RELASI EKOSISTEM KESENIAN DAN FESTIVAL[1]
Oleh I Wayan Artika[2]
Ekosistem adalah lingkungan hidup mahluk hidup. Pada awalnya digunakan untuk menyebut lingkungan biologi. Kini ekosistem juga digunakn untuk menyebut lingkungan sosial atau budaya. Kehidupan manusia dalam konteks kesenian juga melahirkan istilah ekosistem seni (kesenian dan berkesenian).
Dengan berpijak pada konsep ekosistem, kehidupan masyarakat Bali ada di dalam berbagai ekosistem sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Masyarakat Bali termasuk sangat pruralistik dari aspek ekosistemnya.
Subak misanya adalah sebuah ekosistem. Tidak hanya ekosistem biologi. Subak juga ekosistem budaya, ekonomi, konservasi lingkungan (air, tanah).
Ada pula ekosistem-ekosistem relasi sosial. Ekosistem ini dibangun berdasarkan ikatan-ikatan sosial dan historis.
Ekosistem seni adalah kehidupan manusia dalam lingkungan kesenian yang mereka bangun. Di dalam ekosistem itulah kesenian Bali tumbuh. Kesenian menjadi ”lembaga” di dalam setiap ekosistem sosial. Desa-desa memiliki kesenian barong, gambuh, wayang kulit, sastra, genjek, rengganis, dan lain sebagainya.
Melihat keberadaan kesenian dalam masyarakat; berpikir tentang ekosistem seni maka kesenian bukan merupakan ekosistem yang mandiri tetapi mirip sebagai subekosistem. tidak bersifat mandiri atau terlepas/terisolasi dari masyarakatnya.
Odalan dan perayaan hari-hari raya serta peristiwa-peristiwa adat yang sangat meriah dan memberi rasa gembira bersama-sama. Karena itu, odalan dan perayaan hari raya selalu ditunggu. Hal ini sejalan dengan pengertian festival.
Festival seringkali identik dengan perayaan, sehingga istilah ini merupakan hal yang sering kita temui karena berperan penting untuk menambah struktur sosial dalam kehidupan di lingkungan sosial yang bisanya memperkuat rasa kebersamaan serta sebagai upaya untuk membantu kita menjaga hubungan dengan akar budaya dan melestarikannya.
Oleh karena itulah festival secara umum bisa diartikan sebagai perayaan, hiburan, atau rangkaian pertunjukan dengan jenis tertentu, sering diadakan secara berkala. Festival yang seringkali diadakan misalnya festival nasional, festival keagamaan, dan festival musiman. Jenis festival itu sendiri pun beragam di antaranya yaitu festival musik, festival film, festival makanan, festival seni, dan festival budaya. Berbagai contoh perayaan festival dapat ditemui baik di dalam negeri maupun di luar negeri, khususnya Indonesia sebagai negara yang memiliki keberagaman budaya tentu memiliki perayaan budaya yang sangat beragam.
Berdasarkan berbagai penjelasan, festival adalah acara pesta atau perayaan, yang terutama berkaitan dengan hari atau waktu penting yang berulang secara berkala; berupa rangkaian acara yang terorganisir bertujuan untuk suatu perayaan bersama. Karena itu, festival merupakan sarana komunikasi sosial yang penting guna membangun, memberdayakan, dan pengakuan suatu identitas budaya.
Penjelasan tersebut relevan dengan berbagai perayaan di Bali. Sehingga perspektif barat sering menyebut perayaan-perayaan di Bali (odalan, saba, karya) dengan festival (contoh sebuah artikel yang ditulis tahun 1979 berjudul “The Eleven Powers: The Festival of Eka Dasa Rudra” atau “Galungan Festival in Bali: A Celebration of Spiritual Renewal”) atau ceremony.
Perkembangan masyarakat Bali karena dipicu oleh penjajahan, nasionalisasi Indonesia, pendidikan modern, pariwisata, dan urbanisasi dari pedesaan ke kota; dapat dilihat dalam bidang perkembangan ekosistem kesenian dan munculnya berbagai festival.
Festival selalu berkaitan dengan kehiduapan di dalam ekosistem republik desa adat. Kemudian setelah kemerdekaan, dikenal pameran Pembangunan dan pawai pembangunan. Hal itu berhubungan dengan adanya perayaan baru di Bali yaitu perayaan keindonesiaan atau agustusan, di luar odalan, ngaben, pernikahan, tiga bulanan, potong gigi, mlaspas atau peresmian bangunan.
Perayaan-baru memberi angin segar kemeriahan masyarakat. Kini ekosistem kesenian atau kemeriahan itu juga ada di pihak pemerintah sebagai penyelenggara. Sampai kurang lebih dua dekade setelah Indonesia merdeka, persaingan ideologi partai politik berperan penting dalam menghidupkan ekosistem kesenian atau perayaan yang sangat meriah dan progresif. Sebagaimana peran kesenian dalam ekosistem desa adat di Bali yang terintegrasi kuat dan memiliki fungsi sosial dan agama; kesenian, perayaan, atau pesta-pesta rakyat yang berbau kental politik; menjadi organ partai.
Kesenian memang tumbuh di ekosistemnya sendiri. Bisa berupa ekosistem republik desa. Bisa pula ekosistem ideologi dan partai. Pun di dalam ekosistem pemerintah.
Ekosistem pemerintah pernah berperan sangat dominan selama periode Orde Baru. Kesenian memang tumbuh tetapi harus sejalan dengan pemerintah Orde Baru. Di Tengah keadaan ini kemudian muncul ekosistem alternatif atau ekosistem seni yang dituduh subversif. Potensi perlawanan sangat tinggi namun sudah barang tentu tidak sanggup mengalahkan ekosistem yang dominan. Pemerintah memetakan keberadaan ekosistem-ekosistem kesenian itu sebagai ekosistem subversif, seperti pelarangan pentas Teater Koma, pelarangan baca puisi W.S. Rendra, bahkan sampai akhir kekuasaan Orde Baru Wiji Thukul hilang sampai saat ini tidak jelas keberadaannya. Hal ini menjadi dasar pertimbangan untuk menghancurkan ekosistem alternatif tersebut.
Berbagai ekosistem kesenian setelah Reformasi 1998 tumbuh sebagai lanjutan ekosistem-ekosistem alternatif/subvrsif era Orde Baru yang ditekan dan tidak diberi ruang gerak. Berkembangkan ekosistem kesenian setelah Reformasi tidak serta merta mengurangi peran pemerintah. Namun pada era ini pemerintah tidak lagi dominan sebagai pemilik ekosistem. Di luar pemerintah mulai tumbuh ekosistem kesenian karena adanya kebebasan dari pemerintah.
Semasa Orde Baru festival mengambil waktu pada bulan Agustus. Kesenian yang ditampilkan adalah pawai dan pameran pembangunan. Materi-materinya adalah romantisme perang kemerdekaan. Di sini festival berfungsi sebagai pesta rakyat untuk suatu peringatan peristiwa sejarah dan sekaligus untuk mewariskan nilai-nilai nasionalisme. Festival agustusan memang bukan sebagai festival seni semata karena di dalamnya ada beberapa materi di luar kesenian, seperti permainan anak-anak dengan meniru permainan di dunia fantasi, pasar malam, dan komidi putar.
Pada periode stagnasi ketika segala harapan terhadap reformasi telah berakhir, kota-kota menggas festival baru yang bertujuan untuk mengatasi rasa jenuh terhadap festival perayaan agustusan. Bali mulai mengenal festival baru sejak 2008 (Gajah Mada Town Festival disingkat GMTF) Pada saat itu, Pemerintah Kota Denpasar melaksanakan GMTF dengan pengaturan sebuah street festival untuk mendukung program revitalisasi kawasan legendaris Gajah Mada sebagai kawasan heritage atau pusaka budaya. Bertemakan Inspirational Memories, GMTF berhasil menjawab kerinduan masa lalu akan hiruk-pikuk kawasan Gajah Mada sebagai pusat pemukiman multietnis, perekonomian, hiburan dan gastronomi ternama di Bali pada masa tahun 1960-1980- an.
Hal ini juga terjadi kemudian di Jembrana dengan festival Loloan Zaman Lame, misalnya. Konsep festival budaya Loloan sama dengan GMTF, termasuk adanya kerinduan kepada masa lalu kehidupan di Kampung Melayu Loloan. Kedua festival ini bertujuan membawa masyarakat, warga kota atau kampung dan bahkan orang di luarnya untuk kembali ke masa lalu. Masa lalu Jalan Gajah Mada atau Kampung Loloan tidak hanya cukup diceritakan secara lisan atau dijumpai di dalam arsip (foto-foto) tetapi dibangun lagi untuk dialami. Festival sebagai jalan nostalgia menyediakan berbagai artefak, seperti masakan, aneka kue, mode, musik, permainan, dan lain-lain yang sejauh mungkin dapat dihadirkan kembali.
Kemeriahan festival terjadi karena melibatkan berbagai kalangan sehingga tidak elitis. Hal ini menjadi daya dorong tumbuhnya berbagai jenis festival di mana-mana. Festival yang mengusung ide atau gagasan peragaan busana di jalan telah ditiru di berbagai kota di Indonesia. Demikian pula halnya dengan festival-festival kota, sastra (di Ubud misalnya dan sejak setahun lalu dilakukan di Kota Singaraja dengan tajuk Singaraja Literary Festival).
Menghubungkan festival dengan kesenian tidak sepenuhnya tepat. Festival tidak selalu identik dengan kesenian. Kecuali memang sejak awal diniatkan secara khusus, seperti festival tari, musik, teater, film, dan lain sebagainya. Festival lebih kompleks karena terdiri atas berbagai aspek, sesuai dengan keinginan penggagasnya.
PKB (Pesta Kesenian Bali) adalah festival tertua di Bali yang digagas oleh Bapak Profesor Ida Bagus Mantra. Ini merupakan festival negara yang lahir pada dekade-dekade awal pemerintahan Orde Baru dan telah mampu melewati berbagai peristiwa sejarah kontemporer. Sepanjang sejarahnya itu, PKB dapat menyandingi festival resmi negara, yaitu perayaan agustusan.
PKB berperan besar dalam menjamin tumbuhnya ekosistem kesenian di Bali, seperti seka. Peran ini tampak ketika PKB telah mampu menjadi motivator dan generator berkesenain yang menjadi daya hidup yang bermuara pada arena tahunan PKB. Dalam praktinya, taksu ”festival” PKB berbasis pada relasi masyarakat dengan keseniannya dan pengelolaan profesional pemerintah dalam bidang kesenian. Maka hubungan festival dan kehidupan ekosistem seni dapat dipelajari dari PKB. PKB adalah model hubungan yang paling ideal antara festival dan keberlangsungan ekosistem kesenian. Jauh sebelum kota-kota di Indonesia mengenal festival, Bali telah memulai, yaitu PKB. Hal ini merupakan prestasi pemerintah dalam pembangunan kesenian. Dampak pembangunan ini adalah terbinanya apreasiasi masyarakat Bali terhadap berbagai genre kesenian yang dimiliki.
Di tengah surutnya festival agustusan dan kehadiran PKB pada setiap tahun bertepan dengan liburan sekolah yang selalu ditunggu-tunggu; memang muncul festival-festival baru di Bali dalam berbagi ”ukuran”. Hal ini tidak terlepas dari potensi-potensi yang dimiliki oleh suatu kabupaten, desa, atau suatu kawasan pariwisata, seperti Festival Lovina di kawasan pariwisata Pantai Lovina (Singaraja). Kehadiran festival-festival ini dapat dilihat secara krtiis. Festival-festival baru adalah kebutuhan bersama untuk berbagai tujuan (nostalgia, penghargaan, pengkajian, pengalaman, penebus rasa kehilangan suatu warisan atau nilai lama, pelestarian, nostalgia identitas leluhur, ekonomi kreatif, membangun hubungan generasi baru dengan kehidupan para leluhur). Karena itu, ide untuk membangun festival, lebih diutamakan ketimbang usaha membangun ekosistem pendukung festival.
Jika paradigma ini dipilih maka festival tidak dapat membantu tumbuhnya ekosistem kesenian. Dengan konsep pembangunan ekosistem kesenian, maka agenda festival (seni) harus melakukan serangkaian program jauh-jauh hari sebelum suatu festival dilaksanakan. Pada umumnya ide-ide festival tidak sampai menjangkau kehidupan ekosistem seni. Festival seolah hanya ingin menghadirkan kesenian tanpa harus terlibat dalam memelihara ekosistemnya. Hubungan-hubungan antara ekosistem seni dan festival masih harus dikaji. Memang ada kemungkinan bahwa pada konstelasi ekosistem dan festival; adalah dua pihak yang memiliki agenda tersendiri atau bahkan sepihak (utamanya dari sisi penggagas atau penyelenggara festival). Karena itu, suatu ekosistem seni tertentu sebagai pihak tersendiri, tumbuh dan mengharap suatu festival untuk mempertunjukkan kekayaan karya seni. Sementara itu, festival hanya berkepentingan pada membangun arena.
Pada kasus PKB konstelasi itu terjadi secara harmonis. Ekosistem seni telah hidup di desa-desa sejak masa lampau hingga hari ini. PKB selalu bermuara pada gagasan awal: arena bagi kesenian Bali di tengah perubahan. Lewat peran pemerintah, menjadikan PKB sebagai festival negara dalam bidang khusus yakni kesenian Bali.
PKB telah memberi peran besar untuk tetap tubuhnya ekosistem kesenian di desa-desa. Sebagai sebuah festival, PKB mengambil langkah yang tepat: menyediakan arena baru bagi kesenian Bali dengan zaminan keberlanjutan di tangan pemerintah provinsi. Atas prestasi ini, tidak menutup peluang untuk lahirnya festival baru, setelah PKB dalam ”ukuran” besar dengan mengadopsi model festival PKB, bukan semata gagasan besarnya tetapi juga karena festival ini telah mampu dipertahankan dan dikembangkan oleh para pemimpin daerah beserta seluruh jajarannya, yaitu seni bali jani (FSBJ). Sehubungan dengan hal ini, masih harus dipertanyakan, dimanakan ekosistem seni Bali jani saat ini?
Pada kasus tumbuhnya berbagai festival, masih ada gejala bahwa yang lebih diutamakan adalah festivalnya. Materi-materi festival yang bersumber pada ekosistem kesenian tidak ditangani karena dipandang sudah siap disajikan di dalam ajang festival. Ekosistem kesenian muingkin tetap tumbuh dengan sendirinya tanpa peran festival. Mungkin pula mati!
Penyelenggaraan festival seni bisa lebih mudah dilakukan ketimbang membangun ekosistemnya. Ekosistem berhubungan dengan proses hidup yang natural dan historis.
Hubungan festival dan ekosistem seni bisa dalam pola timbal-balik. Festival memicu pertumbuhan dan perkembangan ekosistem kesenian. Ekosistem kesenian memicu terselenggaranya festival. Pada konteks seni tradisi, ekosistemnya sudah ada dan hidup berdampingan dengan masyarakat atau berada di bawah ekosistem besarnya, seperti desa adat. Lalu ada odalan di berbagai pura sebagai festivalnya. Sementara itu, semaraknya festival akhir-akhir ini bertitik tolak dari ekosistem yang sudah ada.
Pertumbuhan festival di kota-kota, termasuk di kota-kota kecil yang sebelumnya tidak dikenal secara luas, di desa atau kampung, bermula dari gagasan perseorangan. Hal ini terlihat pada Jember Fashion Carnival (JFC) yang digagas oleh Dynand Fariz (desainer), Ubud Food Festival and Ubud Writers & Readers Festival dengan pendirinya Janet DeNeefe atau Loloan Zaman Lame oleh Kepala Lingkungan Loloan Timur.
Festival-festival seni biasanya memiliki program, yang tampak pada tema festival dan berbagai mata acara. Di dalam program itulah bisa dilihat peranan festival dalam menghidupkan ekosistem-ekosistem kesenian. Dalam rangka berperan terhadap keberlangsungan komunitas seni, sebuah festival harus mengambil bagian di dalam pembangunan ekosistem.
Jika pengaruh atau reputasi sebuah festival sangat besar, maka ini sudah cukup untuk menggerakan pertumbuhan ekosistem. Peran secara langsung festival tidak diperlukan lagi. Ekosistem kesenian berkembang. Reputasi sebuah festival, seperti JFC, tidak hanya membangun ekosistem kesenian di Kota Jember dan sekitarnya tetapi memicu berkembangnya ekosistem sejenis di kota-kota yang jauh dari Jember.
Jika sebuah festival berjalan sendiri, tidak dapat membangun ekosistem kesenian. Pembangunan ekosistem seni harus menjadi program festival. Bukan hanya festivalnya yang dipentingkan tetapi pembangunan komunitas jauh sebelum festival dilaksanakan. Festival-festival yang ada belum sampai kepada pembangunan ekositem seni. Festival-festival itu baru sebatas menyediakan arena bagi kekayaan seni yang sudah tumbuh di ekosistemnya.
[1] Disampaikan pada acara Timbang Rasa (Sarasehan) PERAN FESTIVAL MEMBANGUN KEBERLANJUTAN EKOSISTEM KESENIAN, Waktu : Kamis, 15 Agustus 2024, pukul 10.00 WITA, Tempat : Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali
[2] Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum., Dosen Undiksha
BACA esai-esai lain dari penulis I WAYAN ARTIKA