TULISAN ini adalah kelanjutan dari tulisan satu tahun lalu. Sengaja saya baru lanjutkan, karena ingin menjaga jarak dengan emosi. Apa yang saya alami pada Juni 2023 sungguh pengalaman yang ‘tidak biasa’, dari penyintas skizofrenia yang mengalami relapse atau kekambuhan.
Kecewa. Itu yang saya rasakan saat tiba di sebuah ashram di Ubud, Gianyar, saya mendapat penolakan dari seorang staf di sana, hanya karena saat itu saya mengenakan celana pendek dan memang, aturan di ashram tersebut tidak mengharuskan tamu yang datang berpakaian sopan.
Saya jelaskan tentang kondisi saya ketika itu yang ‘darurat’ dan butuh pertolongan segera. Datang ke ashram itu, saya hanya ingin meminjam telepon untuk menghubungi kakak saya agar dia bisa menjemput dan membawa saya pulang kembali ke Denpasar.
Namun, staf tersebut menawarkan hal lain; memesan ojek online agar saya bisa sampai ke tempat awal saya menaruh sepeda motor di sebuah resor meditasi—masih di Gianyar. Saya sempat berkata padanya, “Di mana ajaran tentang kasih yang selama ini diajarkan guru di ashram ini?” Dia diam saja. Saya lalu menyetujui niatnya untuk memesan ojek online, agar saya bisa cepat pergi dari ashram tersebut.
Apa yang saya alami membuat saya teringat pada “I Only Came To Use The Phone”, sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Gabriel Garcia Marquez, penulis terkenal asal Kolombia. Cerita ini ditulis pada tahun 1978 dan diterbitkan dalam buku berjudul “Strange Pilgrim”.
Seperti yang ditulis oleh Nirdosh Odhano, jika kita menelusuri kembali ke masa itu, kita menemukan dua gerakan sosial yang sedang berlangsung di Amerika Selatan: Gerakan Deinstitusionalisasi dan Gerakan Anti-Psikiatri. Sesuai dengan gerakan deinstitusionalisasi, orang dengan penyakit mental dipindahkan ke asrama komunitas.
Gerakan lainnya dipelopori oleh Thomas Szasz, disebut “gerakan anti-psikiatri paksaan” dan dia berpendapat bahwa penyakit mental bukanlah penyakit tetapi masalah perilaku dalam hidup.
Odhano menulis, ini mungkin cerita yang terinspirasi oleh peristiwa yang terjadi selama pemindahan pasien gangguan jiwa dari rumah sakit jiwa ke asrama pada tahun 1970-an di Amerika Selatan. Garcia mencoba menggambarkan betapa mudahnya orang normal dianggap sakit jiwa oleh orang lain karena keterbatasan pemahaman.
Maria, tokoh utama dalam cerita pendek itu, perlu menggunakan telepon untuk menelepon suaminya dan dorongannya yang terus-menerus untuk itu, dianggap sebagai penyakit atau ketidaknormalannya.
Cerita pendek tersebut tentu tidak mengggambarkan kondisi saya saat itu. Hanya saja, ada sedikit kemiripan; bisa jadi staf ashram kurang percaya dengan apa yang saya sampaikan, atau, dia memiliki keyakinan bahwa saya harus kembali ke tempat semula—saya “tersesat”.
Saya meninggalkan ashram itu dengan perasaan campur-aduk. Sebenarnya ingin sekali saya berbincang dengan guru di sana menyoal skizofrenia yang saya idap. Namun keadaan berkata lain, dan saya mesti menerimanya dengan apa adanya.
Memang, seperti yang ditulis juga dalam sebuah buku oleh guru di sana, seorang murid bisa membuat gurunya baik atau buruk tergantung bagaimana ia menterjemahkan setiap apa yang diajarkan guru dalam praktik sehari-hari.
Saya tak ingin membahas hal itu lagi. Saat berada di sepeda motor, saya berbincang dengan pengemudi ojek tentang apa yang saya alami sepanjang malam hingga pagi. Ia hanya mendengarkan saja tanpa banyak bicara. Mungkin dia juga heran mendengar apa yang saya sampaikan.
Sesampainya di resor meditasi, saya langsung menuju pos satpam dan melihat sepeda motor saya masih ada di tempat parkir. Saya lalu menyampaikan apa yang saya alami pada satpam tersebut. Oleh dia, saya disuruh duduk sebentar. Karena bensin sepeda motor saya hampir habis, ia kemudian memberikan saya uang untuk membeli bensin eceran agar saya bisa kembali ke Denpasar. Saya mengucapkan terima kasih dan bergegas pamit dari sana.
Tujuan saya selanjutnya adalah Rumah Berdaya, sebuah rehabilitasi psikososial di Denpasar Selatan. Saya sadar bahwa saya mengalami kekambuhan dan butuh pertolongan. Sesampainya di sana, saya langsung disambut oleh Pak Nyoman Sudiasa, koordinator Rumah Berdaya.
Pak Nyoman tampak prihatin melihat kondisi saya. Rupanya dia tahu dari tunangan saya bahwa saya “menghilang”. Ia lalu menghubungi tunangan dan kakak saya dan mengabarkan bahwa saya sudah kembali dan berada di Rumah Berdaya Denpasar.
Kemudian saya dibawa ke ruang perawatan di sana. Perawat menghubungi psikiater untuk penanganan lebih lanjut. Saya disuruh beristirahat di ranjang klinik, hingga obat dari psikiater diantarkan ke Rumah Berdaya dan saya merasa mengantuk lalu tidur.
Satu jam kemudian, saya melihat kakak saya bercakap-cakap dengan Pak Nyoman. Saya merasa malu dan canggung karena telah membuat banyak orang khawatir dengan apa yang saya perbuat dan lakukan, meski itu “di luar kendali saya”, tetap saja bisa membahayakan misalnya terjadi kecelakaan lalu lintas atau saya disakiti orang karena tindak-tanduk saya dianggap aneh dan meresahkan warga desa.
Setelah merasa lebih baik, saya kembali pulang ke kos dan beristirahat. Apa yang saya alami disebabkan oleh putus obat; saya merasa sudah pulih dari skizofrenia dan tidak minum obat selama satu minggu terakhir. Akibatnya sangat fatal; saya sering merasa curiga, ego yang melambung, dengan bersikap superior yang terlihat dari apa yang saya ungkapkan dan tulis di media sosial.
Dengan pasangan, saya juga sering marah-marah. Pemicu dari semua ini yakni saya berhenti bekerja dari sebuah media daring sehingga mengalami kesulitan secara finansial, saya tak punya penghasilan yang menyebabkan saya banyak pikiran dan putus asa.
Waktu itu saya juga meminjam uang di pinjaman online dan tidak bisa membayar; dikejar-kejar penagih utang. Itu juga menjadi pemicu kekambuhan saya. Kondisi saya saat itu benar-benar amat terpuruk.
Akhirnya, melalui diskusi keluarga, untuk sementara waktu kedua kakak saya menanggung biaya kebutuhan sehari-hari, termasuk biaya kos. Saya tetap di Denpasar dan tidak disarankan pulang ke kampung halaman, dengan pertimbangan nanti jika di sana kondisi saya akan memburuk.
Syukurlah, setelah enam bulan keadaan saya bisa kembali normal berkat dukungan keluarga, tunangan, dan psikiater yang selalu memperhatikan saya. Ini tentu pelajaran berharga bagi saya; obat-obatan untuk skizofrenia tidak boleh dihentikan penggunaannya jika tanpa adanya izin dari psikiater.
Sejak itu saya tidak berani untuk melewatkan jadwal minum obat. Kini, saya sudah bekerja kembali menjadi wartawan dan dalam kondisi stabil dan pulih. Salam dari saya.[T]