MENJADI penari, pelukis, penyanyi atau penulis tentu sama seperti halnya menjadi guru, dokter atau profesi lainnya. Bisa karena memang suka yang akhirnya menjadi profesi dan menjadi ladang rezeki. Tapi bagi sebagian orang bisa menjadi penari, penyanyi atau pelukis disebabkan oleh panggilan jiwa yang tak mampu ditolaknya, seperti halnya menjadi guru, pemangku atau pendeta.
Ada banyak sebab ketika si pelaku seni begitu suntuk menjalaninya, disamping ia suka, bisa jadi karena sejak kecil ia sudah terbiasa menjalani kehidupan berkesenian dan bakat yang diwariskan oleh leluhurnya.
Terutama dalam tarian hingga ia dianugerahi kemudahan ketika memulai belajar menari. Hanya dengan melihat, lalu mencoba-coba dan ternyata bisa seperti yang dilakukan oleh mereka yang memiliki jam terbang lama.
Ia adalah Wayan Sudira, laki laki 60-an tahun itu yang lahir di Banjar Sengguan, Singapadu, Gianyar, telah menjadi penari sedari kecil. Ia menjadi generasi ketiga di keluarganya setelah bapak dan kakeknya dan kini putrinya pun turut menjadi penari.
Ia yang sedari kecil telah terbiasa menyaksikan bapak dan kakaknya latihan menari di rumah ikut tertarik pada tarian yang dibawakannya. Tetapi tidak benar-benar berguru pada bapaknya. Bapaknya notabene adalah penari senior yang kerap menari sampai ke manca negara.
Wayan Sudira yang akrab dipanggil Yan Dira, itulah lelaki yang sepanjang hidupnya diabdikan untuk menari.
Sedari kecil dengan mudahnya bisa menyerap tarian hanya dengan melihat. Hingga kini ia hampir tak bisa dilepaskan dari tarian.
Menari Barong, Rangda dan Topeng telah menjadi kesehariannya. Kadang menjadi penari di upacara keagamaan, upacara Dewa Yadnya yang diadakan di Pura, seperti Pura Prajapati di banjarnya.
Dalam kesehariannya ia juga pentas menari di Seraya Budaya, Batubulan, bersama 22 Penari lainnya setiap 9.00 – 10.30 untuk menghibur wisatawan dan mengenalkan budaya Bali dalam bentuk tarian dan drama ritual.
Sebagai spesialis penari Rangda, Barong dan Topeng ia seakan menyatu dengan tokoh yang dibawakan, betapa kerinduan itu begitu menggebu ketika ia tidak menari. Ia seakan ditarik oleh energi yang entah agar segera menari.
Seperti halnya ketika Covid-19 melanda tahun kemarin yang mengharuskan ia jeda. Tetapi ia nunas sama pemangku agar setiap rahinan diperkenankan menari dan akhirnya disetujui.
Di sini tentu bukan karena finansial yang diharapkan tetapi panggilan jiwanya yang meronta agar dapat ngayah, dapat mesolah. Karena adanya rasa yang sejiwa dengan penganggo (pakaian) yang dipakai untuk menari.
Ketika menari jiwanya begitu tenang, terlena, nglangenin. Hingga setiap geraknya seakan di luar kendalinya.
Ia juga meyakini bahwa setiap menari selalu dirasuki energi semesta, energi suci. Sesuatu yang tak terlihat tapi terasa telah menyatu di dalam jiwa raganya. Maka sebelum mesolah atau menari di manapun, ia minta izin pada yang berstana di tempat tsb dengan menghaturkan seperangkat pejati.
Ia memohon ijin juga memohon perlindungan agar senantiasa dijaga dari hal hal yang tak diinginkan.
Baginya, setiap menari, apalagi ketika di Pura, selalu ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Diyakini pula, setiap menari badan harus dalam keadaan bersih, terbebas dari segala perkakas atau jimat-jimat pengasihan. Pikiran dan hati harus tulus suci untuk ngayah.
Yan Dira pun menyadari bahwa setiap pelaku seni tentu ada masanya. Agar ada regenerasi ia pun mengajari anak-anak dan remaja di sekitar rumahnya untuk belajar menari dan sesekali diajak turut serta pentas menjadi pepatih (karakter patih).
Dan setiap penari yang tekun tentu akan berusia panjang dalam profesinya sebagai penari. Karena Bali, di samping sebagai tujuan wisatawan yang menyajikan destinasi wisata, juga menyajikan tradisi dan budaya, terutama tari.
Juga di setiap upacara agama Hindu tidak dapat dilepaskan dari unsur kesenian, baik seni tabuh atau seni tari, mungkin itu juga yang mendasari Wayan Sudira dan keluarganya agar seni tari tetap lestari. [T]