PARIWISATA budaya telah menjadi kekhasan Bali sejak masa kolonial. Pada dekade kedua di abad XX, brosur-brosur yang menunjukkan keindahan Bali telah tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Pada masa tersebut Bali mulai didatangi oleh beragam wisatawan, sekaligus menerima pelbagai julukan, seperti The Island of God’s, The Island of Paradise, hingga The Last Paradise in the World.
Kemajuan industri pariwisata di Bali seturut dengan pembangunan infrastruktur penunjangnya. Hotel, vila, restoran, pub, hingga fasilitas-fasilitas hiburan pun tumbuh bagai jamur di musim penghujan. Tampak menjanjikan, masyarakat Bali pun ramai-ramai beralih profesi demi mengantongi gemerincing dollar.
Semakin kuat cengkraman industri pariwisata terhadap Bali, berbanding terbalik dengan tradisi ngayah di tengah masyarakat adat Bali. Alih-alih menguatkan, industri pariwisata justru memperlemah keberadaan tradisi ngayah. Masyarakat Bali yang mulanya bertani, kini mengalihkan pandangan ke dunia pariwisata.
Ngayah Nelangsa
Di mana ada gula, di situ ada semut. Begitulah industri pariwisata yang sampai detik ini tetap menjadi tulang punggung ekonomi di Bali. Sebagian besar masyarakat Bali menggantungkan penghidupannya pada industri pariwisata.
Mereka rela meninggalkan kampung halamannya demi turut merasakan manisnya dolar. Lantas siapa yang mengisi ruang-ruang sosial di desa-desa, di saat masyarakatnya tenggelam dalam industri pariwisata?
Segala ritus serta laku-laku kebudayaan masyarakat Bali selalu dilakukan secara kolektif. Ritus dan laku masyarakat Bali selalu bersandar pada filosofi Tri Hita Karana. Kerja-kerja bersama yang didasarkan atas rasa ikhlas tanpa mengharapkan imbalan tersebut dinamakan ngayah. Tradisi ngayah kerap kali dilakukan ketika akan menyongsong ritual keagamaan dan adat.
Mengingat ngayah menitikberatkan pada kerja-kerja kolektif, maka kehadiran masyarakat adat di tengah persiapan berbagai ritus adat dan keagamaan. Kebersamaan masyarakat adat melalui ngayah adalah wujud bakti masyarakat adat di Bali yang sebagian besar memeluk agama Hindu kepada Tuhan beserta manifestasinya.
Kebahagiaan atas pelaksanaan ritual yang telah dipersiapkan bersama, kemudian diekspresikan dengan menikmati pelbagai makanan yang sebelumnya telah dihaturkan. Nyatanya, hari ini tradisi ngayah kian hari kondisinya semakin mengkhawatirkan. Alih profesi masyarakat adat Bali jadi salah satu faktornya.
Masyarakat yang mulanya sebagian besar menggarap lahan pertanian, dengan mudahnya mengatur waktu agar dapat ngayah di Balai Banjar (sejenis Balai Dusun), Pura Kahyangan Tiga di desa, hingga di rumah tetangga yang sedang menyelenggarakan upacara adat.
Kini, menjadi petani bukanlah satu-satunya profesi yang dapat diandalkan untuk hidup. Sebagian besar masyarakat kini menggantungkan hidupnya di industri pariwisata. Menjadi pemandu wisata, pramusaji, sopir, manager hotel, hingga menjadi pekerja di Kapal Pesiar adalah prioritas utama.
Siasat Pertahankan Eksistensi Ngayah
Masalah ini telah dibaca oleh prajuru adat (pengurus adat) di Bali. Upaya pencarian jalan keluar atas masalah ini pun ramai-ramai diperbincangkan oleh pemerhati dan pelaku adat.
Salah satu jalan keluar yang diterapkan oleh sebagian pengurus adatdi Bali adalah pemberlakuan sistem denda (masyarakat adat Bali menyebutnya dosa). Denda akan dijatuhkan kepada warga adat yang tidak melaksanakan ngayah seperti yang telah ditentukan oleh pengurus adat.
Jika dibayangkan, penerapan sistem denda ini akan memberikan efek jera kepada warga adat. Jadi, warga adat yang bekerja di kota atau di luar Bali akan mengusahakan untuk ngayah ke kampung halaman.
Nyatanya, sistem denda yang diterapkan oleh sebagian pengurus adat dimanfaatkan oleh warga-warga adat yang memiliki uang untuk menguatkan legitimasinya jika tidak hadir untuk ngayah. Dengan membayar denda, warga adat merasa telah melaksanakan kewajibannya, meski tidak berada di tengah warga adat lainnya di kampung halaman.
Telah diterimanya uang denda dari warga adat menunjukkan bahwa sistem yang diterapkan dengan harapan dapat memberi efek jera tidak berjalan sesuai harapan. Makin hari, jumlah peserta ngayah justru semakin hari semakin menyusut.
Lantas, untuk apa pengurus adat berhasil mengumpulkan banyak uang dari denda warga adat, sedangkan pekerjaan adat tidak mampu terselesaikan karena tidak ada lagi warga adat yang ngayah?
Ngayah dan Esensi Hidup Manusia Bali
Adat adalah entitas yang mengikat manusia Hindu Bali sesaat setelah ia lahir. Adat menjadi identitas penting bagi masyarakat Bali, sebagai pengingat dari mana dirinya berasal dan kepada siapa mereka memanjatkan rasa syukur. Apalagi masyarakat adat Bali sangat meyakini bahwa leluhur memiliki peranan penting dalam perjalanan hidup manusia Hindu Bali di dunia.
Adat juga menjadi sebuah pengingat bahwa manusia Hindu Bali tidak bisa hidup sendiri, jauh dari sifat individualistis. Warga adat akan selalu bergantung dengan warga adat lainnya dalam menyelesaikan pekerjaan, baik upacara adat atau agama.
Semangat gotong royong dan kebersamaan dalam situasi suka maupun duka adalah semangat yang tersirat dalam tradisi ngayah. Saling mendukung dan melindungi satu sama lain telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat adat Bali.
Oleh karenanya hingga kini dikenal istilah “Sagilik-saguluk salunglung sabayantaka, paras paros sarpanaya” yang memiliki arti bersatu padu, saling menghargai pendapat orang lain dan saling mengingatkan, saling menyayangi dan hidup saling tolong menolong.
Berkat tradisi ngayah, masyarat Bali berhasil bertahan dari gempuran globalisasi yang semakin tidak mengenal batasan. Apabila masyarakat adat Bali melupakan ngayah, sama saja dengan melupakan asal muasal.
Lupa akan asal muasal, niscaya masyarakat adat Bali alami krisis identitas. Krisis identitas tersebut niscaya akan berdampak langsung dengan kelangsungan tradisi, adat, dan budaya Bali. Lantas, masihkah Bali akan menjadi destinasi wisata utama bagi wisatawan apabila adat, tradisi, dan budayanya sirna?[T]