- Artikel ini adalah hasil dari seminar “Khazanah Rempah dalam Lontar”, program khusus Singaraja Literary Festival 2024, yang didukung Direktorat PPK (Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan), Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia, 23-25 Agustus 2024.
BERAGAM rempah Nusantara dan kebermanfaatannya, baik untuk pengobatan (usadha), makanan (boga), maupun parfum atau wewangian (ganda) menjadi topik diskusi pada Seminar Khazanah Rempah dalam Lontar serangkaian Singaraja Literary Festival (SLF) 2024. Acara diskusi rempah yang didukung oleh Direktorat PPK Kemendikbudristek ini digelar selama tiga hari, 23-25 Agustus 2024 di Wantilan Desa Adat Buleleng.
Menghadirkan narasumber yang sudah ahli di bidangnya, seperti Adi Wicaksono—Kurator Program Muhibah Budaya Jalur Rempah 2023, I Putu Eka Guna Yasa—akademisi Unud sekaligus penekun sastra Bali klasik, dan Ni Made Ari Dwijayanthi—akademisi STAH Mpu Kuturan, menjadikan diskusi ini menjadi sangat kaya dengan pengetahuan tentang rempah nusantara dan kegunaannya.
Apalagi pesertanya terdiri dari berbagai kalangan, seperti sastrawan Wayan Jengki Sunarta dan Tan Lio Ie, sastrawan Bali modern Komang Berata dan Made Sugianto, pegiat teater Wayan Udiana, juga film maker Made Suarbawa, membuat suasana diskusi tak pernah mati. Saya beruntung bisa ikut menyelinap di antara perbincangan mereka yang serius, yang kadang diiringi canda tawa, tetapi selalu kaya makna.
Ada satu jenis rempah yang paling menarik perhatian saya selama kegiatan berlangsung. Rempah itu adalah cengkeh. Rempah dengan beragam manfaat yang sebagaimana paparan Adi Wicaksono merupakan tanaman endemik Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Rempah asli Indonesia yang saat ini adalah komoditas di tanah kelahiran saya, di Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, Bali.
Saya lahir saat tanaman cengkeh di Tajun telah berusia 19 tahun. Menurut cerita orang tua, pertama kali cengkeh ditanam di Tajun pada tahun 1971. Selain cocok tumbuh di iklim Desa Tajun yang sejuk, saat itu cengkeh memiliki prospek yang lebih menjanjikan dibandingkan kopi yang menjadi komoditas saat itu.
Nah, sejak saat itulah cengkeh terus ditanam hingga sekarang menjadikan Desa Tajun sebagai salah satu desa penghasil cengkeh terbesar di Bali.
Penghasilan orang tua dari berkebun cengkeh memiliki andil besar dalam hidup saya. Mulai dari masa kecil, sekolah, kuliah, sampai sekarang pun saat saya sudah bekerja sebagai guru, hasil cengkeh masih membantu memenuhi segala kebutuhan hidup yang terus meningkat sejalan dengan perkembangan zaman.
Maka dari itulah, saat musim panen cengkeh seperti sekarang, saya dan orang tua selalu menyambutnya dengan penuh suka cita. Apalagi panen cengkeh di desa saya saat ini terkategori panen raya. Panen yang berlimpah. Panen yang membawa kebahagiaan sekaligus juga kegelisahan bagi para petani.
Antara Berkah dan Masalah
Ada perputaran uang ratusan hingga miliaran rupiah di desa saya saat panen raya cengkeh. Hal ini berdampak pada menggeliatnya roda perekonomian. Tidak hanya kepada para petani cengkeh, para penyedia jasa seperti pembuat jan/banggul (tangga bambu untuk petik cengkeh), buruh petik, buruh kepik (memisahkan bunga dengan tangkai), sampai para dagang penyedia kebutuhan pokok, sangat diuntungkan. Penghasilan mereka menjadi lebih besar dibandingkan hari-hari biasanya. Ini sangat membantu menopang kebutuhan hidup sehari-sehari.
Namun, petani di negeri yang konon katanya disebut negara agraris ini tak pernah lepas dirundung masalah. Bahkan di saat panen raya pun petani seperti tak bisa tidur nyenyak. Biaya produksi tak sebanding dengan nilai jual dan krisis buruh petik adalah penyebabnya. Inilah yang sedang dirasakan oleh petani cengkeh Tajun saat ini.
Tahun lalu harga cengkeh berkisar Rp125.000/kilogram, sementara ongkos petik cengkeh per kilogram Rp5.000-Rp6.000/kilogram. Nah, sekarang harga cengkeh kering masih di bawah Rp100.000,-/kilogram. Bahkan beberapa waktu yang lalu sempat mencapai Rp80.0000/kilogram, sementara ongkos petik cengkeh justru naik, berkisar Rp6.000-Rp8.000/kilogram.
Kenaikan ongkos petik cengkeh disebabkan semakin sedikitnya tenaga petik cengkeh. Kesulitan mencari tenaga petik cengkeh sebenarnya sudah mulai dirasakan sejak 10 tahun yang lalu.
Generasi muda lebih memilih melanjutkan pendidikan, sedangkan kemajuan teknologi dan informasi memberikan kemudahan akses terhadap berbagai pekerjaan, memetik cengkeh membutuhkan keterampilan dan keberanian karena harus memanjat 15-20 meter. Apalagi memetik cengkeh adalah pekerjaan musiman menyebabkan semakin langkanya buruh petik cengkeh.
Mengatasi masalah ini, beberapa petani Tajun mencoba mendatangkan tenaga petik dari Jawa. Hanya saja solusi ini tidak berpengaruh secara signifikan. Buktinya tak sedikit buruh petik dari Jawa berhenti bekerja karena hasil yang diperoleh tak sesuai harapan. Pekerjaan memetik cengkeh bukan pekerjaan yang gampang.
Kelangkaan buruh petik ini sangat berpotensi menyebabkan petani tak bisa memanen semua cengkehnya. Bunga cengkeh yang tak dipetik itu akan menjadi buah. Sudah pasti hasil panen tak maksimal. Kondisi ini sangat merugikan petani karena ongkos produksi tinggi ditambah biaya perawatan cengkeh yang tak sedikit.
Surga dan Neraka
Saya harus menaruh hormat kepada para petani sebab mereka tetap bertahan di tengah berbagai masalah yang menimpa. Apalagi setelah mengetahui bahwa bertani adalah laku mulia.
Sugi Lanus—dalam esainya ŚRI TATTWA: DEWI ŚRI & MPU KUTURAN—Merayakan Spirit Kesejahteraan Umat Manusia untuk Melawan Nafsu Kuasa Para Raksasa yang dimuat di tatkala.co—menyatakan bahwa Mpu Kuturan yang secara tertulis disebutkan sebagai tokoh yang tercatat mengajarkan bahwa bertani adalah tradisi suci.
Sebagai tradisi suci, tradisi bertani erat kaitannya dengan berbagai ritual memuliakan Dewi Sri sebagai dewi kemakmuran. Di Tajun, misalnya, warga secara turun-temurun melakukan upacara tumpek pangatag setiap enam bulan sekali, ritual neduh pada purnama kadasa, ritual mempersembahkan banten suwinih di Pura Puseh pada pinanggal ping pitu sasih kapat, dan ritual matabuh-tabuh pada pangelong ping dasa sasih kasa.
Semua ritual ini sebagai wujud syukur atas berkah dari hasil pertanian dan perkebunan sekaligus memohon doa agar Dewi Sri senantiasa melimpahkan berkahnya untuk kesejahteraan semua.
Bahkan sebagaimana dikatakan oleh Made Sujaya dalam esainya yang berjudul Petani dalam Tatapan Sastrawan Kita: Dulu dan Kini yang juga dimuat di tatkala.co, cerpenis Gde Aryantha Soethama pernah menulis salah satu cerpen yang memuliakan petani. Cerpennya yang berjudul “Surga untuk Petani” mengisahkan seorang petani yang masuk surga karena ketekunannya bertani semasa hidupnya.
Mengetahui hal ini, saya berharap petani Tajun, petani Bali, dan petani di negeri ini yang tekun menjalani tradisi suci bertani bisa masuk surga seperti yang dikisahkan Gde Aryantha Soethama dalam cerpennya.
Sebagai penopang ketahanan pangan, para petani sangat pantas diterima oleh para penguasa surga. Mereka layak bahagia di alam niskala nanti. Lantas siapa yang harus menyediakan surga duniawi bagi para petani?
Ya, pemerintah, yang tidak lain dan tidak bukan adalah para pemimpin negeri ini. Pemimpin negara terpilih juga para pemimpin daerah selanjutnya harus membantu petani dengan memastikan tidak ada oknum-oknum yang mempermainkan harga cengkeh. Jika dibiarkan akan terjadi fluktuasi harga yang membuat hidup petani semakin sulit. Idealnya harga cengkeh di atas Rp100.000, mengingat biaya produksi dan perawatan yang tinggi seperti sekarang ini.
Pun krisis buruh petik cengkeh sudah seharusnya menjadi perhatian lebih. Kemajuan teknologi dan pendidikan berdampak pada terputusnya generasi pemetik cengkeh. Namun, saya pikir pada kemajuan teknologi itulah ada peluang untuk mengatasi masalah kelangkaan buruh petik. Misalnya dengan menciptakan teknologi tepat guna untuk efektivitas dan efisiensi panen cengkeh.
Mensejahterakan petani mutlak kewajiban pemerintah. Petanilah yang mengukuhkan wibawa raja dan asal adanya pangan untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana tercantum pada Kakawin Ramayana. Berikut petikannya yang saya kutip dari buku Swiśāstra: Sastra Kawi dan Bali Mata Air Literasi Pertanian Bali karya Putu Eka Guna Yasa yang diluncurkan di SLF 2024.
Ikang thāni prĭthĭnubhaya guṇa ning bhupati lanā,
ya sangkaning bhogān hana pakĕna ring rājya ya tuwi,
asing senāluh nyekana ta tulungĕn haywa humĕnĕng
Terjemahan:
Para petani sesungguhnya mengukuhkan wibawa raja,
Merekalah asal adanya pangan untuk kebutuhan rakyat.
Dalam keadaan sulit dan juga senang, tolonglah mereka jangan diam.
Nah, jika para penguasa negeri hanya sibuk memenuhi nafsu kuasa belaka hingga para petani semakin terjauhkan dari ladang surga dunia, maka sudah siapkah para pemimpin negeri ini berurusan dengan para penguasa neraka?[T]
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024