“Upaya penyadartahuan ke masyarakat itu harus tetap terus digaungkan, supaya masyarakat bisa jadi konsumen yang cerdas, dan ikut membantu kita mengurangi penderitaan hewan-hewan peternak, terutama ayam-ayam petelur di Bali.”
Begitulah jawaban dari Fiolita Berandhini selaku direktur Animals Don’t Speak Human (ADSH) ketika ditanya tentang alasan diselenggarakannya Festival Kekeruyuuuk pada 17 Agustus lalu.
Kegiatan edukatif bertajuk Festival Kekeruyuuuk yang diselenggarakan oleh Animals Don’t Speak Human mengambil tajuk kesehatan publik dan kesejahteraan ayam. Kegiatan tersebut diselenggarakan sebagai upaya penyadartahuan konsumen, pelaku usaha, dan peternak serta peluncuran Cage Free District di Bali.
Kegiatan tersebut merupakan upaya yang dilakukan ADSH untuk mengurangi penderitaan ayam petelur. Hal ini juga dilakukan untuk mendorong visi Bali ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’ dalam upaya mewujudkan kemandirian dan ketahanan sumber daya pangan berbasis lokal, serta menjadikan Bali sebagai kawasan wisata berkelanjutan yang ramah terhadap hewan.
Animals Don’t Speak Human adalah Lembaga Swadaya Masyarakat terdaftar dengan nama Yayasan Perlindungan Hukum Satwa Indonesia, sebuah LSM berdomisili di Bali yang didedikasikan untuk edukasi dan penegakan hukum perlindungan hewan di Indonesia. ADSH didirikan pada tahun 2019 dan telah tergabung dalam Koalisi Perlindungan Hewan Indonesia (KPHI), Asia for Animals (AfA), Open Wing Alliance (OWA), Aquatic Animal Alliance (AAA), Institute of Animal Law Asia (IALA).
Fiolita mengatakan bahwa awal berdirinya ADSH karena ia melihat ada banyak kekosongan di beberapa LSM perlindungan hewan, khususnya yang tidak punya tim legal atau advokat.
“Saya dan kawan saya yang punya background advokat, mendirikan LSM ini untuk membantu masyarakat jika mengalami kesulitan dalam hal melapor kasus kekejaman terhadap hewan, kasus kriminal lain yang berkaitan dengan hewan. Kita bisa bantu kasih jalan, tapi tetap masyarakat yang melapor harus ikut serta dalam menangani kasus yang dilaporkan, jadi tidak bisa lempar gitu aja,” kata Fiolita.
Ia juga menambahkan, “kalau dilihat di Indonesia sendiri, sebetulnya LSM perlindungan hewan itu banyak sekali, tapi yang punya fokus untuk juga ikut melindungi kesejahteraan hewan di ternak itu masih kurang dari lima. Salah satunya di Bali, kami satu-satunya LSM yang ikut menyuarakan atau melindungi hewan yang diternakan,” jelasnya.
Foto: Dok. Animals Don’t Speak Human (ADSH)
Festival Kekeruyuuuk merupakan event pertama yang diselenggarakan oleh ADSH. Festival ini diisi dengan berbagai rangkaian kegiatan, mulai dari Talkshow, Pertunjukkan teatrikal diam (Pantomim) oleh Wanggi Hoediyanto, Puppet Show oleh Keiative for Kids untuk mengajarkan empati terhadap hewan diternak kepada anak-anak, peluncuran Cage Free District, dan penampilan musik dari Raski, Soul and Kith, serta Frando Hutabarat yang juga turut memeriahkan acara.
Pertunjukkan pantomim oleh Wanggi Hoediyanto | Foto: Dok. Animals Don’t Speak Human
Puppet Show oleh Keiative for Kids | Foto: Dok. Animals Don’t Speak Human
Penampilan musik dari Soul and Kith | Foto: Dok. Animals Don’t Speak Human
Tak hanya itu, Festival Kekeruyuuuk juga terdapat berbagai tenants dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang aktif menyuarakan perlindungan satwa di Bali yaitu Act For Farmed Animals (AFFA), Yayasan Westerlaken Alliance Indonesia, serta Bali Animal Welfare Association (BAWA), selain itu terdapat juga beberapa hadiah menarik dari berbagai sponsor restoran-restoran vegan sebagai upaya memperkenalkan usaha kuliner berbasis nabati.
Kegiatan talkshow terbagi menjadi dua sesi, sesi pertama diisi oleh drh. Kadek Karang Agustina, SKh. MP. dan dr. Arie Purwana, SP. A(K). Kemudian sesi kedua diisi oleh Sari Iskawari, I Putu Armawaya SH, MH., dan Farah Ayu Fadhila.
Talkshow dengan tajuk utama yang disajikan yaitu “Peran Perusahaan, Peternak, dan Konsumen Menuju Bali Bebas Kandang Baterai” menjadi salah satu kegiatan penting dalam rangkaian acara Festival Kekeruyuuuk karena merupakan lanjutan dari diskusi-diskusi yang ADSH adakan sebelumnya dengan peternak, pemerintah, dan konsumen sejak tahun 2022-2023 lalu.
Foto bersama saat talkshow sesi pertama selesai | Foto: Dok. Animals Don’t Speak Human
Foto bersama saat talkshow sesi kedua selesai | Foto: Dok. Animals Don’t Speak Human
Peluncuran Cage-free District Bali ditandai dengan penyerahan plakat dan stiker penanda Cage-Free District kepada pelaku bisnis cage-free oleh I Gst Ngr Ary Wisnawan, SS, yang turut mengapresiasi inisiatif ini sebagai langkah inovatif yang sejalan dengan visi Bali untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“Kami mengapresiasi inisiatif yang dilakukan Animals Don’t Speak Human dalam menciptakan kawasan wisata yang ramah hewan melalui Cage Free District karena turut membantu kami dalam menambah nilai produk wisata kuliner serta menciptakan pariwisata berkelanjutan dari para pelaku usaha di Bali sesuai dengan falsafah Bali yaitu Tri Hita Karana. Inisiatif ini dapat memberikan nilai tambah yang bagus dari wisatawan yang berkunjung ke Bali, tidak hanya dari budaya namun juga dari kuliner yang ramah hewan,“ ungkap I Gst Ngr Ary Wisnawan, SS.
“Kami beralih ke penggunaan telur bebas sangkar karena ingin memberikan kualitas makanan terbaik ke konsumen. Selain itu, kami juga tidak ingin makanan yang kami sajikan menyengsarakan hidup hewan” kata Sari Iskawari, HR Manager restoran Cuca restaurant.”
“Semenjak beralih ke penggunaan telur bebas sangkar, kami merasakan banyak feedback positif dari konsumen yang berdampak baik ke kesehatan mereka”, kata Ni Wayan Yuni Sari selaku Consignment Manager Bali Buda dan Ni Luh aputu Emy Kardani mewakili ViaVia Sanur.
Foto bersama seusai penyerahan plakat dan stiker penanda Cage-Free District | Foto: Dok. Animals Don’t Speak Human
Transisi dari kandang baterai ke bebas sangkar didorong oleh kesadaran pelaku usaha akan pentingnya kesejahteraan hewan, khususnya ayam petelur. Isu global Resistensi Anti Mikroba yang menghantui konsumen ini melandasi pentingnya pelaku usaha dalam berkomitmen menyediakan telur bebas kandang baterai dan mendorong peternak untuk bertransisi ke sistem beternak bebas sangkar yang memberikan lebih banyak ruang pada ayam dan memenuhi kesejahteraan hewan yang baik.
Sistem kandang sangkar atau lebih dikenal kandang baterai jauh dari lima prinsip kebebasan hewan, ayam di kandang baterai menghabiskan sebagian besar hidup mereka dalam rasa sakit. Riset menunjukkan, mobilitas terbatas ayam petelur dalam kandang baterai memengaruhi perkembangan tulang ayam hingga sakit fisik. Salah satu penyumbang terbesar terhadap rasa sakit dalam sistem kandang baterai adalah kurangnya pemenuhan kebutuhan dasar bagi ayam, seperti tidak adanya sarang, tempat bertengger (tempat mereka istirahat dan tidur), atau ruang untuk mencari makan.
“Case Free District merupakan platform atau website yang Animals Don’t Speak Human (ADSH) buat, tidak hanya kami, tapi juga bersama Animal Friends Jogja (AFJ), Act For Farmed Animals(AFFA), dan Sinergia Animal. Jadi kami membuat platform ini supaya orang-orang tahu tempat pelaku bisnis, restoran, atau hotel mana saja yang sudah mengganti atau bertransisi menggunakan telur yang bebas kandang baterai. Jadi mereka tahu tempat-tempat mana saja yang sumbernya sehat,” ungkap Fiolita Berandhini.
Unit usaha yang telah berkomitmen akan dimasukkan ke dalam website www.indonesiacagefreedistrict.com dan bisa diakses secara global. Selanjutnya, untuk usaha yang sudah berkomitmen akan ditempelkan stiker di unit usahanya.
Kedepannya, Cage-Free District diharapkan mampu menjadi media promosi dan edukasi tentang telur bebas sangkar kepada masyarakat melalui kerja sama dengan bisnis kuliner di kawasan penting, sehingga menjadikan industri pariwisata dan ekonomi kreatif sebagai tolok ukur perlindungan hewan dan konsumsi makanan yang welas asih. [T]
Reporter/Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole