“Di kampung itu saya sudah diselametin, sudah sampai tahlilan ke-100 hari. Pas saya pulang, satu kampung engga nyangka saya masih hidup!”
Begitulah kata Lisawati ketika menceritakan pengalamannya saat pulang ke kampung halaman di Cianjur, Jawa Barat, untuk pertama kalinya, setelah mengadu nasib di Bali selama 10 tahun.
Lisawati merupakan penjual bendera pinggir jalan yang berada di Jalan WR Supratman, Kesiman, Denpasar. Tepatnya di tikungan arah Kesiman menuju Tohpati. Perempuan asal Cianjur itu telah melakoni pekerjaan sebagai penjual bendera selama 10 tahun setiap bulan Agustus. Lapaknya buka dari tanggal 1 sampai 16 Agustus, dari pukul 06:30 sampai 18:30 Wita.
Sebelum menjadi penjual bendera, ia pernah menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) di Malaysia sebagai ART (Asisten Rumah Tangga). Ia menjadi TKW sebelum menikah, yaitu pada tahun 1998 sampai akhir tahun 2003.
Lisawati mengatakan, saat menjadi TKW di Negeri Jiran itu, ia masih sering berkomunikasi dan sering mengabari keluarganya, terutama keluarga bapaknya. Barulah ketika menikah dan merantau ke Bali, ia mulai jarang berkomunikasi lagi, sudah lost contact.
“Sudah tidak ada yang bisa saya hubungi karena saking lamanya. Selain itu karena kendala ekonomi juga, jadi bukannya saya lupa, tapi memang tidak bisa karena tidak punya cukup uang untuk pulang,” kata Lisawati memberikan alasan.
Jika tidak berjualan bendera, ia sehari-hari menjual nasi di warungnya yang bernama Warung Dua Putri, letaknya di jalan bypass Padang Galak menuju Sanur. Suaminya bekerja jadi sopir truk, itupun tidak tetap setiap hari, terkadang juga serabutan.
Selain itu, dua anaknya yang masih berusia 19 dan 17 tahun juga terpaksa harus putus sekolah sejak pandemi, karena Ibu Lisawati dan suami tidak bisa membiayai sekolah anak-anaknya. Anak sulungnya kini bekerja di salah satu toko servis handphone di Denpasar, sementara yang bungsu bekerja menjadi pelayan di sebuah kedai makan di Jalan Tukad Barito, Denpasar.
Lisawati melayani pembeli bendera | Foto: Dede
Kedatangan rezeki dan mukjizat memang terkadang tidak terduga, begitupun dengan nasib baik Ibu Lisawati pada Lebaran lalu, ia mendapatkan program mudik gratis. Kesempatan itu tentu tidak disia-siakan olehnnya. Ia pun pergi mudik ke Cianjur ditemani oleh anak bungsunya.
Lisawati begitu rindu dengan keluarga dan kampung halamannya, terutama dengan bapaknya. Ia menjelaskan, ibunya sudah meninggal sejak ia berusia tiga tahun, jadi semasa kecil, ia dan saudara-saudaranya diasuh oleh bapaknya. Ia merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara.
“Bersyukur kemarin ada mudik gratis, jadinya saya bisa melihat keluarga lagi dan bertemu Bapak. Bapak masih ingat betul dengan saya, padahal sudah lama tidak pulang,” ungkapnya.
Mendengarkan cerita Lisawati saya jadi teringat dengan kutipan dalam lirik lagu Iwan Fals yang berjudul Rindu Tebal, “Rinduku tebal kasih yang kekal, detik ke detik bertambah tebal”. Barangkali itulah yang dirasakan oleh Ibu Lisawati ketika akhirnya berhasil mudik ke kampung halamannya.
Akan tetapi, sesampainya di kampung, ia baru menyadari ternyata ia dianggap sudah meninggal, karena saking lamanya tidak pulang dan tidak berkabar. Bahkan ia ternyata sudah diupacarai sampai tuntas, sudah sampai tahlilan hari ke 100.
Lisawati merasa sedih ketika mengetahui ia dianggap sudah meninggal. Namun ia tak larut dalam kesedihan, baginya yang terpenting adalah berhasil pulang kampung dan bertemu bapaknya.
“Bapak saya umurnya sudah hampir 105 tahun, walaupun saya lama tidak pulang, tapi Bapak masih ingat betul saya siapa, ternyata ia memang menunggu saya untuk pulang. Bapak yakin kalau saya masih hidup,” katanya.
“Sepuluh hari saya di kampung, terus balik lagi ke Bali. Baru dua minggu saya di Bali, saya dikabari kalau Bapak meninggal. Ternyata sepuluh hari itu adalah kesempatan terakhir bertemu Bapak,” ujarnya sambil menahan tangis.
Lisawati merasa sangat terpukul dengan kepergian bapaknya, ia merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Tetapi baginya, yang namanya jalan hidup dan takdir, kita tidak bisa mengaturnya, semua atas kuasa Tuhan. Intinya semua harus disyukuri.
Ketika mendapatkan kabar itu, ia berusaha mencari pinjaman ke sana kemari agar bisa kembali pulang kampung untuk mengikuti upacara pemakaman bapaknya.
“Pas dapat kabar meninggalnya, saya paksain pulang. Walaupun ongkos pulang saya dapat minjem di tetangga, yang penting saya bisa pulang lagi,” ungkapnya.
Lisawati merapikan lapaknya | Foto: Dede
Lisawati mengungkapkan, kesulitan dalam menjual bendera adalah persaingannya. Ia mengatakan, di sepanjang jalan Kesiman menuju Tohpati itu banyak berjejer penjual-penjual bendera lainnya. Jadi tidak semua orang bisa pas berhenti di lapaknya, karena bisa saja di lapak penjual lain.
Menurutnya, penjualannya tahun ini merupakan tahun yang paling sepi jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kini sangat sedikit orang yang berhenti di lapaknya untuk membeli bendera.
Biasanya ia bisa menjual bendera dengan hasil Rp 700 ribu hingga Rp 2 juta pe rhari. Namun, tahun ini kebanyakan orang menepi hanya untuk membeli bendera-bendera kecil atau bendera-bendera plastik yang harganya sekitar Rp 5 ribu hingga Rp 50 ribu.
Hasil penjualan tersebut bukan sepenuhnya milik Lisawati, karena ia hanya menjualkan dagangan orang. Jadi jika tidak habis maka akan dikembalikan. Ia hanya mendapatkan upah karena telah membantu menjualkan bendera tersebut.
Kendati demikian, untuk bendera plastik seharga Rp 5 ribu, ia sendiri yang memodalinya sendiri, sehingga keuntungannya sepenuhnya ia bisang kantongi sendiri. Modal yang ia gunakan berasal dari upah hasil menjual bendera yang besar-besar itu.
“Bisanya cuma beli ini saja saya, jadi modalnya hanya untuk ini, karena mampunya hanya ini, kalau bendera yang lain saya tidak sanggup belinya,” katanya sembari menunjuk bendera plastik di lapaknya.
Dengan sikapnya yang sederhana, Lisawati menunjukkan bagaimana harus bersikap sabar dalam mengahadapi berbagai cobaan dan bersyukur dengan apa yang kita punya dan kita miliki. Merdeka secara sederhana adalah bagaimana kita bisa bersyukur dan memaknai kehidupan dengan arif. Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. [T]
Reporter/Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole