TERKADANG, memandang Merah-Putih berkibar megah di cakrawala Agustus, membangkitkan perasaan sentimentil. Barangkali karena bulan ini dipenuhi oleh kilatan sejarah, resonansi perjuangan, dan gema harapan yang menggelora.
Dua tahun terakhir, setelah sebelumnya sempat dibegal pandemi, kita menyaksikan lagi semarak perayaan hari kemerdekaan; pengecatan ulang jalan-jalan, pemasangan umbul-umbul, serta penyelenggaraan berbagai lomba dan pertunjukan tradisional. Ada pula panggung malam tasyakuran yang tak kalah heboh itu.
Selain itu, kalau boleh sedikit menyinggung, lebih-lebih bagi kami pekerja kampus, Agustus tiada lain merupakan bulan yang sangat sibuk, terutama bertepatan dengan masa penerimaan mahasiswa baru, yang artinya bertambah-tambah pula pekerjaan, mulai dari pelaksanaan orientasi mahasiswa hingga persiapan akademis jelang pergantian tahun ajaran.
Kelak dalam hitungan hari, seluruh mahasiswa itu, (mungkin) sepanjang masa studinya, akan familiar dengan kata yang umumnya kita pekikkan dalam semangat agustusan; Merdeka! Ya, mereka akan bersitungkin dengan program Kementerian yang masyhur itu, bernama Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM).
Program MBKM ini sebenarnya mencerminkan semangat kemerdekaan dalam konteks pendidikan tinggi. Ia memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk mengeksplorasi minat mereka di luar program studi, mengasah kemampuan praktis melalui magang, dan mengembangkan perspektif global melalui pertukaran pelajar. Namun, seperti halnya kemerdekaan bangsa yang harus diisi dengan kerja keras dan tanggung jawab, kebebasan dalam MBKM juga menuntut kedewasaan dan komitmen dari seluruh operatornya.
Agustus tahun ini kiranya esensial pula dalam politik nasional. Saat ini, masyarakat di berbagai daerah, mungkin sedang gelisah menanti, siapa gerangan Calon Gubernur, Bupati, atau Wali Kota, yang akan berlaga dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Balihonya berserakan dimana-mana. Tapi siapa yang resmi didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum, sejauh ini, masih rahasia Ilahi, tersimpan rapi di kantong celana Para Ketua Umum partai.
Saya terus terang penasaran, siapa yang bakal diusung di Pilkada Jawa Tengah dan Jakarta. Bukan hanya karena kedua daerah itu memiliki nilai historis bagi saya, namun faktanya mereka adalah barometer politik nasional. Seru sekali pastinya melihat pesta rakyat berjalin kelindan dengan pesta demokrasi.
Warisan Diplomasi Indonesia
Dalam pada itu, di luar segala mukadimah diatas, patut pula kita renungkan, dengan peristiwa kemerdekaan ini, adakah warisan diplomasi Indonesia dalam hubungan internasional modern? Tentulah ada. Bahkan kontribusinya tak dapat disepelekan.
Perjuangan kemerdekaan Indonesia bukan sekadar usaha memerdekakan diri dari penjajahan, tetapi juga manifestasi idealisme yang mendalam tentang keadilan, kemandirian, dan solidaritas. Prinsip-prinsip ini tidak hanya menjadi fondasi bagi negara yang baru merdeka, tetapi juga menjadi panduan dalam menghadapi tantangan global.
Kenanglah kembali Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, katalisator utama terbentuknya Gerakan Non-blok, sebuah jalan tengah, di bawah bayang-bayang Perang Dingin yang mencekam. Itulah tonggak dalam sejarah diplomasi Indonesia sekaligus jati diri kita di hadapan dunia. Konferensi ini tidak hanya mengukuhkan solidaritas di antara negara-negara berkembang, tetapi juga memicu gerakan yang memperjuangkan keadilan global dan menantang hegemoni kekuatan besar dunia.
Dari rahim Konferensi Bandung, lahirlah Dasasila Bandung, sepuluh prinsip emas yang menjadi kompas dalam navigasi hubungan internasional. Prinsip-prinsip ini, laksana bintang-bintang di langit diplomasi, menjadi penunjuk arah bagi lebih dari seratus negara dalam merumuskan kebijakan luar negeri mereka. Menghormati kedaulatan, menolak intervensi, dan mengutamakan jalan damai. Inilah warisan Indonesia untuk dunia.
Prinsip-prinsip Bandung, meski telah berusia lebih dari setengah abad, masih berdenyut relevan dalam nadi zaman. Di era di mana globalisasi menjanjikan kemakmuran bersama, ketimpangan justru menganga semakin lebar.
Sistem perdagangan internasional masih condong pada yang kuat. Teknologi, yang seharusnya menjadi jembatan kemajuan, malah menjadi tembok pemisah antara yang berpunya dan tidak. Lembaga-lembaga internasional, alih-alih menjadi wadah kesetaraan, masih saja menjadi panggung bagi peragaan kekuatan.
Inilah wajah kolonialisme modern yang harus kita tantang dengan keberanian yang sama seperti para pendahulu kita. Namun, tantangan ini tidak bisa dihadapi dengan cara-cara tradisional. Diperlukan pendekatan yang lebih canggih, yang memadukan idealisme dengan pragmatisme, ketegasan dengan fleksibilitas.
Tantangan
Seiring dengan berputarnya roda zaman, tantangan yang kita hadapi semakin kompleks. Munculnya kekuatan-kekuatan baru seperti China dan India mengubah peta kekuatan dunia. Pusat gravitasi politik dan ekonomi perlahan bergeser dari Barat ke Timur. Di tengah pergolakan ini, Indonesia berdiri dengan potensi yang menjanjikan. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan ekonomi yang terus bertumbuh, kita memiliki modal untuk memainkan peran yang lebih besar di panggung global.
Pada masa kini, mewarisi gagasan non-blok terdahulu, sebagai respon terhadap perubahan geopolitik global, Indonesia kembali menampilkan mahakarya diplomasi melalui konsep “Indo-Pasifik yang Inklusif“. Gagasan ini menawarkan pendekatan yang lebih kooperatif dan menghindari konfrontasi di kawasan yang semakin bergejolak. Konsep ini mendapat dukungan dari ASEAN dan menjadi alternatif dari strategi “Free and Open Indo-Pacific” yang dipromosikan AS dan sekutunya. Ini menunjukkan bahwa Indonesia masih mampu menghasilkan gagasan cemerlang yang memengaruhi dinamika geopolitik regional.
Terakhir, pesan bagi kita semua, sebagaimana yang disampaikan Bung Karno, “Perjuangan kita belum selesai. Bahkan perjuangan tidak akan pernah selesai.” Tantangan ke depan menuntut lebih dari sekedar melanggengkan warisan. Indonesia perlu mengadaptasi prinsip-prinsip historisnya dalam konteks isu-isu kontemporer seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi global, dan revolusi teknologi.
Dengan kekayaan pengalaman diplomatik dan posisinya yang strategis, Indonesia akan selamanya terpanggil untuk bangkit sebagai mercusuar harapan, pembawa pesan perdamaian dan keadilan global. [T]
Baca artikel lain dari penulisELPENI FITRAH