DALAM sebuah momen yang akan dikenang sepanjang sejarah politik Amerika, Presiden Joe Biden mengumumkan pengunduran dirinya dari pencalonan presiden 2024 pada Minggu (21/7). Keputusan ini, yang mengejutkan banyak pihak, menandai titik balik dramatis di lanskap politik AS dan membuka jalan bagi pertarungan kekuasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Biden, yang kini mendukung Wakil Presiden Kamala Harris sebagai penerusnya, tidak hanya melepaskan ambisi pribadinya, tetapi juga memicu transformasi mendalam dalam dinamika kekuatan Partai Demokrat. Langkah ini, meski dipuji oleh beberapa pihak sebagai tindakan negarawan yang bijaksana, juga menimbulkan pertanyaan serius tentang stabilitas kepemimpinan dan arah kebijakan Amerika di masa depan.
Alasan Mundur
Faktor usia dan kesehatan menjadi alasan utama yang dikemukakan Biden. Di usia 82 tahun pada awal masa jabatan kedua yang potensial, kekhawatiran tentang stamina fisik dan ketajaman mentalnya semakin menguat. Menurut ulasan praktisi Kesehatan, risiko demensia meningkat secara signifikan setelah usia 80 tahun, dengan sekitar 30-50% individu di atas 85 tahun menunjukkan gejala kognitif. Meski tidak ada indikasi spesifik bahwa Biden mengalami penurunan kognitif serius, serangkaian kesalahan ucap dan momen kebingungan yang terekam kamera telah menjadi bahan perdebatan publik yang intens.
Namun, di balik narasi kesehatan, terdapat realitas politik yang tak kalah menggigit. Survei internal Partai Demokrat menunjukkan erosi dukungan yang mengkhawatirkan. Data terbaru dari Pew Research Center mengungkap penurunan tajam dukungan Demokrat terhadap Biden dari 90% menjadi 60% hanya dalam waktu beberapa bulan. Lebih mengkhawatirkan lagi, hanya 45% pemilih berusia 18-29 tahun yang menyatakan dukungan untuk pencalonan kembali Biden.
Fenomena ini mencerminkan kegagalan Biden dalam mempertahankan koalisi luas yang membawanya ke Gedung Putih pada 2020. Generasi muda dan kalangan progresif, yang dulu menjadi tulang punggung kemenangannya, kini mempertanyakan relevansi visinya di era pasca-pandemi. Kebijakan Biden dalam isu-isu seperti perubahan iklim, krisis Rusia-Ukraina, Ketegangan di Gaza, masalah imigran, reformasi kepolisian, dan penghapusan utang mahasiswa dianggap terlalu moderat oleh banyak aktivis progresif.
Dampak terhadap Partai Demokrat
Keputusan Biden membuka Kotak Pandora politik yang berpotensi mengubah wajah Partai Demokrat. Di satu sisi, ini adalah momentum untuk meremajakan kepemimpinan dan menyuntikkan energi baru ke dalam partai yang sering dikritik karena terlalu bergantung pada figur-figur senior. Kamala Harris, dengan latar belakangnya sebagai wanita berkulit berwarna pertama yang menjabat sebagai Wakil Presiden AS, mewakili wajah Amerika yang lebih inklusif dan beragam.
Namun, transisi ini juga berisiko memicu perpecahan internal yang berbahaya. Partai Demokrat, dengan spektrum ideologinya yang luas dari sayap kiri progresif hingga sentris moderat, kini dihadapkan pada tugas berat menyatukan berbagai faksi yang sering bertentangan. Harris, yang selama ini dikenal memiliki pandangan yang cenderung progresif namun pragmatis, harus mampu menjembatani jurang ideologis ini tanpa kehilangan identitas politiknya sendiri.
Peluang dan Tantangan Harris
Sebagai calon pengganti Biden, Harris membawa potensi sekaligus kerentanan yang signifikan. Pengalamannya sebagai Jaksa Agung California dan Senator AS memberikan kredibilitas dalam pemerintahan dan pembuatan kebijakan. Meski demikian, menurut survei terkini dari berbagai lembaga, termasuk CBS News, NBC News, dan Fox News, persaingan antara Harris dan Trump terpantau amat ketat, dengan selisih hanya 2-3%. Angka ini mencerminkan polarisasi yang mendalam dalam masyarakat Amerika dan tantangan besar yang harus dihadapi Harris dalam memperluas basis dukungannya.
Kunci kemenangan Harris terletak pada kemampuannya memobilisasi basis Demokrat tradisional sambil memperluas jangkauan ke pemilih independen dan moderat yang sering menjadi penentu dalam pemilihan presiden AS. Selain itu, dia harus mengembangkan platform yang memadukan pragmatisme Biden dengan visi progresif yang lebih ambisius untuk menarik berbagai segmen pemilih. Fokus pada isu-isu seperti pemulihan ekonomi pasca-pandemi, keadilan sosial, dan kepemimpinan global yang kuat bisa menjadi formula pemenangan. Namun, Harris juga harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam retorika yang terlalu kiri yang bisa mengalienasi pemilih moderat.
Dari perspektif global, transisi kepemimpinan ini akan diawasi dengan seksama oleh komunitas internasional. Kebijakan luar negeri AS, dari hubungan dengan China hingga penanganan konflik di Timur Tengah, bisa mengalami pergeseran signifikan di bawah kepemimpinan Harris. Sebagai contoh, pendekatan Harris terhadap China diperkirakan akan lebih keras dibandingkan Biden, terutama dalam isu hak asasi manusia dan persaingan teknologi. Ini bisa berdampak pada dinamika geopolitik global, termasuk aliansi AS di kawasan Indo-Pasifik.
Lebih jauh lagi, pengunduran Biden dan naiknya Harris ke panggung utama politik AS bukan sekadar pergantian pemain dalam teater politik Amerika. Ini adalah momen definisi ulang nilai-nilai demokrasi Amerika dan posisinya di kancah global. Harris kini menghadapi tugas amat sulit: tidak hanya harus memenangkan pemilihan melawan lawan tangguh, tetapi juga menyatukan negara yang terpecah-belah dan memulihkan kepercayaan terhadap institusi demokrasi Amerika. [T]
Baca artikel lain dari penulisELPENI FITRAH