USAHA kain songket khas Beratan milik Putu Putri Ani (58) dipamerkan di Festival Kebyar Kasih Pertiwi: Pagelaran dan Eksebisi Budaya Buleleng yang diselenggarakan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XV Bali-NTB selama dua hari, 20-21 Juli 2024 di Taman Bung Karno, Singaraja.
Selain hasil produksinya, Putri Ani juga membawa alat tenunnya sendiri ke pagelaran tersebut untuk diperlihatkan ke pengunjung yang datang. “Alat ini namanya cag-cag. Kami sudah terbiasa mendengar bunyi cag-cag ini setiap pagi,” ucap Putu Putri Ani, Owner Poetri Songket Beratan, Sabtu (20/6/2024).
Luh Resiani (62), penjaga alat tersebut di pameran, dengan senang hati memeragakan bagaimana saat ia membuat kain songket.
Stand Poetri Songket Beratan di Festival Kebyar Kasih Pertiwi | Foto: tatkala.co/Son
Lebih awal Resiani merangkai terlebih dahulu alat tenun bernama cag-cag yang berada tepat di depannya itu. Ia bercerita, kain yang sekarang sedang ia bikin—sebagai peragaan—adalah salah satu warisan yang nyaris mati beberapa tahun lamanya di Beratan. Dalam prosesnya, satu kain songket yang dibuat secara manual bisa memakan waktu selama satu bulan.
“Kami hanya melestarikan saja. Karena memang, dari dulu, leluhur kami mencari nafkah melalui songket ini. Jadi, dulu, di Beratan itu hampir semua rumah memiliki alat tenun seperti ini,” ujar Putri Ani.
Usaha kain songket khas Beratan yang kini sedang dikembangkan Putri Ani bersama sang suami, I Made Ngurah Wedana (60), telah berumur sembilan tahun sejak didirikan pada tahun 2014.
Putri Ani menjelaskan, bahwa usahanya itu adalah representasi dari rasa kehilangan orang-orang sekitar terhadap kain Songket Beratan—yang biasa dibuat oleh setiap warga di sana.
Luh Resiani sedang memeragakan membuat kain songket | Foto: tatkala.co/Son
Sejak saat itulah ia memulai usahanya, dan memberanikan diri untuk terjun sebagai pengusaha kain songket, sebagaimana orang tuanya dahulu—yang berhasil menyekolahkannya dari hasil jualan songket. Kini, terdapat beberapa produk yang ia produksi untuk dijual tokonya yang terletak di Jln. Mayor Metra No. 81.
“Sejak orang tua kami sudah gak ada, berpulang, sedikit demi sedikit pekerjaan semacam ini mulai punah. Orang tidak berminat lagi menenun—lebih memilih pekerjaan yang lain,” terang Putri Ani.
Tak hanya kegiatannya, sedikit demi sedikit pula alat-alat tenunnya juga nyaris punah, seperti rusak atau hilang. “Tetapi masih banyak orang yang menanyakan Songket Beratan. Itulah yang bikin hati saya terketuk untuk membangkitkan kembali tahun 2014,” sambungnya.
Walaupun sempat mengalami kerugian sekitar 300 juta akibat tokonya kemalingan sekitar tahun 2018, Putri Ani tak menyerah dan merasa pasrah atas cobaan yang menimpanya itu. Kejadian tidak mengenakkan itu tak mematahkan semangatnya dalam menggaungkan dan melestarikan songket khas desanya tersebut.
Putri Ani bersama sang suami I Made Ngurah Wedana | Foto: tatkala.co/Son
“Walaupun kerugiannya lumayan besar, sekarang saya mulai bangkit lagi. Saya berusaha membangkitkan lagi songket warisan leluhur saya. Ya walaupun dengan biaya sendiri dan seadanya,” ujar Putri Ani dengan wajah sedikit sedih.
Sampai saat ini, beberapa produk karya seperti Songket Sutra, Mastuli, Jumputan, Endek, Batik, dan lainnya terus diciptakan oleh Toko Poetri Songket—nama usaha songket dari Putri Ani.
Songket Beratan, kata Putri Ani, memiliki keunikan tersendiri, terutama pada motifnya. Dengan menggunakan benang halus (sutra) membuat songket Beratan menjadi ringan dan tidak berat saat memakainya.
Produk-produk Poetri Songket Beratan | Foto: tatkala.co/Son
“Dalam pengerjaannya, songket dibuat lebih rapat sehingga Songket Beratan bisa bertahan sampai puluhan tahun,” ucap Putri Ani.[T]
Reporter: Sonhaji Abdullah
Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto