep dalam lawar plek dapat menghambat atau membunuh mikroba seperti bakteri seperti E. Coli, Sthapiicolis, dan lain-lain.
Kepercayaan yang diwariskan hingga saat ini, mengenai penggunaan rempah untuk pengobatan, konsumsi, dan kecantikan yaitu cenderung minim efek samping. Belum pernah terdengar kabar yang memberitakan tentang seseorang yang keracunan akibat mengkonsumsi jamu atau minuman herbal. Jamu di Bali populer disebut dengan loloh. Jamu atau loloh yang bersumber dari rempah-rempah yaitu jamu kunyit, jamu beras kencur, jamu temu kunci, dan lain sebagainya. Rempah-rempah yang digunakan sebagai bahan jamu tersebut, biasanya ditanam di pekarangan rumah. Apalagi, usaha membudidayakan rempah sebagai tanaman obat keluarga atau TOGA telah diwacanakan pada ribuan tahun yang lalu. Untuk itu, selain dapat dikonsumsi pribadi, jamu yang terbuat dari olahan rempah akan menjadi berkah dan menambah pendapatan keluarga.
Seiring dengan kesadaran akan kesehatan dan pentingnya khasiat tanaman herbal, membuat masyarakat Bali semakin peka dengan peluang usaha yang bersumber dari rempah atau bahan-bahan herbal terebut. Hal ini terbukti dari semakin menjamurnya jenis minyak kesehatan yang menggunakan rempah sebagai tagline. Selain mudah didapat, bahan baku utamanya juga tidak mahal karena bersumber dari rempah-rempah yang tumbuh di tanah dan natah Bali.
Namun, perlu disadari bahwa pemakaian rempah yang terus-menerus hendaknya berbanding lurus dengan usaha tanpa putus untuk menanam tanaman rempah. Usaha tersebut hendaknya menghasilkan regulasi atau aturan untuk menanam rempah sebagai budaya tanam. Aturan tersebut nantinya dapat dimulai dari lingkungan keluara, desa, maupun wilayah yang lebih luas. Untuk itu, usaha mentransformasi literasi menjadi regulasi dapat terwujud dengan adanya peran pemerintah yang turut berperan dalam warisan budaya rempah. Selain itu, pengetahuan yang penting tentang manfaat tanaman rempah perlu disebarluaskan melalui kerja sama atau sinergitas dari berbagai bidang keilmuan. [T]
BACA artikel lain terkaitSINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024