SAYA mencoba membaca banyak artikel akhir-akhir ini, satu pekerjaan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya—jika membaca adalah terkait pekerjaan untuk pikiran. Juga untuk yang lain.
Saya teringat sesuatu, tepatnya saat masih duduk di bangku SMP, tentang pelajaran Bahasa Indonesia. Saat itu guru selalu memberi tugas membaca di waktu senggang sebelum ia menimpali muridnya dengan tugas serius di akhir bab—biasanya, ia lebih dulu menyuruh siswanya untuk melahap artikel pilihannya. Terkadang juga bacaan lain yang masih berhubungan dengan tugas yang diberikan.
Saya teringat di zaman itu bagaimana hasrat saya dalam membaca sangat rendah, pula sampai hari ini barangkali: saya suka bolong-bolong dalam membaca buku, atau tak sering tuntas membaca teks yang panjang di layar hape.
Kebiasaan dulu memengaruhi kebiasaan “membaca” saya sekarang. Tentu, hal seperti ini akan sangat berbahaya jika pola kebiasaan dahulu kala itu tidak diubah, karena dengan begitu, isi kepala tidak terisi dengan sampah video yang deras berselancar di layar hape kita, di media sosial, lebih-lebih tidak ada isinya. Percaya atau tidak, selain perut—otak juga mesti diisi.
Dan apalagi di samping berpikir, mencoba untuk menulis di usia dewasa ini, timbul tekad keras agar bisa “tahan” membaca (minimal), apa saja selain cerita pendek—yang saya senangi sejak semester 3 itu. Saya hanya ingin membaca akhir-akhir ini yang bukan saja karena saya suka—tetapi juga karena membutuhkan informasi penting.
Dan menumbuhkan kebiasaan membaca itu—saya mengakui sulitnya bukan main, Kisanak. Tapi bukan berarti tidak suka membaca adalah kutukan dari langit, tebal—tak bisa diubah. Semua membutuhkan waktu, dan membiasakan diri untuk itu—harus kuat melototi tulisan, dan sering bertemu dengan bacaan apa saja, salah satunya artikel yang menyenangkan, yang ringan-ringan saja dulu.
Mencoba Bertahan Saat Membaca, Sebuah Tips Sederhana dari Seorang Kawan, Alexandria namanya
Membaca, adalah kegiatan paling tidak menyenangkan bagi siapa pun. Tentu itu bukan satu pernyataan fitnah saya terhadap bangsa ini misalnya. Menukil dari World Population Review, disebutkan hal yang sama, jika indeks literasi kita masih belum memuaskan dibanding Singapura (97%) atau Brunei Darussalam (98%).
Di antara masyarakat Assean, kita menduduki peringkat ke-3 atau sama dengan Filipina dan Vietnam dengan skor 96%.
Sebelum ke ranah yang jauh membahas indeks literasi kita berapa di Dunia, apakah Anda suka membaca? Atau merupakan seorang yang sedang serius untuk menjadi orang yang suka membaca seperti saya walaupun sedang di toilet?
Selain saya percaya Tuhan, saya juga mengimani bahwa membaca bukanlah kegiatan untuk gaya-gayaan atau semacam selebrasi literasi semata. Juga bukan tindakan koprol untuk bisa iseng terlihat energik pintar di depan orang tua, gebetan atau guru Bahasa Indonesia. Tapi, membaca memang untuk mengisi yang kosong di dalam kepala alias otak kita, menyelamatkan yang mati pada bathin juga, lebih-lebih pikiran kita jika itu merasa bego dalam berpikir.
Membaca bisa mengusir ketololan demikian. Bagaimana caranya mengusir ketololan itu dari diri kita dan umumnya satu negara? Ya membaca.
Memutus Rantai Ketololan:
Sebelum menularkan membaca ke adik atau pejabat, diri sendiri memang mesti pula “Membaca”. Dipupuk empuk-empuk literasi manis-manis.
Sebab seorang petinju akan lebih bisa memengaruhi seseorang untuk bisa seperti dirinya, karena ia seorang petinju yang terjun di dunia pukul. Tahu rasanya dipukul, tahu rasanya memukul. Sebab itulah ia bisa dengan mudah memengaruhi yang lain jika bertinju adalah aktifitas menyenangkan. Gembira, dan bisa kebal tonjokan.
Tetapi bagaimana dengan kegiatan membaca, yang bukan seorang pembaca, menyarankan untuk membaca ke adiknya, tentu tidak memiliki pengaruh selain pemaksan (otoriter).
Dan yang jelas, memupuk diri untuk bisa dan atau melakukan aktivitas membaca, adalah paling baik dari pada berlaga—menyuruh orang untuk membaca agar pintar dalam waktu kurang dari sepuluh hari.
Begitulah kira-kira kata Mas Alexadria, teman sejawat saya yang nyaris punah dihantam arak beberapa minggu yang lalu itu sebelum akhirnya pulang ke pangkuan ibunya setelah Ujian Proposal.
Kata Mas Alex lagi, membaca bukan tindakan tercela, Adik-adik. Tapi kalau sok pintar, merasa pintar padahal tidak suka membaca, adalah yang paling tercela di Asia maupun Eropa.
Lebih lanjut ia menegaskan, kalau menyimak orang berilmu atau berpengalaman dalam bidang tertentu, itu juga adalah bagian dari tindakan literasi, penting untuk dilakukan sebagaiaman membaca itu tadi. Mas dari Situbondo itu juga menyarankan, membacalah sebelum Anda ditipu dukun. Itu memalukan. Apalagi dukunnya palsu
Sebab itu, memutus ketololan mulai dari diri sendiri adalah kunci, kata Mas Alex terus. Semoga kita tidak putus belajar, dan terima kasih sudah membaca tulisan ringan ini. Lebih-lebih kepada Mas Alex.
Sekadar informasi sedikit penting. Kalo Mas Alex itu berasal dari Situbondo, ia senang melukis, memelihara burung, dan menonton bola. Selain itu, ia juga menulis cerita pendek (walau sedang tidak produktif), di sela-sela kegiatannya yang freelance di Situbondo dari kuli gambar sampai input data Demokrasi, anjai.
Ia juga berjualan buku di toko buku mininya bernama Melle Buku :kecil itu berarti (cari saja instagram-nya melle buku, semoga belum gulung tikar). Selamat hari Minggu, dan Selamat Membaca yang lain. [T]