“SAYA mendapat juara satu. Dan saya baru saja belajar keroncong. Sebelumnya tidak pernah tahu,” ujar perempuan muda yang duduk di pelataran depan Auditorium Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Minggu (14/7/2024) sore itu. Ia mengatakan hal tersebut dengan terang dan jelas. Dengan wajah riang meski agak sedikit tegang.
Di teras gedung audit, beberapa mahasiswa sedang belajar menari. Mereka meliuk-liuk, mengeksplorasi tubuh mereka sendiri. Tak ada mahasiswa lain selain mereka di sana. Kampus tampak lengang siang itu. Suara-suara pingai di dahan pohon jelas terdengar.
Dan di tengah kelenganan kampus itu, Prima Jyoti, perempuan muda tersebut, sambil duduk di paving block, sedang bercerita bagaimana ia belajar bernyanyi keroncong untuk pertama kalinya dan langsung berhasil meraih juara dalam ajang Peksimida Bali 2024.
Ni Kadek Prima Jyoti Mahardika saat mengikuti lomba keroncong putri di Peksimida Bali 2024 | Dok. Prima Jyoti
“Saya ditunjuk oleh pimpinan. Padahal awalnya saya di bidang pop dan seriosa,” ujarnya. Pimpinan yang ia maksud adalah pihak kampus. Ia mengaku, sebelum penunjukan itu, Jyoti tidak tahu sama sekali apa dan bagaimana musik keroncong itu. “Pihak fakultas langsung mencarikan saya pelatih. Saya belajar dari nol,” sambungnya sesaat setelah ia membenarkan letak rambutnya.
Di Indonesia, musik keroncong memiliki sejarah yang panjang. Jenis musik ini memiliki hubungan historis dengan sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado. Sejarah keroncong di Indonesia dapat ditarik hingga akhir abad ke-16, di saat kekuatan Portugis mulai melemah di Nusantara.
Keroncong berawal dari musik yang dimainkan para budak dan opsir Portugis dari daratan India (Goa) serta Maluku. Bentuk awal musik ini disebut moresco, yang diiringi oleh alat musik dawai. Tetapi sulit untuk menentukan kapan dan bagaimana persisnya keroncong muncul di Bali. Meskipun, dalam beberapa sumber, khususnya di Kota Denpasar, musik keroncong diperkirakan muncul pada tahun 1940-an di wilayah Kaliungu Kelod, yang dipelopori oleh Mangku Gebleg (alm).
Namun, hari ini, di tengah arus informasi dan silang-tukar budaya yang sangat cepat, keroncong tentu bukan jenis musik yang populer di Bali. Terang saja gadis seperti Jyoti tidak mengetahui—atau merasa tertarik untuk mempelajari—musik keroncong. Gadis bernama lengkap Ni Kadek Prima Jyoti Mahardika itu hanya tahu sebatas bahwa keroncong adalah musik jadul. Tak lebih.
Jyoti mau belajar dan mengikuti lomba bernyanyi keroncong di Pekan Seni Mahasiswa Daerah Bali karena ia termasuk orang yang suka dengan hal-hal baru. Sebelum keroncong, dia berkata, lebih dulu ia sering menyanyikan lagu-lagu pop Indo. Tapi ia keluar dari “zona nyamannya” itu dengan belajar seriosa di kampus—dan berhasil. “Pop dulu, seriosa, baru keroncong,” ujarnya sembari tersenyum.
Ni Kadek Prima Jyoti Mahardika saat mengikuti lomba keroncong putri di Peksimida Bali 2024 | Dok. Prima Jyoti
Mahasiswi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Undiksha semester empat itu belajar keroncong dari seorang seniman dari Jembrana, Kukuh Setiawan—seniman yang ditunjuk pihak fakultas. “Hanya tiga kali belajar. Setelah itu saya dilepas dan dibimbing pihak fakultas. Selama latihan saya bolak-balik Singaraja-Jembrana, itu masa-masa ujian akhir semester lagi,” beber mahasiswi yang menyukai lagu Sang Dewi, Titi DJ itu.
Menurut Jyoti—setelah ia belajar keroncong dengan sangat singkat itu, perbedaan keroncong dengan jenis musik lain terletak pada cengkoknya yang khas. Katanya, suasana keroncong mirip dengan gregel dalam sloka. “Mungkin karena saya pernah belajar membaca sloka, makanya bisa bernyanyi keroncong,” tutur gadis kelahiran Dauhwaru, 10 Januari 2004 itu.
Di atas pangggung Peksimida Bali yang digelar di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu, dengan kebaya merah tua yang berkerlip, Prima Jyoti membawakan lagu keroncong “Jayalah Indonesiaku” karya Budiman B.J—salah satu tokoh penting dalam sejarah musik di Tanah Air, khususnya musik keroncong.
Ni Kadek Prima Jyoti Mahardika saat mengikuti lomba keroncong putri di Peksimida Bali 2024 | Dok. Prima Jyoti
Jyoti tampak tenang dan dapat menguasai diri saat mengalunkan lagu ciptaan pemimpin salah satu orkes keroncong terbaik di Indonesia: Orkes Keroncong Bintang Jakarta itu. Ia bergerak lembut dari kanan ke kiri sambil menggerakkan lengan kanannya seperti menari dan menambah ekspresi. Sesekali ia juga menggoyang-goyangkan kepalanya seturut dengan irama lagu. Penampilannya kala itu membuat mata juri terpukau dan ia layak menyandang predikat juara.
Sampai di sini, karena ia mendapat juara satu, Prima Jyoti akan mewakili Bali pada ajang Pekan Peksiminas ke-17 yang berlangsung pada September 2024 mendatang di Universitas Negeri Jakarta. Di sisa waktu ini, ia masih menunggu jadwal dari pihak kampus untuk melakukan latihan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Namun, perlu diketahui, sebelum meraih juara satu tangkai lomba keroncong putri seminggu yang lalu, Prima Jyoti juga telah banyak menorehkan prestasi di ajang tarik suara. Ini karena sejak kecil dia suka bernyanyi. Dan kedua orang tuanya juga menyukai hal yang sama—dan, tentu saja, sangat mendukungnya.
Pada tahun 2022, Jyoti berhasil meraih juara III dalam ajang Menyanyi Solo Tingkat Nasional. Setahun setelahnya, ia mendapat juara I Karaoke Seriosa Tingkat Universitas Pendidikan Ganesha.
Tahun 2023 Jyoti panen juara. Ia juara I Nyanyi Pop Fip Jip Tahun; juara I Karaoke Seriosa Tingkat Fakultas Ilmu Pendidikan; dan juara II Kidung Tingkat Fakultas Ilmu Pendidikan. Selamat, Jyoti.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole