“Gusti Nyoman Lempad lahir pada 1862 di Desa Bedahulu. Ayahnya seorang undagi bernama I Gusti Ketut Mayukan,” kata Gusti Darta dalam acara Kriyaloka (Lokakarya) Seni Rupa ‘Karya I Gusti Nyoman Lempad’ dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali, Kamis (27/6/2024).
I Gusti Nyoman Darta adalah cucu dari maestro I Gusti Nyoman Lempad. Dan, Kriyaloka itu berlangsung menarik. Para peserta yang kebanyakan para pecinta dan perupa muda itu, tak hanya mendapatkan kisah seorang maestro seni rupa, tetapi juga pelajaran khususnya di bidang seni rupa.
Darta kemudian menuturkan, pada saat Lempad berusia 12 tahun, ayahnya, Gusti Mayukan, mengajaknya pindah ke Ubud. Mereka lalu tinggal di Kerajaan Ubud.
Kepiawaian Gusti Mayukan dan anaknya, Gusti Lempad, dalam membuat bangunan dan patung sangat berguna bagi warga Ubud, bahkan bangunan puri di Ubud merupakan hasil karya kedua orang itu.
Atas jasa itu, Gusti Mayukan dan Gusti Lempad, diberikan sebidang tanah oleh Puri Ubud ang ditinggali Gusti Mayukan dan keluarganya yang kini letaknya di Jalan Raya Ubud, Banjar Taman Kelod, Kelurahan Ubud, Gianyar.
Memasuki usia sekitar 25 tahun Lempad memutuskan menikah dengan seorang gadis, Gusti Nyoman Dapet, namun tidak dikaruniai anak. Ia akhirnya menikahi adik istrinya, Gusti Rai Tindih dan dikaruniai 6 orang anak.
Cerita berlanjut dengan pertemuan Lempad dengan pelukis Jerman Walter Spies sekitar tahun 1925. Spies memperkenalkan teknik anatomi tubuh yang digunakan Lempad untuk mengembangkan karya-karya lukisnya yang banyak mengambil cerita pewayangan.
Lempad banyak belajar tentang cerita pewayangan karena sering mengikuti kegiatan pembacaan lontar di Puri Saren Kauh. Lempad yang buta huruf selalu mengajak Gusti Darta untuk mengartikan lontar-lontar yang dibaca para pendeta yang datang.
“Lukisan Pan Brayut adalah salah satu lukisan yang paling sering dilukis kakek,” ujar Gusti Darta.
Selanjutnya datanglah pelukis Belanda Rudolf Bonnet. Bersama Raja Ubud Ida Cokorda Sukawati dan Walter Spies mereka membentuk komunitas seni Pitamaha. Lempad pula yang kemudian mendesain museum untuk memamerkan lukisan-lukisan pelukis Pitamaha yang sekarang bernama Museum Puri Lukisan di Ubud.
Meski ada pengaruh gaya lukis barat seperti anatomi tubuh dan komposisi warna, menurut Darta, kakeknya itu tetap kukuh dengan gayanya menggunakan tiga warna dalam lukisannya yakni hitam, putih, dan merah yang merupakan warna filosofis Brahma, Wisnu, Siwa.
Lempad meninggal tahun 1978. Hampir seluruh hidupnya selama 116 tahun digunakan untuk mengabdikan diri untuk Puri Ubud. Usai pemaparan, para peserta yang kebanyakan siswa dan mahasiswa seni pun diajak membuat sketsa bersama.
“Kakek kalau bekerja sangat fokus. Sketsa dibuat kemudian dibiarkan selama tiga hari. Nanti kalau ada yang tidak cocok akan diperbaiki,” kata Gusti Darta. [T][Pan]