MERAYAKAN Hari Kemerdekaan adalah sebuah aktivitas untuk membangkitkan semangat juang dalam mengisi kemerdekaan. Persiapannya sampai memakan waktu yang panjang. Dari tingkat nasional, kabupaten, kecamatan, desa, hingga banjar, sampai antar rumah, ramai-ramai merayakan Hari Kemerdekaan.
Seiring perkembangan zaman, terjadi banyak perubahan dalam perayaan-perayaan itu. Banyak faktor yang mempengaruhi. Dari padatnya lalu lintas, sampai hanya untuk tujuan viral di media sosial saja. Tentu saja, muncul pro dan kontra di masyarakat, apalagi dengan berkembangnya media sosial saat ini, mempercepat informasi tersebar luas.
Banyak berseliweran di media sosial, mulai dari protes terhadap tempat penyelenggaraan, situasi yang ditimbulkan seperti kemacetan, keributan sampai pada pengaruh terhadap anak-anak di bawah umur. Iya, banyak dampak memang yang timbul dari perayaan Hari Kemerdekaan yang sungguh meriah ini.
Komentator online nampaknya banyak job akhir-akhir ini. Belum lagi tetang upacara peringatan detik-detik proklamasi yang akan dilaksanakan di IKN, tentu akan melahirkan diskusi yang menarik untuk disimak dari perang komentar online di media sosial.
Pergeseran memang tak bisa terhindarkan, iya karena faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Lalu lintas yang padat, membuat sebuah pergeseran rute gerak jalan, guna menghindari kemacetan parah yang barangkali akan timbul, tapi, ya begitulah, “Namanya di jalan kita gak tahu akan terjadi seperti apa”. Begitu kira-kira ucapan orang tua saya dulu ketika terjadi insiden di jalan.
Namun yang ingin ditekankan di tulisan ini, sebenarnya tentang lomba-lomba perayaan yang banyak beredar di media sosial. Dengan caption, lomba yang bisa dipakai untuk memeriahkan 17-an tahun ini. Tergelitik untuk menjadi komentator online, namun saya urungkan, karena yang terjadi malah saling serang-menyerang antar kometator online yang begitu lincah menggunakan jari-jemari mengetik ucapan kata-kata bertekstur kasar.
Ada yang setuju, ada pula yang kurang setuju, seperti saya. Salah satu contohnya adalah sebuah lomba makan pisang. Kalau dulu ada lomba makan krupuk, nah sekarang muncul inovasi menjadi lomba makan pisang. Iya, terlihat menyenangkan dan simpel, pisang yang dikupas, digantung dengan seutas tali, kemudian ibu-ibu mulai mengisi tempat. Kemudian datanglah seorang panitia berlari membawa sekaleng susu kental manis, dicelupkanlah pisang itu ke susu.
Bisa di bayangkan, ibu-ibu berlomba memakan pisang dibaluri susu kental. Banyak orang tertawa, suasananya meriah, penuh tawa dan gemuruh semangat.
Namun apa yang dirasakan anak-anak yang berada di sana? Bengong, berpikir, apa yang mereka tertawakan?Llucunya di mana? Mungkin itu pertanyaan di benak mereka. Bahkan sampai rumah, dia akan bertanya pada orang tuanya, “Lomba makan pisang tadi kok banyak yang tertawa? Kenapa, Buk?”
Bahkan yang muncul bukan gelak tawa, namun rasa jijik yang muncul di kepala saya melihat mereka mempraktekkan adegan yang bukan untuk di konsumsi publik. Atau mungkin isi otak saya yang berpikir terllu jauh, atau bahkan serera humor saya yang terlalu rendah, sampai hal selucu itu untuk banyak orang di sana, bagi saya malah bertolak belakang.
Kadang saya marah terhadap diri saya, dan berusaha memaksakan untuk menerima kalau lomba itu lucu. Namun masih saja, belum bisa membengkokkan bayangan yang muncul untuk bisa menjadi lucu dan ikut tertawa bersama, itu menjijikkan, hanya itu yang memenuhi isi otak saya. Bahkan setelah saya putar berkali-kali. Apa yang salah dengan isi kepala saya?
Kemudian ada lomba memasukkan benda. Yang sering saya lihat, memasukan paku di botol, saya pikir juga begitu. Namun ternyata ada pergeseran sedikit, atau banyak, entahlah. Lombanya begini, dilakukan oleh dua orang dewasa, laki dan perempuan.
Peserta laki digantungi terong di bagian depan menggantung di antara kaki, kemudian berlari menuju satu titik yang di sana telah menunggu seorang perempuan dengan botol kemasan juga menggantung di antara kaki. Permainannya simpel, memasukan terong itu ke otol kemasan.
Kalian bisa bayangkan gerakan mereka setelah bertemu dan mencoba memasukkan terong tersebut ke botol. Dan iya, reaksi penonton tertawa, sorak-sorai penonton gemuruh, di tengah-tengah anak kecil yang bengong menonton pertunjukan tak senonoh “bagi saya” di depan matanya. Tanpa reaksi sedikitpun, hanya ikut-ikutan bertepuk tangan.
Bukankah itu adegan yang menjijikkan? Apa hanya saya yang merasakan, karena pikiran saya yang terlalu jauh berselancar. huuuuh
Dan satu lagi, yang seakan sudah lumrah dilakukan, game memecahkan balon. Saya yakin sudah banyak orang yang tahu, sebuah balon diletakkan tepat di depan kemaluan wanita dewasa, kemudian berlari dari satu titik seorang laki-laki dewasa berusaha memecahkan balon tersebut dengan menabrak-nabrakkan bagain badan ke balon. Silakan dibayangkan, gerakan apa yang dilakukan. Kembali bagi saya, itu adegan yang kurang etis untuk dipertontonkan dan cenderung menjijikkan.
Kenapa balon harus ditempatkan di area itu? Masih banyak tempat yang bisa dimanfaatkan, punggung, kepala, kenapa harus menggiring pikiran ke arah adegan yang tak pantas diperlihatkan. Ah, kembali pikiran saya yang tertalu jauh berkelana, dan mungkin kebanyakan memikirkan dampak, bukan kemeriahan yang di timbulkan.
Namun tahun lalu, saya sempat tertawa melihat sebuah lomba di media sosial. Lomba yang simpel dan menarik bagi saya, lomba sangkar burung kalau tidak salah namanya. Terdapat sebuah kawat lengkung yang pakai oleh peserta yang nantinya harus dimasukkan ke cincin yang digantung dengan seutas tali. Yang saya suka dan memuat tertawa adalah ekspresi peserta ketika berusaha memasukkan lengkungan kawat ke cincin kawat yang menggantung. Belum lagi ada iringan musik yang seakan menyatu dengan gerakan peserta. Itu lucu sekali, dan sangat menghibur.
Tapi apa daya, lomba bukan hanya untuk menhibur saya, ada banyak orang dengan selera humor yang berbeda pula. Tapi marilah kita saring kembali, lomba yang masih layak dilakukan, etis dipertontokan, dan masih dapat menghibur tanpa membuat persepsi orang-orang meluas ke sana-kemari, membayangkan yang tidak-tidak dan menimbulkan dampak yang kurang baik bagi anak-anak kita. Mari bijak memilih lomba untuk memeriahkan perayaan hari kemerdekaan tahun ini. Merdeka. [T]
BACA artikel lain dari penulis SUSILA PRIANGGA