TAJIKISTAN, negara bekas Soviet, populasi mayoritas muslim, mengesahkan undang-undang yang melarang pemakaian hijab dan atribut islam tradisional lainnya pada Selasa (25/6) lalu. Tentu saja kebijakan ini memicu kontroversi global.
Banyak pihak melontarkan kritik tajam dan menganggapnya sebagai pelanggaran kebebasan beragama. Apa boleh buat, Tajikistan merasa urgent mengambil langkah politik ini untuk mempertahankan budaya dan nilai-nilai nasional, dari sesuatu yang dianggap pengaruh asing, demi stabilitas negara.
Bagi saya, kontroversi ini mewakili dilema yang dihadapi banyak negara dalam menyeimbangkan pelestarian budaya dengan hak-hak individu di era globalisasi yang semakin masif.
Konteks Historis
Larangan hijab di Tajikistan melekat pada konteks sejarah dan sosial negara ini pasca era Soviet. Sejak kemerdekaannya pada 1991, Tajikistan telah berjuang untuk mendefinisikan kembali identitas nasionalnya di tengah tarik-menarik antara warisan Soviet, kebangkitan Islam, dan modernisasi.
Keragaman etnis dan menguatnya peran Islam dalam ranah sosial politik menghadirkan tantangan bagi pemerintah Tajikistan. Larangan hijab, meski kontroversial, dapat dipandang sebagai Langkah defensif menghadapi perubahan sosial dan ketakutan akan radikalisasi. Kebijakan ini mencerminkan upaya pemerintah menyeimbangkan pengelolaan keragaman dengan menjaga stabilitas negara.
Kita lihat saja, Pemerintah Tajikistan, melalui pendekatan politik, telah secara resmi menjustifikasi larangan hijab sebagai upaya melindungi budaya nasional, mencegah ekstremisme, dan mempromosikan pakaian tradisional. Presiden Emomali Rahmon bahkan menyatakan bahwa aturan ini bertujuan untuk melindungi nilai-nilai asli budaya nasional dan mencegah takhayul serta pemborosan dalam perayaan dan upacara.
Meski demikian, kritikus justru menganggapnya sebagai dalih untuk mengkonsolidasi kekuasaan dan menyingkirkan oposisi, terutama Partai Kebangkitan Islam Tajikistan (TIRP) yang sebelumnya cukup berpengaruh. Kesenjangan antara narasi resmi dan persepsi publik ini semakin mempertajam kontroversi kebijakan tersebut.
Dillema Identitas Nasional
Upaya Tajikistan untuk membentengi budaya lokalnya melalui larangan hijab mencerminkan dilema yang lebih luas yang dihadapi banyak negara di era globalisasi. Di satu sisi, ada keinginan kuat untuk mempertahankan identitas nasional dan nilai-nilai tradisional. Namun di sisi lain, arus informasi dan pengaruh global yang tak terbendung membuat upaya ini semakin menantang.
Tajikistan, seperti banyak negara lain, berusaha menavigasi antara keterbukaan terhadap dunia luar dan pelestarian warisan budayanya. Kebijakan larangan hijab dapat dilihat sebagai manifestasi dari pergulatan internal ini, meskipun pendekatan yang diambil cenderung kontroversial dan berpotensi kontraproduktif.
Tantangan menghadapi globalisasi di era modern menjadi faktor krusial dalam memahami kebijakan Tajikistan. Revolusi teknologi dan informasi telah mengaburkan batas-batas budaya, memungkinkan ide-ide dan praktik-praktik baru menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Bagi Tajikistan, fenomena ini dipandang sebagai ancaman potensial terhadap kohesi sosial dan stabilitas politik.
Pemerintah berusaha mengontrol narasi nasional dan membentuk identitas kolektif melalui kebijakan-kebijakan seperti larangan hijab. Namun, pendekatan top-down ini menghadapi resistensi dari masyarakat yang semakin terhubung secara global dan menuntut kebebasan berekspresi yang lebih besar.
Kontroversi seputar larangan hijab di Tajikistan telah memicu perdebatan sengit tentang batas-batas kekuasaan negara dan hak-hak individu. Kelompok hak asasi manusia dan komunitas internasional mengecam kebijakan ini sebagai pelanggaran kebebasan beragama dan hak untuk berekspresi. Mereka berpendapat bahwa negara tidak seharusnya mengatur cara berpakaian warganya, apalagi dalam konteks praktik keagamaan.
Di sisi lain, pendukung kebijakan ini melihatnya sebagai langkah yang diperlukan untuk menjaga keamanan nasional dan mempromosikan sekularisme. Perdebatan ini mencerminkan tensi yang lebih luas antara kepentingan negara dan hak-hak individu yang sering muncul dalam konteks kebijakan publik.
Dampak dari kebijakan larangan hijab di Tajikistan kemungkinan akan jauh melampaui masalah berpakaian semata. Secara sosial, kebijakan ini berpotensi meningkatkan polarisasi dalam masyarakat, memicu konflik antara kelompok sekuler dan religius, serta memarjinalkan sebagian populasi Muslim.
Secara politik, ini dapat memperkuat narasi tentang penindasan agama yang sering dieksploitasi oleh kelompok-kelompok ekstremis. Pada tingkat internasional, kebijakan ini dapat merusak citra Tajikistan dan mempersulit hubungan diplomatiknya dengan negara-negara Muslim. Konsekuensi tidak disengaja ini menunjukkan kompleksitas dalam mengelola keragaman dan identitas nasional di era modern.
Analisis terhadap efektivitas kebijakan larangan hijab dalam mempertahankan budaya lokal Tajikistan mungkin saja menunjukkan hasil yang ambigu. Di satu sisi, kebijakan ini mungkin berhasil mempromosikan penggunaan pakaian tradisional Tajikistan dan memperkuat narasi nasionalis tertentu. Namun, pendekatan koersif ini juga berisiko menciptakan resistensi dan alienasi di kalangan warga yang merasa identitas religius mereka terancam.
Alih-alih memperkuat kohesi sosial, kebijakan ini dapat memperburuk perpecahan yang sudah ada. Lebih jauh lagi, upaya untuk membatasi ekspresi keagamaan dapat mendorong praktik-praktik underground yang lebih sulit dikontrol, bertentangan dengan tujuan awal kebijakan tersebut.
Menurut saya, sebagai orang yang tinggal di negara dengan masalah sosial yang hampir mirip, ini dapat diperlakukan sebagai lesson learned. Mungkin saja, disuatu masa, Indonesia akan melalui fase yang serupa. Tapi perlu diingat, evolusi kebijakan ini, terutama yang menyangkut ekspresi keagamaan, akan sangat bergantung pada dinamika internal dan tekanan eksternal.
Pemerintah sangat dianjurkan untuk mengevaluasi kembali pendekatannya dalam mencapai keseimbangan yang lebih baik antara kepentingan nasional dan hak-hak individu. Dialog inklusif dengan berbagai kelompok masyarakat, dapat menjadi langkah awal yang konstruktif.
Selain itu, fokus pada pendidikan dan pemberdayaan ekonomi mungkin lebih efektif dalam memperkuat identitas nasional daripada kebijakan larangan yang kontroversial. Komunitas internasional juga dapat memainkan peran penting dalam mendorong negara, katakanlah dalam hal ini, Tajikistan untuk menghormati standar hak asasi manusia, namun dengan pendekatan yang sensitif terhadap kompleksitas keamanan lokal.
Pelajaran
Kontroversi larangan hijab di Tajikistan menyoroti dilema kompleks yang dihadapi banyak negara dalam era globalisasi: bagaimana mempertahankan identitas nasional dan stabilitas sambil menghormati keragaman dan hak-hak individu. Kasus ini mengingatkan kita bahwa upaya membentengi budaya lokal dari pengaruh asing seringkali lebih rumit dari yang terlihat. Pendekatan yang lebih halus dan inklusif mungkin diperlukan untuk mengelola tantangan ini secara efektif.
Pada akhirnya, kemampuan Tajikistan untuk menavigasi isu sensitif ini akan menjadi ujian bagi ketahanan institusi demokrasinya dan posisinya dalam komunitas global. Pengalaman Tajikistan ini menawarkan pelajaran berharga bagi negara-negara lain yang menghadapi dilema serupa dalam menyeimbangkan tradisi dengan modernitas di dunia yang semakin terhubung. [T]
Baca artikel lain dari penulisELPENI FITRAH