MENARIK untuk digagas, saat WHO merilis laporan mengenai konten daring tentang kesehatan mental pada 6 Februari 2024 silam. Berbeda dari era sebelumnya, kini media social (medsos) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat di Indonesia.
Mata dan tangan tak pernah lepas dari handphone. Dari bangun tidur hingga menjelang tidur, aktivitas kita selalu tidak lepas dari handphone dan media sosial. Kita sadari, banyak orang bahkan kita sendiri, sampai pada masa di mana merasa perlu untuk sering-sering memperbarui status di media sosial, memposting selfie di lokasi yang kita anggap keren, bahkan tidak jarang mencari lokasi membahayakan keselamatan, dan secara tak sadar lalu terjebak dalam perilaku FOMO (Fear of Missing Out) atau dalam bahasa umum berarti takut ketinggalan momen penting (Weinstein E , 2020).
Aktivitas seperti flexing atau memamerkan kekayaan dan gosip yang dikenal sebagai spill the tea juga menjadi ritual harian yang hampir dianggap wajib (Anderson & Jiang, 2018). Hal ini menunjukkan bagaimana media sosial tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai platform untuk mengekspresikan diri dan mencari validasi sosial (Situmorang W., 2023).
Nah, di sini kita tahu, disadari atau tidak, bahwa media sosial juga merupakan suatu panggung pertempuran sosial yang baru. Jika tidak melakukan akivitas-aktiitas di media sosial, rasanya ada yang kurang, mulai timbul adanya semacam kecanduan, kena candu media sosial.
Kecanduan media sosial dapat diuraikan melalui beberapa faktor psikologis dan sosial. Setiap like,komentar, atau share dapat memicu rasa penghargaan dan kepuasan diri, mirip dengan mekanisme yang ditemukan dalam kecanduan lainnya seperti perjudian atau konsumsi narkoba (Kuss & Griffiths, 2017).
Media Sosial dan Kesehatan Mental
Jika kita lihat dari sisi positifnya, sesungguhnya media sosial bisa menjadi alat yang kuat untuk berkomunikasi, mencari informasi, dan membangun jaringan (Ellison, Vitak, Gray, & Lampe, 2014). Platform ini memungkinkan orang bisa tetap terhubung dengan keluarga dan teman meski jarak jauh, serta menemukan komunitas-komunitas yang memiliki minat yang sama atau serupa (Hampton & Wellman, 2018).
Tidak sekadar dalam hubungan sosial dan antar pribadi, media sosial juga bisa digunakan sebagai platform untuk membangun bisnis, meningkatkan karier, atau mempromosikan tujuan sosial dan kemanusiaan (Kaplan & Haenlein, 2010).
Seperti teknologi lainnya, media sosial tentu bagaikan pedang bermata dua, selain dampak positif, dampak negatifnya terhadap kesehatan mental tidak bisa kita diabaikan. Studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan perasaan cemas, depresi, dan rendahnya harga diri (Twenge J.M., 2019).
Perbandingan sosial yang terus-menerus dengan orang lain, yang sering kali kita juga tahu dan sama-sama paham, hanya menampilkan versi ideal dan terbaik dari kehidupan mereka, dapat membuat seseorang merasa tidak cukup atau tidak puas dengan hidupnya sendiri (Chou & Edge, 2012). Selain itu, perilaku FOMO dapat memicu kecemasan yang lebih besar dan mengurangi kualitas tidur, yang pada gilirannya berdampak negatif pada kesehatan mental (Przybylski, Murayama, DeHaan, & Gladwell, 2013).
Ada beberapa kasus yang menggambarkan bagaimana media sosial dapat mempengaruhi kesehatan mental. Pada kalangan remaja misalnya, kasus bunuh diri remaja yang terkait dengan bullying di media sosial telah meningkat, menunjukkan betapa berbahayanya interaksi negatif di platform ini (Hinduja & Patchin, 2010).
Selain itu, laporan menunjukkan bahwa banyak orang muda merasa tertekan oleh harapan yang tidak realistis yang ditampilkan di media sosial, yang dapat menyebabkan gangguan makan, depresi, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri (Royal Society for Public Health, 2017).
Jangankan remaja, media sosial juga menjadi tantangan bagi kesehatan mental orang dewasa. Studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan pada orang dewasa dapat menyebabkan peningkatan stres, kecemasan, dan perasaan rendah diri (Twenge J.M., 2019). Orang dewasa sering kali terjebak dalam siklus perbandingan sosial, di mana mereka merasa perlu untuk menunjukkan versi ideal dari hidup mereka.
Ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dan perasaan tidak cukup, terutama ketika mereka melihat pencapaian orang lain yang tampak lebih sukses atau bahagia (Chou & Edge, 2012). Selain itu, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) tidak hanya memengaruhi remaja tetapi juga orang dewasa, yang bisa menyebabkan kecemasan tambahan dan mengurangi kualitas tidur, berujung pada penurunan kesehatan mental secara keseluruhan (Przybylski, Murayama, DeHaan, & Gladwell, 2013).
Kasus-kasus nyata, seperti meningkatnya laporan stress dan burnout alias kelelahan secara emosional, fisik dan mental. Kondisi ini disebabkan oleh stres yang berlebihan dan berkepanjangan di kalangan profesional yang terkait dengan tekanan untuk selalu ‘terhubung’ dan ‘update’ di media sosial, menunjukkan dampak nyata dari platform ini pada kesehatan mental orang dewasa (Hinduja & Patchin, 2010; Royal Society for Public Health, 2017).
Mencari Solusi
Tentu perlu dipikirkan bagaimana mengatasi hal ini. Untuk itu, beberapa solusi dapat dipertimbangkan. Solusi normatif termasuk meningkatkan literasi digital, di mana pengguna disarankan untuk menggunakan media sosial secara sehat dan bijak (Livingstone, 2008). Ini bisa berupa pendidikan tentang risiko perbandingan sosial, alias membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain, dan pentingnya waktu istirahat dari layar atau konsumsi medsos.
Bagi kalangan remaja dan pelajar, di sini tentu diperlukan adanya kolaborasi yang kuat antara orang tua dan pendidik, agar bisa berperan dalam membimbing anak-anak dan remaja dalam penggunaan media sosial mereka (O’Keeffe & Clarke-Pearson, 2011). Dengan kolaborasi ini, orangtua dan dan para pendidik tidak hanya membimbing anak dan remaja, namun juga bahkan secara tak langsung para orang tua dan para pendidik ini sekaligus diingatkan dan mendidik diri mereka sendiri. Seperti kata peribahasa, sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui.
Solusi yang lebih ekstrem, bisa mencakup regulasi yang lebih ketat terhadap platform media sosial untuk melindungi pengguna dari konten yang merugikan atau manipulatif (Zuboff, 2019). Hal Ini bisa melibatkan pembatasan algoritma yang mempromosikan konten adiktif atau sensasional, serta kebijakan yang lebih ketat terhadap konten bullying dan pelecehan online. Tetapi tentu saja hal ini membutuhkan keberanian dari pihak berwenang dalam hal ini pemerintah melalui regulasi.
Jika memang dirasa kecanduan media sosial ini telah jadi racun, perlu juga adanya kampanye kesadaran yang mendorong masyarakat untuk melakukan “detoks digital” atau mengurangi penggunaan media sosial di kalangan masyarakat. Meski agak susah dan berbau utopia, karena yang namanya kecanduan biasanya treatamentnya harus dari luar, dan dipaksa, langkah ini bisa menjadi langkah yang efektif untuk meningkatkan kesehatan mental masayarakat (Orben & Przybylski, 2019).
Media sosial bukanlah musuh kita, justru medsos dapat menjadi alat yang bermanfaat jika digunakan dengan bijaksana. Namun, potensi adanya bahaya terhadap kesehatan mental, harus diakui dan juga diatasi. Dengan pendekatan yang seimbang dan kebijakan yang tepat, kita bisa memastikan bahwa media sosial menjadi bagian yang sehat dan positif dari kehidupan kita. Selamat berjuang! [T]
BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI