- Artikel adalah materi dalam panel diskusi “Warna Alam dalam Teks Lama dan Baru”, Sabtu, 24 Agustus 2024 di Gedong Kirtya, Singaraja, Bali
- Artikel ini disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Singaraja Literary Festival (SLF), 23-25 Agustus 2024.
***
BALI dengan akar budaya rupa yang kuat juga mewariskan sistem pengetahuan tentang warna. sistem pengetahuan ini menyangkut aspek filosofis maupun praktik pembuatan warna yang tentu saja seturut pula dengan pengetahuan tentang pengolahan berbagai material yang tersedia di alam sebagai bahan baku utamanya.
Praktik penggunaan material alam sebagai pewarna dengan landasan filosofis tentang warna inilah yang kemudian jamak disebut sebagai warna Bali. Sebuah diksi yang telah mengakar dikalangan sangging atau perupa . Warna Bali kemudian menjadi diksi yang dipakai hingga hari ini untuk membedakannya dengan praktik penggunaan warna sintetik seperti cat minyak maupun akrilik dan cat air.
Warna Bali sebagai media seni telah menyejarah dan mengakar dalam praktik budaya visual tradisional berlandaskan religiusitas Hindu Bali. Hingga saat ini keberadaannya masih eksis pada sebagian praktik penciptaan para sangging terutama pada seni topeng, wayang kulit,tenun, ukiran, patung hingga seni lukis wayang Kamasan.
Nilai spiritualitas dan religi Hindu Bali memberi dasar kuat keberadaan warna Bali dengan karakteristik material dan tekniknya, dapat bertahan dari zaman ke zaman. Di dalamnya telah terangkum berbagai hal terkait dengan pengetahuan material, konvensi teknik, makna filosifi dan hubungan silang kebudayaan. Meskipun telah diketahui secara umum, namun praksis dan sistem pengetahuan warna Bali masih terbatas pada sangging tertentu saja, belum pernah ada upaya untuk merumuskannya menjadi ilmu pengetahuan yang mencangkup media (material, teknik) dan konsep filosofinya.
Tulisan ini akan lebih berfokus pada aspek material hingga penerapan warna Bali dalam beberapa karya seni rupa Bali khususnya pada karya seni lukis wayang Kamasan , dan topeng di Singapadu sebagai sebagai dua bentuk karya seni rupa dalam basis tradisinya yang kuat dan sampai hari ini masih mewarisi tradisi pengolahan dan penerapan warna alam.
Disamping itu selain melihat penerapan warna alam dalam dua tradisi seni rupa Bali (wayang Kamasan dan topeng Singapadu) tulisan ini juga akan menyinggung tentang penerapan warna Bali dalam praksis penciptaan karya seni lukis kontemporer. Penerapan warna alam dalam dua praksis penciptaan ini akan mengambil studi kasus bersarkan riset dasar Warna Bali yang kami (Gurat Institute) lakukan pada tahun 2021-2022 dengan output riset berupa buku, film documenter dan kurasi pameran.Riset ini adalah kolaborasi antara Gurat Institute dengan Yayasan Galarupa Balinesia.
#1; Material Warna Bali Pada Lukisan Kamasan Dan Topeng Singapadu
Secara garis besar warna sebagai material terdiri dari pigmen (pewarna) dan binder (perekat). Hal ini juga berlaku dalam warna Bali. Sebagai jenis warna natural baik organiK maupun anorganik warna Bali terbuat dari beberapa material, baik yang berbasis organik (hewani dan nabati) maupun yang bersifat anorganik (mineral tanah, batu, dan lain sebagainya).
Secara karakteristik material sebagaian besar material warna bali adalah material warna berbasis pengencer air atau dalam istilah ilmu material dalam seni rupa disebut dengan wather base. Material-material tersebut antara lain;
1. Ancur
Ancur adalah komponen terpenting dalam pembuatan warna Bali. Peran vital ancur dalam proses pembuatan warna Bali adalah sebagai campuran yang berfungsi sebagai binder atau perekat dari jenis bahan yang dipakai sebagai pigmen warna Bali. Ancur sebagai bahan perekat warna berfungsi pada karya- karya seni rupa Bali yang menerapkan teknik pulas seperti dalam pewarnaan lukisan, topeng, patung, wayang , maupun ukiran.
Sedangkan ancur sebagai perekat tidak dipakai dalam pembuatan karya yang menerapkan teknik celup dalam proses pewarnaanya seperti dalam pewarnaan benang untuk benang dalam karya seni berbasis kain seperti kain geringsing, songket, endek, cepuk dan lain sebagainya.
Berbicara tentang perekat menurut Blomquist, et al. (1983) dalam Sucipto (2009), dapat dikatagorikan menjadi dua jenis berdasarkan unsur kimia utama (major chemical component) yakni ; Perekat alami (adhesive of natural origin) dan Perekat sintetis (adhesive of synthetic origin). Perekat alami dapat terbagi tiga yakni ; Berasal dari hewan (animal glue), seperti kulit, tulang, urat daging, blood (albumin dan darah keseluruhan), dan casein.
Perekat yang berasal dari tumbuhan seperti starches (pati), dextrins (turunan pati) dan vegetable gums (getah-getahan dan tumbuh-tumbuhan). Serta berasal dari material lain, seperti asphalt, shellac (lak), rubber (karet), sodium silicate, magnesium oxychloride dan bahan anorganik lainnya yang tersedia di alam. 1.
Proses pembuatan perekat berbasis hewani (animal glue) dihasilkan dengan cara mendidihkan bagian tubuh hewan yang mengandung kolagen. Proses ini dikenal sebagai proses hidrolasis yang bertujuan memecah jaring ikatan animo dalam material berbasis hewani dengan air (H2O) untuk mendapatkan kolagen2.
Kolagen adalah sejenis protein yang memiliki sifat dan daya rekat yang terdapat pada bagian bagian tubuh tertentu dari hewan seperti kulit, tulang, dan bagian bagian tubuh hewan lainya.Jenis perekat berbasis hewani ini, diambil dari organ organ binatang. (Wolfang Blanke 16 ;2001)2.
Gambar 1 ; Ancur Berbentuk Lempengan | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
Di Bali jenis ancur yang pernah ditemukan di pasaran berbentuk dalam bentuk jelly yang dikeringkan dan dibungkus sedemikian rupa berbentuk batangan atau lempengan. Pembungkus atau lebih tepatnya pengikat ancur ini terbuat dari batang jerami padi. Sejak beberapa tahun terakhir ancur jenis ini tidak lagi ditemukan di Bali.
Menurut Gusti Kembar seorang pengukir topeng dari Singapadu , kelangkaan ancur jenis jelly atau lempengan ini terjadi di Bali pasca gempa Yogyakarta karena suply ancur jenis ini ke Bali berasal dari para pedagang daerah Yogyakarta3.
Gambar 2 ; Ancur Berbentuk Serbuk | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
Sejak saat itu keberadaan ancur lempengan ini mulai langka di pasaran. Namun diatas tahun 2010-an seorang pencinta topeng Singapadu dari negara Perancis yang bernama Jack Pasola merasa tergerak untuk mengembangkan ancur serbuk sebagai pengganti ancur lempengan.
Menurut penuturan Cokorda Alit Artawan salah satu pembuat topeng dari Puri Singapadu saat itu Jack Pasola mengambil sedikit ancur lempengan yang masih tersisa di pembuat tapel Singapadu untuk dijadikan sampel penelitian laboratorium di Perancis untuk mengetahui dan mengurai kandungan bahan yang terdapat dalam ancur tersebut sehingga dapat diproduksi kembali dalam bentuk serbuk dan didistribusikan kembali kepada para pembuat topeng di Singapadu dan menyebar ke beberapa sangging topeng di luar Singapadu4.
2. Kencu (Gincu)
Kencu (Gincu) adalah jenis bahan pigmen yang dipakai sebagai warna merah dalam warna Bali. Gincu disebut juga dengan Chinabar. Penggunaan kencu dalam warna Bali diduga berasal dari hubungan Bali dengan dunia luar khususnya Tiongkok.
Di tiongkok material ini disebut zhu sha. Di Bali penyebutan nama kencu sebagai material warna tertulis dalam teks prasasti sangging. Yang memuat beberapa nama material seperti kencu, atal, geluga yang digambarkan secara simbolik sebagai satu keluarga. Kencu dalam teks tersebut digambarkan sebagai sosok perempuan yang bernama Ni Sari, anak perempuan dari warna hitam dan putih.
Gambar 3 ; Kencu (Gincu) | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
3. Geluga
Geluga adalah material dalam warna Bali yang menghasilkan warna merah oranye atau yang dalam istilah Bali disebut sebagai warna kuranta. Bentuk geluga berupa bubuk namun lebih kasar dari gincu. Di Tiongkok material sejenis geluga ini juga disebut dengan nama zhu sha sama seperti kencu. Geluga dipakai dalam pembuatan warna pada topeng.
Gambar 4; Geluga | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
4. Pere
Gambar 5 ; Batu Pere | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
Pere adalah sejenis batuan yang menghasilkan pigmen kuning kecoklatan dan merah kecoklatan. Dalam satu bongkahan batu pere bisanya terdapat dua macam warna. Batu pere adalah jenis batuan yang mengandung kandungan mineral besi didalamnya sehingga menghasilkan warna kecoklatan.
Batu pere yang berwarna kuning kecoklatan disebut dengan lemonit sedangkan batu pere berwarna merah kecoklatan disebut dengan hematit. Batu pere ini dahulunya didapat di pulau Serangan.Pelukis Kamasan I Made Sesangka menuturkan bahwa diduga pada masa lalu, para pelaut pelaut dari Sulawesi menjadikan batu pere ini sebagai pemberat kapal, sisa-sisa pemberat kapal tersebut dibuang di beberapa titik di pulau Serangan5.
Disepanjang pantai inilah dahulu para pelukis Kamasan ataupun para Sangging topeng mencari batu pere untuk bahan pewarna cokelat kekuningan dan cokelat kemerahan pada karya – karya mereka. Namun sejak terjadinya reklamasi di pulau Serangan pada tahun 1990an keberadaan batu pere ini mulai sulit didapatkan karena beberapa pantai tempat mencari batu pere ini sudah di-urug dengan beton untuk kepentingan pembanguan.
5. Tulang Babi dan Tanduk Kijang
Gambar 6 ; Tulang Babi dan Tanduk Kijang | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
Tulang Babi dan Tanduk Kijang dipakai dalam pembuatan warna putih. Kandungan kalsium karbonat pada tulang dan tanduk kijang ini adalah zat yang menghasilkan pigmen putih sebagai bahan dasar pembuatan warna putih dalam warna Bali.
Untuk mendapatkan kalsium karbonat dalam tulang dan tanduk kijang material ini harus dibakar terlebih dahulu dengan suhu hingga diatas 900 derajat celcius. Tulang yang biasa dipakai dalam pembuatan warna putih adalah tulang kepala babi muda muda, biasanya para pelukis atau para sangging yang akan membuat warna putih secara tradisional akan mencari bagian kepala dari babi guling utk dijadikan bahan dasar pembuatan warna putih.
Penggunaan tulang kepala babi muda ini dipilih karena lebih cepat memutih jika dibakar dibandingkan dengan bagian tulang lainya yang harus dibakar lebih lama. Jika pembakaran kurang cukup akan menghasilkan warna abu abu karena masih menyisakan karbon sisa pembakaran.
Secara tradisional, untuk mendapatkan kualitas pembakaran yang ideal dan merata para sangging ataupun para pelukis akan membakar tulang dan tanduk kijang ini di tungku pembakaran gerabah tradisional dengan waktu minimal 3 hari pembakaran terutama untuk tanduk kijang yang lebih keras dari tulang, sedangkan untuk tulang cukup dibakar selama setengah hari pembakaran.
6. Mangsi (Jelaga)
Mangsi atau dalam bahasa Indonesia disebut jelaga adalah material dalam pembuatan warna hitam. Mangsi adalah pigmen hitam berupa serbuk halus yang didapat dari hasil pemadatan asap hitam lampu minyak kelapa yang ditahan dengan plat tembikar dimana sejanjang pembakaran plat tembikar harus terus dibasahi untuk merubah suhu dari panasnya asap lampu minyak menjadi dingin sehingga terbentuk endapan bubuk hitam yang halus. Proses pembuatan mangsi jelaga ini membutuhkan waktu 12 jam agar lebih banyak endapan bubuk mangsi yang didapat.
Gambar 7; Bubuk Mangsi dan Buah Camplung | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
Selain menggunakan jelaga yang berbasis endapan asap yang membutuhkan waktu pengerjaan cukup lama , para sangging dan pelukis memakai bahan alternatif yakni arang buah camplung . Penggunaan material arang ini menurut Made Sesangka (pelukis Kamasan) membutuhkan waktu pengerjaan yang lebih singkat daripada proses pembuatan warna hitam dengan mangsi atau jelaga dengan kualitas dan kepekatan warna hitam yang hampir sama dengan menggunakan mangsi atau jelaga6.
7. Taum (Indigo)
Taum atau tarum atau nila (indigo) adalah jenis pewarna biru natural yang dipakai sebagai pigmen biru pada lukisan Kamasan , topeng dan juga sebagai pigmen alami pada kain tradisional. Taum berasal dari jenis tumbuhan indigofera yang secara taksonomis masuk dalam suku polong-polongan atau fabacae. Pigmen biru pada tanaman indigofera ini diperoleh dari kandungan zat indigotin pada daun tanaman ini.
Cara memperoleh indigotin ini dengan cara merendam daun tanaman ini dalam jumlah yang banyak selama minimal satu malam hingga air rendaman perlahan berubah membiru dan terbentuk lapisan lapisan tipis berwarna biru indigo pekat pada permukaan air rendaman. Pada pewarna kain rendaman ini akan langsung dijemur hingga kering dan terbentuk endapan endapan.
Gambar 8 ; Made Sesangka Sedang Menunjukkan Pohon Taum di Halaman Rumahnya | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
Menurut Made Sesangka pada masa lalu para pelukis Kamasan mendapatkan taum atau indigo ini didapat di pasar pasar tradisional Klungkung. Made Sesangka mengenang pada masa kecil Ia masih bisa melihat para pedagang daluman (minuman tradisional dari daun daluman) dari Desa Banjarangkan menjual taum yang berupa endapan pasta berwarna biru tua yang diwadahi dengan tamas (wadah tradisional dari daun kelapa) di pasar Klungkung. Para pedagang itu konon mendapatkan taum dari desa Bugbug sebuah desa di Karangasem tempat pembuatan pewarna indigo untuk para penenun di desa Tenganan7.
Gambar 9 ; Pasta Taum Buatan Made Sesangka | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
Sejak awal tahun 2020 Made Sesangka mencoba memproduksi sendiri pewarna biru dari tanaman taum ini untuk memenuhi kebutuhanya dalam melukis. Ia menanam sendiri tanaman taum di pekaran rumahnya dan mencoba beberapa kali eksperimen dan sedikit inovasi untuk mendapatkan pigmen indigo dalam bentuk serbuk.
Ia lalu menambahkan pamor (kapur sirih) pada air hasil rendaman daun taum. Pamor atau kapur sirih pada proses ini berfungsi sebagai pengikat cairan rendaman taum agar menjadi endapan yang lebih solid sehingga lebih mudah dihaluskan menjadi butiran butiran bubuk halus.
8. Pamor
Gambar 10 ; Pamor | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
Pamor atau kapur sirih adalah komponen material yang penting dalam pembuatan material warna Bali. Pamor dipakai sebagai campuran ancur sebagai pengikat dalam pembuatan warna Bali secara tradisional kecuali warna putih tulang dan putih tanduk. Para sangging ataupun para pelukis yang memakai warna Bali tidak menganjurkan pemakaian pamor dalam pembuatan warna putih. Pengetahuan turun temurun ini ternyata sangat logis karena kandungan calcium hidroksida yang terdapat dalam pamor akan mengendap atau tidak dapat larut secara maksimal apabila dicampur dengan calcium karbonat yang terkandung dalam tulang maupun tanduk.
#2; Warna Bali Pada Seni Lukis Wayang Kamasan
Gambar 11 ; Karya I Made Sesangka Yang Menggambarkan Proses Pembuatan Warna Alam Dalam Seni Lukis Kamasan | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
Warna adalah elemen yang penting dalam sebuah lukisan begitu pula dengan warna dalam seni lukis Kamasan. Berbicara tentang warna dalam seni lukis Kamasan dapat dilihat dari berbagai aspek. Dari aspek material misalnya , terjadi perkembangan material dari penggunaan material alam (natural pigment) baik yang bersifat organik (hewan dan tumbuhan) maupun material anorganik (mineral, batu) hingga ke penggunaan material warna sintetis karena kesulitan bahan baku dan mulai terputusnya pewarisan pengetahuan pembuatan warna natural.
Berdasarkan riset tim Gurat Institute tentang penggunaan material warna alam pada seni lukis kamasan didapat data tentang bahan , proses pembuatan dan hasil pewarnaan berupa karakteristik artistik warna yang dihasilkan. Secara singkat akan dipaparkan dalam infografik dibawah ini;
Gambar 12 ; Material, Karakter dan Penerapan Warna Alam Dalam Seni Lukis Kamasan | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
Gambar dan infografik diatas menunjukkan bagaimana karkateristik warna yang dihasilkan dari setiap pencampuran warna pada karya wayang kamasan. Ada enam jenis warna yang dipakai dalam pewarnaan seni lukis wayang Kamasan. Antara lain ; hitam, putih, merah , kuning kecoklatan (ocre), biru dan hijau
#3; Warna Bali Pada Karya Topeng Singapadu
Gambar 13 ; Proses Pembuatan Topeng Karya I Ketut Kodi | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
Penerapan warna Bali dalam karya topeng cenderung mendekati warna kulit atau dalam istilah Bali disebut nyelema. Hal ini menurut akademisi dan praktisi topeng I Ketut Kodi dilandasi oleh kesadaran estetik bahwa apa yang ditarikan dan diceritakan dalam tari topeng adalah kisah kisah sejarah atau babad yang berpusat pada masa kerajaan bukan kisah pewayangan atau mitologi tentang dewa dewa.
Hal ini yang membedakan antara topeng dengan wayang wong yang lebih mengacu pada warna dalam wayang kulit. Walaupun secara kebentukan, bentuk raut wajah topeng juga mengacu pada bentuk wayang wong. Dari pernyataan ini dapat dilihat bagaimana peran warna dalam membangun karakter yang realistik atau nyelema terlihat dalam karya topeng8.
Kisah kisah yang ditampilkan dalam pementasan topeng yang bersifat istana sentris yang berdasar pada cerita cerita babad atau sejarah berbalut kisah mitologis menggambarkan penggambaran aneka karakter dalam ruang lingkup istana dan rakyatnya. Penggambaran tokoh Dalem Arsa Wijaya misalnya dalam pementasan topeng kerap dipakai sebagai penggambaran tokoh raja tertentu dengan visi kepemimpinan yang ideal.
Maka menurut Ketut Kodi penggambaran tokoh Dalem Arsa Wijaya dibuat dengan warna yang dominan putih memakai pewarna alam serbuk tulang atau tanduk kijang. Terkadang adapula yang memakai warna putih yang dicampur sedikit atal atau batu pere sehingga menghasilkan karakter warna klumadan salak atau putih dengan sedikit nuansa kecoklatan seperti warna buah salak.
Hal ini mengandung makna simbolik tentang karakter seorang pemimpin yang harus memiliki sifat sifat mulia sesuai dengan ajaran Asta Brata yang tertuang dalam kakawin Ramayana sebagai Candra Brata atau sifat seorang pemimpin yang meniru sifat dan karakter dewa Candra atau dewa bulan dengan sinar yang cerah. Sehingga pemilihan warna putih dipakai dalam penggambaran topeng Dalem Arsa Wijaya.
Sedangkan pemakaian warna kuanta atau jingga dipakai sebagai penggambaran topeng untuk karakter patih manis atau topeng keras. Warna kuanta atau warna cokelat yang cenderung kejinggaan ini adalah sebagai representasi dari sifat sifat dari dewa Rudra yang dalam konsepsi Pengider Bhuana digambarkan dengan warna jingga atau kuanta. Rudra mewakili sifat wibawa , keras dan tegas sebagai representasi dari kekuatan Siwa. Sehingga hal ini dipakai sebagai representasi dari sosok patih sebagai pendamping raja atau aparat kerajaan diharapkan memiliki karakter yang tegas dan berwibawa.
Penggambaran sosok topeng tua sebagai representasi dari penasihat kerajaan yang berusia sepuh atau patih wreda digambarkan dengan warna putih semug atau putih yang cenderung kekuningan untuk mempertegas karakter kulit yang mulai menua.
Sedangkan pewarnaan topeng penasar dengan memakai warna tasak manggis atau cokelat kemerahan dan topeng wijil dengan warna tasak manggis kekuningan atau tasak sabo ( kuning oker) adalah penggambaran abdi kerajaan yang setia dari kalangan masyarkat kebayakan sehingga memakai warna yang dekat dengan warna tanah.
Aneka material warna yang diterapkan dalam pewarnaan topeng sesuai dengan karakter tokoh tokoh utama dalam pementasan tari topeng seperti pemaparan diatas dapat dilihat dalam infografik berikut ini berikut;
Gambar 14 ; Material, Karakter dan Penerapan Warna Alam Dalam Seni Lukis Kamasan | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
Gambar 14 ; Material, Karakter dan Penerapan Warna Alam Dalam Seni Lukis Kamasan | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
#4 ; Kuratorial Pameran Amarna Warna; Warna Bali Dalam Praksis 14 Perupa Kontemporer
Gambar 15 ; Pengunjung Tengah Menyaksikan Pameran Warna Bali Oleh Gurat Institute dan Galarupa Balinesia Pada Bulan Oktober 2022 | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
Sebagai kelanjutan dari riset dasar yang dilakukan oleh Gurat Institute dalam melakukan pendokumentasian pengetahuan warna Bali dalam praksis penciptaan karya seni lukis wayang Kamasan dan topeng Singapadu. Aneka data dan temuan selama proses riset dasar tersebut coba digerakkan lebih jauh dengan sebuah pameran seni rupa. Pameran ini tak hanya menghadirkan data dan artefak serta karya seni dari dua basis tradisi yakni seni lukis Kamasan dan topeng Singapadu , namun juga dengan mencoba perluasan kemungkinan penerapanya dalam praksis penciptaan karya seni rupa modern-kontemporer.
Maka tercetuslah sebuah pameran yang bertajuk Amarna Warna Bali. Pameran ini adalah sebuah peristiwa yang mencoba menjalin kembali keterpusan dan jurang pengetahuan yang terjadi antara praksis dan pengetahuan pengguanan warna Bali antara karya tradisi dengan karya seni rupa kontemporer.
Gambar 16 ; Beberapa Sudut Display Artefak, Data dan Material Dalam Pameran Warna Bali Oleh Gurat Institute dan Galarupa Balinesia | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
Pameran yang dikurasi oleh I Wayan Seriyoga Parta dan Penulis sendiri melalui Gurat Art Project sebagai sebuah divisi dari Gurat Institute juga mengundang empat belas perupa kontemporer. Mereka adalah Agung Mangu Putra, Chusin Setiadikara, Dewa Ratayoga, Djaja Tjandra Kirana, Ketut Suwidiarta, I Made Griyawan, I Made Wiradana, Nyoman Erawan, Ni Nyoman Sani, Nyoman ‘Polenk’ Rediasa, Osbert Lyman, Wayan Suja, Wayan Sujana “Suklu” dan Wayan Redika.
Sebagai perupa yang tumbuh dari medan seni modern-kontemporer, warna Bali dengan karakteristiknya yang natural merupakan media yang ‘baru’ untuk praksis kekaryaan mereka. Hal ini terjadi karena warna Bali sebagai sebentuk pengetahuan sangat berjarak dengan praksis seni rupa modern dan kontemporer yang menjadi anutan estetik mereka. Sehingga proses kurasi perlu diawali dengan serangkaian workshop di Yayasan Galarupa Balinesia.
Melalui momentum workshop tersebut mereka mencoba mengeksplorasi media warna Bali terlebih dahulu perlu sehingga terjadi adaptasi dan pengenalan karakter material, karena warna Bali memiliki karakteristiknya tersendiri dengan bahan natural serta efek visual yang dihasilkannya sangat berbeda dengan warna sintetik.
Projek ini juga memilih kertas Ulantaga (Daluang) sebagai media utama untuk dikombinasikan dengan warna berbahan alam atau warna natural. Sebagaimana pemakaian bubuk tulang sebagai pigmen putih, jelaga atau mangsi sebagai pewarna hitam, Gincu (Cinnabar) sebagai pewarna merah, batu Pere sebagai pewarna kuning, dan biru dari daun Taum (Indigo).
Lima basis warna alam tersebut menghasilkan karakter warna yang khas menyiratkan karakteristik warna yang dipakai pada karya-karya tradisional Bali, seperti dalam wayang kulit, topeng, dan seni lukis wayang Kamasan. Kelima warna itulah yang menjadi basis material utama yang diberikan kepada perupa yang telah memiliki basis kecenderungan karya masing-masing.
Pemakaian kertas ulantaga dengan daya serap warna yang berbeda dengan kertas lukis pada umumnya memunculkan problematika yang menarik, menjadi tantangan tersendiri bagi para perupa serta sekaligus peluang bagi hadirnya pendekatan pendekatan artistik yang juga menuntut penanganan dengan teknik yang spesifik8.
Gambar 17 ; Beberapa Karya Perupa Yang Memakai Material Warna Alam Dalam Pameran Warna Bali Oleh Gurat Institute dan Galarupa Balinesia | Sumber ; Dokumentasi Gurat Institute
Karya-karya yang hadir dalam pameran ini menunjukkan beberapa karakteristik visual sebagai hasil dari proses eksplorasi atas material warna dan kertas ulantaga tersebut. Terdapat tiga kecenderungan eksplorasi, antara lain; eksplorasi pendekatan representasional realistik, pendekatan figuratif-simbolik, dan eksplorasi abstrak-formalis.
Masing-masing karya hadir dengan berbagai karakteristik artistik dalam upaya melahirkan capaian estetika. Nilai kesejarahan warna Bali dan kertas ulantaga melahirkan intepretasi yang bersumber pada memori visual tradisi, yang dilandasi dengan identifikasi karakteristik media warna Bali yang memiliki spesifikasi tersendiri. Memori-memori visual tersebut menghantarkan mereka pada pilihan eksplorasi visual dan teknik serta pilihan eksplorasi subject matter yang dielaborasi dalam karya9.
Melihat fenomena estetika yang dilahirkan oleh perupa dalam pameran ini memperlihatkan potensi material warna Bali dan juga kertas ulantaga sebagai media yang lekat dengan praktik tradisi dapat digerakkan dan dikembangkan dalam konteks penciptaan karya karya seni rupa modern-kontemporer. Pameran ini adalah awal dan momentum untuk menggerakkan kembali praksis dan pengetahuan warna Bali dalam praksis penciptaan dan wacana seni rupa kontemporer.
Melalui pendekatan yang berbasis pada eksplorasi media menuju kepada kesadaran medium, yang nantinya dapat menjadi daya tawar pada munculnya diskursus ‘baru’ seni rupa Bali kontemporer yang tidak hanya berpusar hanya persoalan tema dan subject matter. Kreativitas dalam mengembangkan basis pengetahuan praksis media warna Bali, tentu harus dibarengi dengan kecakapan teknis dan sensibilitas karakteristik media.[T]
Refrensi Dan Catatan ;
1. Penjelasan ini termuat dalam “Laporan Hasil Kajian Pengembangan Perekat Alam Untuk Penyambungan Artefak Kayu”. Ditulis oleh ; Leliek Agung Haldoko, S.T. Balai Konservasi Borobudur. 2015.
2.Penjelasan ini penulis rangkum dari Wolfgang Blanke 2001, Malen Mit Pigmenten Und Variablen Bindemitteln , Augustus Verlag , Munchen.
3. Wawancara dengan Gusti Kembar salah satu sangging topeng, barong, dan rangda dari Banjar Mukti Singapadu,pada tanggal 10 Oktober 2021
4. Pemaparan ini disampaikan oleh Cokorda Alit Artawan dalam acara workshop mewarnai topeng bersama Gusti Kembar di Puri Kantor Singapadu serangkaian acara pameran Semitha Wadana, Pameran bersama komunitas Perupa Singapadu pada 4 November 2021.
5.Wawancara dengan Made Sesangka , pelukis Kamasan dari Banjar Sangging Kamasan pada 15 Oktober 2021.
6.Ibid
7.Ibid
8.Wawancara dengan Ketut Kodi, akademisi, penari dan pembuat topeng, putra dari seniman topeng I Wayan Tangguh dari Banjar Mukti Singapadu 10 Desember 2021
9.Catatan Kuratorial I Wayan Seriyoga Parta dan Made Susanta Dwitanaya pada pameran Amarna Warna Bali di Galarupa Balinesia Pada 15 Oktober 2022.
10.Ibid
- BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024