SURYASANGKALA merupakan seni merangkai angka dengan rupa atau simbol lainnya. Jika ditinjau secara etimologis Suryasangkala berasal dari tiga kata yakni surya, sang dan kala. Surya berarti ‘matahari’, sang merupakan partikel penunjuk untuk orang yang dihormati, dan kala berarti ‘waktu’. Dengan demikian Suryasangkala dapat didefinisikan menjadi penanggalan waktu menurut peredaran matahari.
Penulisan dari Suryasangkala memiliki keunikan, sebab dalam memberikan keterangan tahun, penulis menggunakan relief atau gambar tertentu yang memiliki nilai atau jumlah secara numerik. Pengetahuan tersebut bersumber pada lontar Candrabhumi yang membahas mengenai dasanama atau sinonim kata, dan kreta basa penafsiran arti dari suatu kata.
Lontar Candrabhumi secara rinci menjelaskan mengenai dasar pemilihan kata dengan jumlah numerik yang dimilikinya. Dalam lontar Candrabhumi kata-kata tersebut digolongkan berdasarkan analoginya dan diberikan istilah watek.
Watek dibagi menjadi beberapa bagian yakni, watek tunggal (golongan satu), watek dwa (golongan dua), watek telu (golongan tiga), watek pat (golongan empat), watek lima (golongan lima), watek nem (golongan enam), watek pitu (golongan tujuh), watek wolu (golongan delapan), watek sanga (golongan sembilan), watek dasa (golongan sepuluh), watek das (golongan nol) (Sukersa dalam Prabhajnana, 2018: 152).
Selain beberapa watek, juga didasarkan pada ketentuan guru. Guru dibagi menjadi delapan yakni, guru dasanama, guru sastra, guru, wanda, guru warga, guru karya, guru sarana, guru darwa, guru jarwa. Beberapa pedoman pokok yang telah disebutkan mesti dipertimbangkan kembali dengan serius, mengingat para penulis dari Suryasangkala kadang kala memiliki interpretasi yang berbeda pada gambar atau simbol-simbol tertentu.
Penggunaan dari Suryasangkala salah satunyadapat ditelusuri di Pura Dalem Dukuh yang terletak di Banjar Sila Dharma, Desa Adat Mengwitani, Kecamatan Mengwi, Badung, Bali.
Beberapa hari yang lalu saya nangkil untuk bersembahyang di Pura Dalem Dukuh. Kebetulan pada areal tengah atau madya mandala Pura terdapat pelinggih di posisi timur menghadap barat. Menurut pengempon Pura, pelinggih tersebut dibangun untuk menggantikan pohon beringin kembar yang dahulunya tumbuh di posisi tersebut.
Karena ketinggian pohon beringin itu sudah melewati batas bahkan melewati wilayah Pura, maka para pengempon Pura sepakat untuk mrelina atau memotong dan mencabut pohon beringin tersebut. Sebagai penggantinya pengempon pura harus membuat sepasang pelinggih sebagai stana dari penunggu yang terdapat di pohon beringin kembar tersebut. Suatu hal yang unik, secara tidak sengaja saya melihat relief berupa gambar bulan, gajah, naga dan bhuta pada tembok pelinggih itu.
Gambar itu dilengkapi pula dengan angka aksara Bali di sampingnya, maka terbesit di pikiran, ini pasti Suryasangkala. Penyusunan Suryasangkala didasarkan pada peredaran matahari yang terbit dari timur, karena timur dianggap awal atau dianalogikan sebagai kepala. Maka dari itu cara menyusun dan membacanya dari angka pertama. Setelah menyusun dengan sederhana angka-angka yang terdapat pada gambar tersebut maka diperoleh angka 1885 Caka.
Gambar sengaja saya tampilkan secara terpotong, karena letak dari masing-masing gambar tersebut cukup berjauhan. Sekarang mari kita coba interpretasikan gambar dan bagaimana gambar tersebut memiliki nilainya masing-masing.
- Gambar pertama merupakan bulan dengan Dewi Sasi berada di tengahnya. Bulan merupakan planet yang hanya ada satu di dunia, seperti matahari atau surya. Jadi gambar bulan memiliki jumlah satu (1).
- Gambar kedua merupakan gajah. Sesuai dengan penggolongan dari lontar Candrabhumi gajah termasuk pada golongan delapan atau watek wolu. Serta termasuk pada acuan guru sastra. Gajah dalam bahasa Jawa Kuno disebut hasti, kata hasti memiliki kedekatan dengan kata hasta yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti delapan. Jadi Gajah pada gambar kedua sesuai dengan aksara yang mendampinginya yakni delapan (8).
- Gambar ketiga merupakan naga. Naga memiliki nilai yang sama dengan gajah yakni delapan. Karena dalam lontar Candrabhumi, naga termasuk dalam golongan delapan memiliki nilai (8) watek wolu.
- Gambar keempat merupakan bhuta. Bhuta menurut lontar Candrabhumi memiliki nilai lima (5). Hal tersebut didasarkan pada lima unsur pembentuk dalam agama Hindu yang dikenal dengan Panca Maha Bhuta.
Setelah mendapatkan tahun 1885 Caka, mari kita tambahkan 78. Karena jarak antara tahun caka dengan tahun masehi adalah 78 tahun. Setelah dijumlahkan didapatkan angka 1963 yang merupakan tahun masehi dari pembangunan pelinggih tersebut. Lantas siapa orang yang memahat relief tersebut? Interpretasi sementara saya adalah beliau yang bernama pekak Lahi.
Dugaan tersebut didasarkan pada kunjungan pada tahun 2023 dengan tim Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Badung di rumah masyarakat yang leluhurnya adalah seorang penulis lontar. Rumah tersebut terdapat di lingkungan Banjar Wira Dharma, Desa Adat Mengwitani, Kecamatan Mengwi, Badung. Di rumah tersebut didapati pula beberapa lontar dengan penanggalan Suryasangkala. Gambar tersebut sangat mirip dengan relief yang terdapat di Pura Dalem Dukuh, Mengwitani.
Suryasangkala pada lontar milik keluarga Pekak Lahi | Foto: Weda Adi Wangsa
Gambar di atas merupakan Suryasangkala karya dari pekak Lahi. Suryasangkala tersebut menampilkan gambar bulan, gajah, naga dan api. Bulan masih bernilai satu seperti ulasan diatas, begitu pula dengan gajah dan naga bernilai delapan, serta api memiliki nilai lima. Api identik dengan Tri Agni atau tiga macam api yang terdiri dari, Ahawanyaghni yaitu api untuk memasak, Grhaspatyaghni adalah api sebagai saksi dalam upacara perkawinan, dan Citaghni yaitu api dalam diri yang identik dengan peleburan Panca Mahabhuta. Setelah mendapatkan nilai dari masing-masing gambar dapat disimpulkan tahun penulisan lontar tersebut adalah 1883 Caka.
Setelah dipastikan kepada pihak pura memang benar pekak Lahi merupakan seniman yang memahatkan relief tersebut pada tembok pelinggih Pura Dalem Dukuh. Karya Suryasangkala pekak Lahi juga ditemukan di wilayah Banjar Celuk, Desa Adat Kapal, Badung tepatnya di rumah warga yang terletak di utara Pura Purusadha. Gambar Suryasangkala yang sama juga ditemukan lebih awal sekitar tahun 2022.
Suryasangkala karya Pekak Lahi, lontar milik keluarga Pan Korni, Kapal | Foto: Weda Adi Wangsa
Gambar selanjutnya juga merupakan Suryasangkala karya dari pekak Lahi. Nampaknya pekak Lahi gemar menggunakan simbol bulan gajah dan naga, namun perbedaannya kali ini adalah terdapat kupu-kupu. Kupu-kupu dianalogikan adalah hewan yang memiliki sayap, sehingga nilai sayap berjumlah dua. Maka dari gambar diatas tahun penulisannya adalah 1882 Caka.
Jika dilacak dari beberapa temuan lontar dan relief di Pura Dalem Dukuh dapat diinterpretasikan bahwasannya Pekak Lahi seorang seniman yang gemar merangkai angka dengan rupa. Setiap detail lukisan beliau mengandung nilai yang tentu harus kita ketahui sebagai generasi. Sekian cerita dari Desa Tani, Mengwitani. Samapta ri āṣāḍa masa, kang ṡakaning basundari Sang Hyang Gana anyangga catur yuga ikang bhumi. [T]