KABAR mengejutkan datang dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 31 Tahun 2024 tentang Penetapan Bandar Udara Internasional, tanggal 2 April 2024, sebanyak 17 bandar udara (bandara) internasional dicabut statusnya.
Ketujuh belas bandara tersebut adalah bandara Maimun Saleh, Sabang, Raja Sisingamangaraja XII, di Silangit, Raja Haji Fisabilillah, Tanjung Pinang, Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang, H.A.S. Hanandjoeddin, Tanjung Panda, Husein Sastranegara, Bandung, Adisutjipto, Yogyakarta, Jenderal Ahmad Yani, Semarang, Adi Soemarmo, Solo, bandara Banyuwangi, di Banyuwangi.
Selanjuitnya adalah bandara Supadio, di Pontianak, Juwata, Tarakan.Bandara El Tari, Kupang, Pattimura, Ambon, Frans Kaisiepo, Biak, Mopah, di Merauke, dan bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Mengapa 17 bandara internasional itu dicabut statusnya? Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), 17 bandara tersebut tidak memberi kontribusi secara signifikan terhadap perjalanan wisatawan mancanegara (wisman).
Bandara yang dicabut status internasionalnya itu hanya melayani 169 kunjungan wisatawan mancanegara selama tahun 2023. Jumlah tersebut setara dengan 0,0021 persen dari total kunjungan wisman melalui pintu utama lainnya.
Jumlah kunjungan wisatawan domestik melalui 17 bandara tersebut juga tidak signifikan. Angka kunjungan hanya mencapai 61.016 perjalanan; atau hanya 1,06 persen dari total perjalanan wisatawan domestik.
Pertanyaannya, bagaimana nasib 17 bandara internasional yang statusnya dicabut itu? Kementerian Perhubungan sendiri menyatakan justru pencabutan status itu bertujuan mendorong sektor penerbangan nasional yang terpuruk sebagai dampak pandemi Covid-19. Selain itu juga diharapkan menjadi international hub (pengumpan) di negara sendiri.
Padahal jika dicermati, dari 17 bandara itu ada beberapa bandara yang sesungguhnya sudah masuk kategori internasional. Sebut saja bandara Syamsuddin Noor di Banjarmasin dan bandara Pattimura, Ambon. Kedua bandara itu memiliki sarana dan prasarana yang sudah memenuhi standar bandara internasional.
Maka, pencabutan status 17 bandara internasional hanyalah persoalan kalkulasi ekonomis semata. Selebihnya, masalah substansial tentang prospek pariwisata di daerah tidak terpecahkan. Sebab, logikanya bandara adalah pintu gerbang perkembangan pariwisata di daerah.
Bandara dan Pariwisata
Tak dipungkiri, bandara acapkali menjadi indikator tentang aksesibilitas suatu negara atau daerah dalam pengembangan pariwisatanya. Asumsinya, jika suatu daerah memiliki bandara, maka angka kunjungan wisatawan akan meningkat.
Atas dasar asumsi tersebut, pemerintah dengan dalih peningkatan infrasrtuktur pariwisata lantas membangun bandara di berbagai daerah. Dengan harapan angka kunjungan wisatawan meningkat, pendapatan negara bertambah.
Realitanya, banyak bandara yang tak mampu mendongkrak angka kunjungan wisatawan. Jangankan mendatangkan wisatawan; bahkan maskapai penerbangan enggan untuk membuka rute penerbangan ke daerah tersebut. Akibatnya, bandara itu hidup enggan mati pun tak mau.
Bandara Jenderal Besar Soedirman, Purbalingga, Jawa Tengah misalnya, tak jelas nasibnya kini. Bandara yang diresmikan oleh Presiden Joko Wododo pada 1 Juni 2021 ternyata sepi penumpang. Maskapai yang awalnya menyambut baik bandara tersebut kemudian membatalkan rute penerbangannya.
Begitu pula dengan Bandara Banyuwangi, Jawa Timur yang mengalami nasib sama dengan 17 bandara yang dicabut status internasionalnya. Padahal Bandara Banyuwangi pada tahun 2022 sempat mendapat Sertifikat The Aga Khan Award for Infrastructure sebagai bandara dengan bangunan arsitektur terbaik di dunia.
Berkaca dari kasus bandara yang gagal, maka 17 bandara yang dicabut statusnya tidak dapat disalahkan begitu saja. Kesalahan semestinya bukan berada pada pihak bandara yang tidak mampu menyumbangkan wisatawan. Kebijakan di sektor pariwisata ada di pihak Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta pemerintah daerah.
Sejak awal semestinya dilakukan studi kelayakan pembangunan bandara terhadap kunjungan wisatawan. Sejauhmana pemerintah mampu mengundang wisatawan dengan memanfaatkan bandara itu. Jangan dengan asumsi terbalik,berapa jumlah wisatawan yang dapat disumbangkan oleh bandara.
Maka sejatinya, pemerintah daerahlah yang bertanggungjawab untuk menciptakan produk wisata yang menarik di pasar wisata. Ketika suatu daerah memiliki objek dan daya tarik wisata yang baik, maka bandara dapat memberi jalan bagi kunjungan wisatawan. Bandara pun berkontribusi pada pariwisata.
Menariknya, di tengah pencabutan status 17 bandara internasional dan kegagalan beberapa bandara, kini justru muncul wacana pembangunan Bandara Internasional Bali Utara di Kabupaten Buleleng, Bali. Kontan saja wacana ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat Bali. Apalagi latar belakang wacana itu juga berkaitan dengan pengembangan pariwisata di Bali.
Kasus di Bandara
Selain berkaca pada pencabutan status bandara internasional, pemerintah juga perlu berkaca pada kasus-kasus yang berkaitan dengan pelayanan penerbangan. Selama beberapa tahun belakangan, Indonesia diterpa isu kurang sedap berkaitan dengan sederet kasus di bandara.
Penundaan penerbangan (delay) menjadi kasus yang kerap terjadi. Keterlambatan penerbangan memang dapat disebabkan oleh faktor gangguan teknis, cuaca, maupun faktor operasional lain. Namun keterlambatan penerbangan tentu sangat merugikan penumpang. Apalagi bila delay pesawat bisa lebih dari lima jam. Perjalanan wisatawan tentu saja akan terganggu.
Kasus hilangnya barang bawaan penumpang menjadi kasus yang sering terjadi pula di bandara. Selain menimbulkan kejengkelan penumpang, kasus semacam ini dapat mencoreng citra pariwisata Indonesia. Apalagi bila kasus ini menimpa diri wisatawan mancanegara.
Kelalaian pilot dalam penerbangan menjadi kasus yang menimbulkan kengerian penumpang. Kasus menghebohkan terjadi dalam dunia penerbangan. Pilot dan kopilot satu maskapai dalam negeri tertidur tertidur selama 28 menit saat penerbangan. Satu hal yang konyol dan menambah buruk citra penerbangan dan pariwisata Indonesia.
Kasus miris menimpa dunia penerbangan di tahun 2020 silam. Tiga orang pilot dari maskapai penerbangan Indonesia diciduk polisi lantaran terbukti menggunakan narkoba. Padahal pilot tersebut sudah mengkonsumsi narkoba selama tiga tahun. Sungguh mengerikan jika pilot menerbangkan pesawat dalam pengaruh narkoba.
Oknum bea cukai yang berperilaku nakal juga mewarnai kasus di bandara. Kasus itu meliputi flexing kekayaan pejabat bea cukai, pelayanan yang tidak etis, hingga pemerasan yang dilakukan oknum bea cukai kepada wisatawan.
Berkaca dari berbagai kasus di bandara, tidak menutup kemungkinan kasus-kasus tersebut akan terulang terjadi. Tentu saja ini akan berdampak negatif bagi industri penerbangan dan pariwisata. Lebih jauh, akan berdampak buruk bagi nama Indonesia di mata dunia.[T]
BACA artikel lain dari penulisCHUSMERU