ARTIKEL ini adalah penutup dari tiga tulisan sebelumnya yang mendiskusikan tentang kondisi kepemimpinan di Bali. Meski pada artikel ketiga saya menyinggung tentang hilangnya ketegasan pemerintah terkait dengan sabotase diskusi People’s Water Forum (PWF) tanggal 20-23 Mei lalu. Namun, karakter yang hendak dibahas terlebih dahulu adalah visi (wawasan) dari seorang pemimpin. Mari kita simpan karakter tegas untuk tulisan berikutnya sembari menanti proses hukum yang bergulir pasca kejadian PWF kemarin.
Seorang pemimpin hendaknya mampu mengasah ketajaman pikiran dan wawasannya agar bisa menjadi suluh pelita bagi masyarakat yang dipimpinnya. Demikian esensi dari Surya Brata sebagai satu dari delapan syarat pemimpin menurut Asta Brata. Prinsip yang sama juga dapat ditemukan pada uraian filsafat dari Socrates yang ditulis dengan detail oleh Plato (murid dari Socrates) dalam buku Republic. Pemimpin adalah mereka yang mampu melepaskan diri dari bayang-bayang kegelapan, layaknya seorang yang selalu memandang ke arah cahaya meskipun selama hidupnya terkungkung di dalam kelamnya liang bawah tanah.
Jelaslah bahwa pemimpin yang ideal adalah individu yang tercerahkan, baik pikiran dan pandangannya. Sehingga ia bisa menganalisis permasalahan dengan jernih dan mempersatukan masyarakat untuk bersama-sama berusaha mencari solusi dari masalah tersebut. Dengan demikian pemimpin visioner adalah tentang wawasan dan gagasan. Tanpa wawasan yang luas, mustahil akan tercipta gagasan yang berkualitas. Oleh karena itu, dengan menguji kualitas gagasan dari seorang pemimpin, kita dapat menilai sejauh mana wawasan yang ia miliki. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana cara melahirkan pemimpin yang visioner?
Latar belakang pendidikan
Bukankah pertanyaan di atas adalah klise? Jawabannya adalah pendidikan. Socrates menjelaskan bahwa pemimpin diwajibkan untuk menguasai berbagai cabang pengetahuan seperti logika, retorika, aritmatika, geometri, bahkan astronomi serta musik. Meski tidak ada cabang pengetahuan spesifik yang harus dikuasai oleh pemimpin di masa sekarang. Namun, jika dilihat dari latar belakang akademiknya, para gubernur Bali pasca reformasi dapat dikategorikan sebagai individu dengan wawasan yang luas karena mengenyam pendidikan hingga tingkat sarjana.
Begitupun dengan bupati/wali kota serta anggota DPRD provinsi ataupun kabupaten/kota. Hampir sebagian besar (untuk tidak mengatakan seluruhnya, karena saya tidak memili data yang pasti) kategori pemimpin-pemimpin yang disebutkan tadi memiliki gelar akademik setingkat sarjana. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pemimpin-pemimpin di Bali adalah sekelompok individu berwawasan luas. Terjadinya difisit karakter pemimpin yang visioner adalah sebuah anomali. Mengapa terjadi defisit karakter pemimpin yang visioner ketika para pemimpin sejatinya memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat membandingkannya dengan kondisi sosial-politik di Bali ketika zaman feodalisme. Dapat dipastikan bahwa seluruh raja-raja di Bali—entah dari dinasti Warmadewa atau dinasti Kepakisan pasca penaklukan Majapahit—mengenyam pendidikan tinggi yang didapat eksklusif dari manuskrip-manuskrip tradisional serta panduan dari purohita (penasehat raja sekaligus pemimpin upacara keagamaan) atau para cendekiawan kerajaan. Meskipun pendidikan yang didapat identik dengan filsafat keagamaan, namun sebenarnya materi-materi yang diajarkan juga mencakup tentang politik, sosial budaya, bahasa, matematika, bahkan astronomi. Dengan demikian, zaman feodalisme di Bali seharusnya melahirkan banyak pemimpin-pemimpin yang visioner?
Sayangnya mayoritas masyarakat Bali hanya mengenal raja Udayana dari dinasti Warmadewa serta Dalem Waturenggong dari dinasti Kepakisan, sebagai penguasa yang berhasil mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Ketika kondisi sosial-politik berlangsung harmonis, kebudayaan dan bidang keagaamaan mencapai puncaknya, serta seturut puja puji terhadap zaman keemasan di Bali. Apakah perbedaan signifikan yang terjadi pada era raja Udayana dan Dalem Waturenggong?
Jawabannya adalah adanya dua purohita kerajaan yang termashyur yakni Mpu Kuturan zaman raja Udayana (beserta dua anaknya yakni Marakatta dan Anak Wungsu) serta Dang Hyang Nirartha ketika Dalem Waturenggong bertahta. Resep kesuksesan suatu bangsa yang terjadi karena keselarasan antara penguasa dan penasehatnya juga dapat disimak dari raja Airlangga dan Mpu Narotama juga Mpu Bharadah dari kerajaan Kahuripan di Jawa Timur. Sejarah di India juga mengenal duet raja Chandragupta dan penasehatnya yakni Maharsi Canakya sebagai pendiri dari dinasti Maurya, yang nantinya berhasil mempersatukan dataran India untuk pertama kali. Selain itu, penguasa yang paling terkenal era Yunani Kuno yaitu Aleksander III (Alexander the Great) memiliki penasehat pilih tanding yakni Aristoteles, murid dari mahaguru Plato.
Pemimpin dan kaum intelektual
Pendidikan yang berkualitas adalah kunci untuk menanamkan wawasan kepada calon pemimpin. Akan tetapi, memiliki penasehat yang dapat memberikan pertimbangan adalah hal yang tak kalah esensial untuk menambah serta memperbaharui wawasan dari seorang pemimpin. Apalagi ketika zaman berubah sedemikian cepat seperti yang berlangsung saat ini.
Oleh karenanya, pemimpin yang visioner tak hanya terlahir dari latar belakang pendidikan yang baik, tetapi harus ditempa terus menerus oleh dinamika kehidupan bermasyarakat yang terjadi dari waktu ke waktu. Disinilah pentingnya suatu entitas dengan kapasitas intelektual yang sesuai dengan topik permasalahan yang hendak dipecahkan.
Arus modernitas seperti saat ini membuat entitas intelektual lebih bertumpu pada institusi, tidak spesifik kepada individu seperti era Mpu Kuturan dan Dang Hyang Nirartha. Sistem demokrasi juga membuat batasan waktu bagi pemimpin yang tak lebih dari dua periode atau sepuluh tahun berdasarkan peraturan yang berlaku. Tidak seperti zaman kerajaan ketika kekuasaan berlangsung absolut sepanjang hayat atau terhenti oleh konflik sosial-politik seperti pemberontakan, peperangan dan lain sebagainya.
Kembali pada tesis dari guru Sugi Lanus (https://tatkala.co/2024/04/23/belajar-dari-penertiban-joged-era-belanda) yang menganalogikan defisit karakter pemimpin yang visioner dan tegas sebagai seorang anak yang tak punya orang tua. Meski saya sangat sependapat bahwa Bali mengalami defisit kepemimpinan, akan tetapi bukankah orang tua selalu terdiri dari ayah dan Ibu? Para pemimpin administratif yang terpilih melalui sistem demokrasi bertindak sebagai ayah dan kepala keluarga. Tetapi tanpa seorang Ibu, yakni kaum intelektual yang seharusnya memberikan pertimbangan kepada sang ayah serta bersama-sama mencari cara terbaik untuk mengasuh dan membesarkan si buah hati.
Banyak penelitian psikologi menunjukan bahwa hilangnya kasih sayang dari seorang Ibu dalam keluarga membuat si buah hati mengalami risiko untuk mengalami eksploitasi mental dan fisik. Selain itu, rasa kepercayaan diri sang anak cenderung lebih rendah dan rasa kepedulian terhadap lingkungan sekitar juga menurun signifikan. Tanpa bermaksud untuk menyinggung kesetaraan gender, Ibu adalah agen pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak.
Analogi Bali sebagai anak yatim yang tidak memiliki Ibu juga dapat ditilik dari konsep guru wisesa dan guru pengajian. Masyarakat Bali mengenal guru wisesa, yakni pemerintah yang berfungsi untuk mengatur dan menjalankan roda pemerintahan. Adapun guru pengajian adalah guru secara harfiah, yakni tenaga pendidik seperti guru di institusi sekolah dasar atau menengah, guru yang terkait dengan profesi tertentu contohnya guru seni, guru tari, guru spiritual dan lainnya.
Pada era kerajaan, implementasi konsep guru wisesa dan guru pengajian menjadi sederhana. Raja dan aparatus kekuasaan di belakangnya adalah guru wisesa. Sedangkan para purohita, pujangga dan golongan cendikiawan dapat dikategorikan sebagai guru pengajian. Tetapi, jika ditinjau dari konteks sosial-budaya saat ini, jika guru wisesa adalah pemerintah provinsi Bali, maka apakah bentuk konkret dari guru pengajian pada lingkup administratif yang sama?
Dengan demikian, pekerjaan rumah selanjutnya adalah mewujudkan keselarasan raja dan penasehatnya yang bermetamorfosis ke dalam sistem demokrasi saat ini. Bagaimana membuat bidang pendidikan serta keberadaan institusi intelektual kembali dipertimbangkan dalam struktur sosial masyarakat Bali? Sehingga kita tak hanya mempersoalkan siapa pemimpin yang layak untuk dipilih, tetapi juga institusi apa yang nantinya mampu memberikan pertimbangan kepada pemimpin dalam merumuskan visi dan kebijakan yang akan diambilnya.
Sebelum menutup tulisan ini, saya hendak memberikan bocoran sedikit tentang kelanjutan dari diskusi dan pekerjaan rumah tentang perwujudan dari intelektualisme di Bali. Filsafat era Yunani Kuno akan sedikit banyak digantikan oleh buah pikir dari Antonio Gramsci tentang pembentukan kaum intelektual, relatif terhadap dinamika sosial-budaya seperti yang tercatat dalam buku Negara karya Clifford Geertz dan di masa sekarang.
Sebagai tambahan, diskusi intelektual pernah terjadi pada awal abad ke-20 sebelum akhirnya meredup pasca tragedi tahun 1965. Mungkinkah kita bisa membangkitkan kembali gairah intelektualisme tersebut? [T]