PADA tanggal 12 Juli 2024, dari pukul 10 pagi hingga 9 malam, Desa Tukadaya di Kabupaten Jembrana kembali dihangatkan oleh Festival Cerita Rasa yang telah memasuki tahun ketiganya. Saya merasa bersemangat melihat bagaimana festival ini berkembang setiap tahunnya. Tahun ini, Cerita Rasa berkolaborasi dengan program publik Sinema Mikro Sanggar Bali Tersenyum.
Dalam sudut pandang saya sebagai penyelenggara program Cerita Rasa, film adalah elemen yang tidak bisa dipisahkan dari cerita dan budaya yang kami ingin sampaikan. Sesuai tagline kami, “storytelling, film, art & culture,” mencerminkan dedikasi kami untuk menggabungkan berbagai aspek seni dan budaya dalam setiap acara yang kami selenggarakan. Tahun ini, program layar tancap kami menampilkan dua film dokumenter yang mengangkat isu penting tentang air dan hutan di Jembrana.
Film pertama yang kami putar berjudul “Hutan Terakhir” karya Wayan Martino. Film ini mengikuti perjalanan Restu Negara, seorang pengurus pemipaan air bersih untuk warga Yeh Embang Kauh. Air tersebut diambil dari dalam ‘hutan terakhir’ yang kini sudah mulai dirambah oleh masyarakat. Melalui film ini, saya bisa merasakan perjuangan dan dedikasi Restu untuk menyediakan air bersih bagi warga desanya, serta tantangan yang dihadapinya dalam menjaga kelestarian hutan.
Anak-anak dalam program Bioskop Mini | Foto: Dok
Dokumenter kedua yang kami sajikan berjudul “Kita, Air dan Hutan.” Film ini merekam cerita masyarakat Desa Tukadaya mengenai upaya mereka memperoleh air bersih dari dalam hutan. Selain itu, film ini juga mengangkat berbagai kendala dalam pengelolaan perhutanan sosial di desa tersebut. Dokumenter jurnalistik ini dikerjakan di bawah naungan program Anugerah Jurnalisme Warga Balebengong.id, dengan tim produksi yang terdiri dari Yurika Dewi, Komang Sutirtayasa, dan Made Suarbawa. Melalui film ini, saya menyadari betapa kompleksnya tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam mengembalikan fungsi hutan sebagai upaya membayar kesalahan masa lalu, sambil berusaha memenuhi kebutuhan dasar.
Kedua film ini tidak hanya memberikan wawasan yang mendalam tentang isu-isu lingkungan di Jembrana, tetapi juga menginspirasi saya dan mungkin banyak orang lainnya untuk lebih peduli dan berkontribusi dalam menjaga kelestarian alam.
Mengenal Lingkungan Untuk Anak-anak
Tema dua film tersebut menjadi landasan mata acara “mengenal tanaman di sekitar kita”. Kegiatan ini mengajak anak-anak untuk mengidentifikasi jenis tanaman yang sering mereka konsumsi di dapur masing-masing. Dengan cepat anak-anak usia 6 hingga 14 tahun yang terlibat, menyebut nama tumbuhan bahan lauk mereka. Seperti jukut kelor, bayam, kangkung, kekaro (koro/lablab purpureus), kelentang (buah kelor), dan daun singkong.
Setelah mengenali dari ingatan, anak-anak diajak bergerak ke sekitar rumah untuk mengamati, meraba, mencium dan merasakan jenis-jenis tanaman. Tanaman pertama yang ditemukan menjadi teka-teki yang menarik. Daunnya kecil-kecil, sehingga beberapa anak mengidentifikasi sebagai kelor, karena rupa daunnya mirip. Namun anak lain yang biasa makan sayur daun kelor menyanggah, namun dia tidak yakin yang sedang diamatinya jenis tanaman apa.
Anak-anak dalam program Mengenal Tanaman | Foto: Dok
Setelah beberapa saat, teka-teki terkuak. Tanaman yang sedang diamati adalah kembang merak (Caesalpinia pulcherrima) dalam bahasa negaroa disebut Kembraka. Beberapa anak akhirnya tergali ingatannya, bahwa mereka pernah melihat kuncup bunga dan kulit batangnya bisa dijadikan obat, yang diramu berupa boreh (sejenis param/lulur).
Dari kembang merak, anak-anak kemudian mencium aroma daun jeruk, terkejut melihat pohon anggur yang selama ini hanya mereka tahu warna dan rasa buahnya. Kemudian mencoba makan sirih karena mereka tahu “bisa dimakan”, (nginang). Namun tentu mereka sama sekali tidak paham tradisi nginang, karena sudah tidak ditemukan lagi dalam keluarga mereka yang masih nginang.
Kembali dari sesi mengingat dan mengamati, anak-anak membawa beberapa jenis daun dari tanaman yang mereka temukan. Kemudian mereka diajak menulis dan bertanya, yang dituangkan dalam bentuk peta pikiran. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan belum terjawab, menjadi tugas baru bagi mereka untuk mencari narasumber.
Kelompok yang menulis tentang daun sirih, mengenali bahwa daun tersebut digunakan untuk porosan yang merupakan bagian dari canang yang digunakan dalam keluarga mereka sebagai sarana persembahyangan ke pura. Di kelompok lain yang menulis tentang tanaman puring atau di Tukadaya disebut kayu mas, menemukan juga bahwa puring digunakan sebagai porosan, yang dijadikan bagian canang sari oleh ibunya setiap hari untuk dijual.
Mata acara yang sejatinya ingin mengeluarkan output berupa Zine, harus diakhiri sampai peta pikiran saja, karena sudah teralihkan oleh ajakan makan siang.
Bioskop Mini: Pilih Film, Antri, Nonton, Ngobrol.
Salah satu kegiatan yang menarik dalam Festival Cerita Rasa 2024 adalah Bioskop Mini, sebuah inisiatif yang dirancang khusus untuk membawa suasana bioskop ke tengah-tengah anak-anak di Desa Tukadaya.
Desa Tukadaya, yang terletak 100 km dari bioskop terdekat di Denpasar atau Badung, adalah tantangan aksesibilitas yang signifikan dalam hal hiburan bioskop. Bagi anak-anak di desa ini, kesempatan untuk menikmati pengalaman bioskop sungguhan mungkin hanya akan muncul ketika mereka memiliki kesempatan untuk pergi ke kota, suatu hal yang mungkin terjadi bertahun-tahun lagi.
Bioskop Mini | Foto: Dok
Anak-anak yang hadir di Bioskop Mini memiliki kesempatan untuk memilih film yang mereka sukai dari berbagai pilihan yang telah disediakan untuk umur mereka. Mereka juga harus memilih tempat duduk yang mereka inginkan, dan ingin duduk dekat dengan siapa. Proses memilih ini juga merupakan bagian dari pendidikan mereka dalam membuat keputusan yang baik dan menghargai pilihan yang tersedia. Untuk mendapatkan tiket, mereka mengantri dengan tertib, sebuah pelajaran tentang etika sosial yang penting untuk ditanamkan sejak dini.
Ketika mereka duduk untuk menonton film, suasana Bioskop Mini menciptakan pengalaman yang nyaris mirip dengan di bioskop sungguhan. Anak-anak belajar untuk duduk dengan tenang dan menghargai ruang bersama, sambil menikmati cerita yang diproyeksikan di layar besar. Setelah selesai menonton, mereka diberi kesempatan untuk berdiskusi tentang cerita yang mereka saksikan. Diskusi ini tidak hanya meningkatkan pemahaman mereka tentang cerita dan karakter, tetapi juga mengembangkan kemampuan dan kebiasaan berbicara mereka.
Memperkenalkan Yang Mungkin Mereka Kenal
Kidung, yang sering terdengar dalam upacara keagamaan, memegang peran sentral dalam budaya Bali, tetapi tidak semua generasi muda memiliki kemampuan dan mungkin kesempatan untuk memahami atau melantunkannya secara mendalam.
Cerita Rasa menganggap pengenalan ulang terhadap karya-karya sastra Bali klasik menjadi krusial dalam kehidupan masyarakat Bali, selain bisa dikupas sebagai bagian dari tuntunan kehidupan sehari-hari tetapi juga sebagai panduan spiritual yang melengkapi upacara-upacara sebagai bagian Panca Gita, yaitu Mantra, Genta, Kidung, Gamelan, dan Kentongan.
Kegiatan pengenalan sastra Bali klasik berlangsung dalam bentuk pelatihan singkat sebagai pemantik dan membaca minat anak-anak dan remaja. Program ini diisi oleh pemateri Pak Putu Suaha dari Berawantangi Taman, Tukadaya dan Pak Ketut Subandi dari Banjar Moding, Desa Candikusuma.
Anak-anak dan remaja diajak untuk menembangkan Kidung Kawitan Warga Sari
“Purwakaning”, dan mencoba pupuh Ginanti, yang juga diajarkan disekolah sejak sekolah dasar, Namun tampaknya anak-anak tidak mendalami atau ingat pernah mempelajarinya.
Pak Suaha berpesan pada anak-anak, bahwa dalam sastra Bali banyak hal yang bisa kita pelajari kita jadikan tuntunan hidup.
Anak-anak menonton fil layar tancap | Foto: Dok
“Seperti pesan dalam Pupuh Ginanti. Kawruhe luir senjata, Ne dadi perabotan sai, Kaanggen ngaruruh merta, Saenun ceninge ceninge urip. Bahwa ilmu pengetahuan, keterampilan adalah senjata utama untuk menyambung hidup. Akan selalu kita butuhkan selama kita masih bernafas. Main gim-gim di hape boleh, tapi coba juga gunakan hape untuk belajar metembang, banyak contoh bisa di cari di youtube misalnya, pasti akan bermanfaat” tambah pak Suaha.
Di sisi lain, pak Subandi menyatakan kesiapannya untuk mendampingi anak-anak dalam belajar matembang Sastra Bali.
“Tyang bukan penembang yang hebat, tapi saya punya keinginan untuk belajar. Mari luangkan waktu, buat jadwal rutin untuk kita belajar bersama. Pokoknya saya siap mendampingi. Nah bantes kati juari mekidung di nuju pujawali di pura. Tujuan pang juari, sing perlu juara” tegas pak Subandi.
Malam festival Cerita Rasa terasa hangat dengan kehadiran masyarakat dari luar Desa Tukadaya. Pesan dan kesan mereka yang merasa kegiatan ini penting dan menginspirasi menjadi dorongan bagi Cerita Rasa untuk terus konsisten. Festival Cerita Rasa di Desa Tukadaya ini diharapkan bukan hanya sekadar acara biasa, tetapi juga menjadi platform untuk memperkaya jiwa dan pengetahuan komunitas secara holistik. [T]