BANJAR Padangtegal Kaja merupakan salah satu banjar yang terdapat dalam lingkup Desa Adat Padangtegal, Kelurahan Ubud. Pada tahun ini, Banjar Padangtegal Kaja mendapat giliran mengiringi ritual Napak Pertiwi prelingga rangda yang bergelar Ratu Sakti serangkaian upacara Pedudusan Alit di Pura Dalem Agung Padangtegal yang jatuh pada Rahinan Tilem tanggal 6 Juni 2024.
Ritual Napak Pertiwi kemudian digelar pada tanggal 7 Juni 2024 bertepatan dengan hari Kajeng Kliwon. Menunjang ritual Napak Pertiwi Ratu Sakti ini, Banjar Padangtegal Kaja menyiapkan sebuah sajian pertunjukan dengan cerita baru (lelampahan anyar) dengan mengangkat pertemuan Rarung dan Manggali sebagai murid utama Kabikuan Jirah dalam menyelami filosofi Dharani.
Lelampahan anyar ini kemudian diberi judul “Lubuk Gandamayu”. Lelampahan anyar “Lubuk Gandamayu” ini bersumber dari buku “Trilogi Jirah” karya almarhum Cokorda Sawitri atau yang popular dikenal dengan Cok Sawitri.
Adegan Manggali dan Emban | Dok: Komang Restu
“Lubuk Gandamayu” digunakan sebagai judul, memiliki arti tempat terdalam (lubuk) yang bernama Gandamayu. Gandamayu sendiri merupakan tempat bersemayamnya Betari Durga dengan gelar Hyang Nini Baerawi konsep Khayangan Tiga di Bali.
Dalam pandangan masyarakat awam, Gandamayu atau yang dikenal dengan Setra Gandamayu adalah tempat yang angker, seram, dihuni oleh para makhluk halus, rumah setan atau dedemit. Namun, dalam perasan pikiran Cok Sawitri dalam bukunya “Janda Jirah”, Gandamayu adalah taman indah, tempat suci bahkan lapangan luas yang paling ikhlas serta paling siap menerima aib setiap makhluk sekalipun sebagai ruang peleburan.
Judul “Lubuk Gandamayu” ini dipilih bertujuan mengedukasi masyarakat bahwasanya tempat yang angker itu adalah tempat terpilih untuk melakukan kegiatan yang bersifat spesial pula seperti pemasupatian segala bentuk arcanam pasti mohon restu di Gandamayu. Tempat yang angker bukan sewadag memahami sebagai tempat bersemayam makhluk halus, jin, setan ataupun dedemit.
Dalam cerita ini, Gandamayu menjadi tempat bagi Rarung dan Manggali belajar hakikat Durga Dewi yang terdalam melalui Dharani. Dalam teks Dharani disebutkan “Durga Dewi len ika sthananya ring padmambara” yang artinya Durga Dewi adalah realitas alam semesta yang agung sekaligus menyeramkan, tidak dapat dipisahkan secara parsial wadag, letak pemahamannya berada di seluruh penjuru semesta seperti padma, sehingga untuk mendapatkannya harus ikhlas menerima keagungan dan juga menyeramkan sekalipun sebagai anugerah.
Sarana untuk mencapai Dharani ialah melalui keheningan diri, pelepasan ikatan duniawi, pemahaman padma adalah mandala kehidupan serta welas asih yang teraplikasi dalam setiap laku dan tindakan.
Adegan Rarung | Dok: Komang Restu
Setaut dengan Dharani, prelingga rangda yang bergelar Ratu Sakti adalah personifikasi Durga Dewi dalam bentuk arcanam. Sehingga, dalam ritual Napak Pertiwi yang menghadirkan sesolahan Ratu Sakti sebagai simbol Durga Dewi, sudah barang tentu memberikan masyarakat pemahaman tentang inti makna Dharani dan “Lubuk Gandamayu” sebagai bentuk pertunjukan yang hadir sebagai tuntunan.
“Lubuk Gandamayu”, selain menjadi tontonan juga hadir sebagai tuntunan, mencoba menghindar dari pertunjukan sensasional mistis dengan mengumbar batas-batas tabu seperti trance yang bertendennsi pada adu kedigjayaan.
“Lubuk Gandamayu” hadir untuk mengajak masyarakat menyelami makna Dharani selayaknya Rarung dan Manggali yang begitu teguh memegang ajaran keseimbangan kebaikan dan keburukan dalam tata kelola manusiawi yang ideal.
Dalam persiapannya, Banjar Padangtegal Kaja memproduksi lelampahan anyar “Lubuk Gandamayu” ini melalui Sekehe Gong Semara Khanti berkolaborasi dengan Sekehe Teruna (ST) Taruna Suka Duka.
Selain itu, Banjar Padangtegal Kaja juga menggandeng seniman-seniman dari Komunitas Bhumi Bajra untuk menyertai produksi lelampahan “Lubuk Gandamayu”.
Seniman-seniman dari Komunitas Bhumi Bajra yang terlibat adalah Ida Ayu Wayan Arya Satyani sebagai Betari Durga Dewi Bagawati dan Ida Ayu Wayan Prihandari sebagai Rarung. Ni Kadek Santi Wiadnyani sebagai Ratna Manggali yang merupakan pregina (penari) potensial dari Banjar Padangtegal Kaja.
Ikut serta pula seniman tari kawakan, yaitu I Ketut Gede Agus Adi Saputra (Peceh) dan Arsa Wijaya (Luh Pucuk) sebagai pemeran punakawan yang sekaligus menjadi narator dari alur cerita yang disajikan.
Dipentaskan secara perdana pula sebuah ciptaan Tari Telek anyar yang diberi judul Ni Predana hasil karya I Kadek Janurangga sebagai penata karawitan dan Parama Kesawa sebagai penata tari. Turut sebagai pembina tari, Ida Bagus Mahijasena, Kadek Agung Arya Krisna Kusmawa, dan Ni Kadek Santi Wiadnyani.
Seluruh kegiatan di bawah tanggung jawab Prejuru Banjar Padangtegal Kaja yang dikomandoi oleh Prejuru Sekehe Gong Semara Khanti dan Prejuru Sekehe Teruna Taruna Suka Duka Banjar Padangtegal Kaja. Antawacana digarap secara dalam dan apik oleh Gusti Putu Sudarta dalang kawakan dari Desa Bedulu dan juga seorang akademisi di Institut Seni Indonesia Denpasar.
Sinopsis Cerita
Pementasan ini menceritakan Kabikuan Jirah oleh Empu Baradah dalam peristiwa adu tanding ideologi setelah pamelayu (berakhir). Ratna Manggali, putri terkasih Ibu Betari C’lawan Arang, ikut suami Empu Bahula ke Lemah Tulis.
Kepergian Ratna Manggali untuk pindah ke Lemah Tulis tempat pasraman Empu Baradah dan Empu Bahula diiringi oleh seluruh sisya Kabikuan Jirah, kecuali I Rarung. I Rarung sebagai murid utama Ibu Betari C’lawan Arang, ingin tetap tinggal di Kabikuan Jirah yang berada tepat ditepi Setra Gandamayu.
Kemudian, pada satu masa Manggali rindu dengan kakak seperguruanya I Rarung, yang membawanya ingin mengunjungi ke Kabikuan Jirah. Dalam perjalanan Manggali mengalami pergolakan batin, apakah Rarung akan bersedia ikut bersamanya ke Lemah Tulis?
I Rarung yang memang memiliki kemampuan telepati tinggi mengetahui bahwa Manggali akan segera datang menemuinya bahkan membujuk untuk ikut dengan Manggali.
Adegan Penginte Peceh & Pengemban | Dok: Komang Restu
Akhirnya, Rarung dan Manggali bertemu tepat di tengah Gandamayu yang merupakan tempat mereka bermain dan belajar dahulu semasa masih aktifnya Kabikuan Jirah. Dialog kerinduan pun terjadi antara kedua murid utama Kabikuan Jirah ini. Namun, pada saat Manggali mengajak Rarung ke Lemah Tulis konflik terjadi.
Rarung teguh ingin tetap tinggal di Kabikuan Jirah sebagai tanda setia dengan ibu betari C’lawan Arang. Selain itu, Rarung sangat ingin tinggal di tempak Lubuk Gandamayu yang baginya bagai taman bunga yang indah.
Manggali mencoba membujuk lagi, namun Rarung masih berkeras hati bahkan Rarung murka. Atas kemurkaannya, Rarung mengeluarkan ajiannya berupa Macan. Melihat Rarung mengeluarkan ajiannya berupa Macan, Manggali yang juga menjadi murka mengeluarkan ajiannya berupa Babi.
Konflik antara ajian macan dan ajian babi ini menyebabkan Gandamayu menjadi kalut sehingga emban Betari Bagawati sang penguasa Gandamayu turun untuk melerai bernama Kinara-Kinari.
Kinara-Kinari sebagai emban Betari Bagawati juga tidak dapat melerai konflik Rarung dengan Manggali. Maka turunlah Betari Bagawati untuk memberikan mereka wejangan yang disebut Dharani. Akibat dasyatnya Dharani bahkan melahirkan mudra lelangon dalam wujud topeng telek. Topeng telek ini merupakan pengejawantahan dari Dharani.
Namun hati Rarung belum redam dari amarah, sehingga menyebabkan Betari Bagawati bertriwikrama berwujud Durga Dewi. Wujud Durga Dewi inilah yang kemudian dapat meredam amarah Rarung. Bahkan atas Wejangan Durga Dewi tentang kesemestaan yang bersemayan pada angga sariranya, Rarung dan Manggali dititahkan untuk tetap menjalankan ajaran keseimbangan.
Pentas di Bawah Guyuran Hujan
Hari itu, tepat di tanggal 7 Juni 2024, yang juga bertepatan dengan rahinan Kajeng Kliwon, disertai guyuran hujan tipis dari pagi hari. Guyuran hujan yang hampir mengguyur seluruh Pulau Bali secara konsisten dari subuh tidak menyurutkan semangat ST. Taruna Suka Duka Banjar Padangtegal Kaja untuk menyiapkan pertunjukan lelampahan anyar Lubuk Gandamayu.
Hujan yang turun dari pagi hingga petang tanpa henti ini mengingatkan penulis pada bagian satu buku “Si Rarung” karya Cok Sawitri. Khususnya pada halaman 28, Cok Sawitri menulis: “Si Rarung melesatkan dirinya ke angkasa. Robeklah langit oleh hempasan napasnya. Hujan deras tiba-tiba, tanpa mendung sebagai pertanda. Begitu tiba-tiba gigil dingin menyelimuti seluruh isi Setra Gandamayu”.
Ini terjadi setelah pertemuan Rarung dengan Manggali di Gandamayu. Dan, babak inilah yang digunakan sebagai tema lelampahan anyar “Lubuk Gandamayu”. Atas peristiwa ini penulis meyakini bahwa apa yang ditulis oleh Cok Sawitri seolah-olah nyata, hanya saja dengan cara narasi yang halus dalam guratan buku.
Maka saat hujan turun tanpa henti, penulis yang saat itu mendampingi ST. Taruna Suka Duka Banjar Padangtegal Kaja merasa semua akan berjalan baik-baik saja. Tentu atas restu Ida Betari Bagawati yang berstana di Pura Dalem Agung Padangtegal.
Tepat pukul 19.00 Wita seluruh penabuh dari Sekehe Gong Semara Khanti berkolaborasi dengan ST. Taruna Suka Duka Banjar Padangtegal Kaja, para penari tokoh utama dan penari Nini Arum telah siap memulai pertunjukan, namun gerimis hujan terasa enggan untuk berhenti.
Kemudian pukul 20.00 Wita rintik-rintik hujan mulai berhenti sesuai dengan ramalan cuaca dari BMKG per hari itu tanggal 7 Juni 2024 yang secara berkala dipantau oleh ketua Yowana Desa Adat Padangtegal. Maka tepat pukul 20.00 Wita pertunjukan Napak Pertiwi dengan judul Lubuk Gandamayu dimulai.
Diawali dengan tabuh petegak dari barungan gamelan Semara Dhana berjudul Lepeng. Gending petegak Lepeng diciptakan oleh Kadek Janurangga seorang komposer muda dari Banjar Padangtegal Kaja. Gending petegak Lepeng mengolah saih dalam pelarasan tujuh nada gamelan Semara Dhana. Berpijak pada gending-gending Semara Pegulingan saih pitu seperti Langsing Tuban dan Sumambang Jawa.
Adegan Betari Nini Bagawati | Dok: Komang Restu
Setelah sajian tabuh petegak Lepeng dilanjutkan dengan tarian Nini Arum. Nini Arum adalah sebuah tarian persembahan sejenis pependetan yang ditarikan oleh sekitar 25 orang pemudi ST. Taruna Suka Duka Banjar Padangtegal Kaja. Nini Arum ini merupakan sisya dari kabikuan Jirah yang mengikuti Manggali hijrah ke Lemah Tulis mengikuti sang Suami Empu Bahula anak dari Empu Baradah.
Setelah sajian Nini Arum dilanjutkan dengan babak satu lelampahan anyar “Lubuk Gandamayu” yaitu menceritakan tokoh Manggali diiringi oleh pengiring yang disebut pengemban. Seakan mengetahui suasana cerita babak satu yang mengisahkan kerinduan, kegaluan dan kesedihan Manggali yang sudah beberapa lama berpisah dengan kakak seperguruan terkasih I Rarung memilih tetap tinggal di Kabikuan Jirah.
Rintik-rintik hujan yang tipis namun intens kembali mengguyur. Rintik tipis hujan tidak menjadi halangan bahkan memperkuat kesan kesedihan Manggali untuk kemudian membulatkan tekad mengunjungi Rarung di Kabikuan Jirah.
Babak dua adalah bagian menceritakan Rarung dan pengiringnya yang bernama Penginte Peceh berada di Kabikuan Jirah. Rarung juga sedang memikirkan keadaan seluruh murid Kabikuan Jirah yang telah hijrah ke Lemah Tulis.
Mengingat Rarung adalah orang yang linuwih, dia tahu Manggali akan datang mengunjunginya dan bersiap-siap menerima kedatangan adik terkasih di Gandamayu. Mengapa di Gandamayu? Bagi para murid Kabikuan Jirah, Gandamayu adalah taman bermain dan belajar mereka.
Kabikuan Jirah menurut Novel Trilogi Jirah karya Cok Sawitri berdampingan letaknya dengan Gandamayu. Selain itu, mengingat seluruh murid Kabikuan Jirah adalah orang yang taat akan “pepitehan Durga”.
Durga dalam personifikasi apapun adalah alam semesta itu sendiri, sosok welas asih tanpa tepi. Maka jelas Gandamayu menjadi taman bermain dan belajar seluruh murid Kabikuan Jirah yang memposisikan alam semesta sebagai ruang cinta kasih mereka. Rintik hujan juga mulai membayangi.
Benar saja, pada babak selanjutnya, Manggali tiba di tepian Gandamayu dengan ditandu oleh para pengikutnya. Mengapa Manggali dalam perjalanannya menuju Gandamayu harus ditandu? Karena Manggali adalah simbol kelahiran Siwa Budha. Ia adalah pribadi yang selalu ingin tahu tentang tidur dan kamoksan.
Manggali adalah Putri Gandamayu yang sejak kanak dikenalkan kalacakra dan aksara-aksara rahasia. Oleh karenanya, seluruh inti aksara telah merasuk sampai ke sumsum dan darahnya. Manggali adalah aksara itu sendiri.
Telek Ni Pradana | Dok: Komang Restu
Siwa Budha adalah pemahaman atas aksara itu sendiri. Tidur dan kamoksan adalah persoalan penemuan aksara-aksara dalam tubuh murni. Aksara adalah energi alami yang menggerakkan tubuh yang Bhuana Alit.
Jadi, Manggali adalah aksara itu. Maka boleh saja wadag Manggali yang terlihat ditandu, namun sejatinya yang ditandu adalah aksara. Sudah menjadi kodrat manusia menandu aksara sebagai pujaan utama. Jika Manggali aksara maka dia teks itu sendiri. Kemudian Rarung adalah si pembaca teks tersebut.
Rarung yang telah mengetahui kedatangan adiknya bersiap untuk menjadi tempayan tempat tumpah ruahnya unek-unek Manggali yang tersimpan dalam sesak dadanya selama berpuluh-puluh bulan mati. Dialog saling memuji dan mengagumi terlontar sangat dalam, getir, pilu namun penuh dengan kasih.
Akhirnya, konflik pun membuncah ketika Manggali menawarkan Rarung untuk ikut hijrah ke Lemah Tulis. Rarung tegas menolak! Ia ingin tetap menjaga marwah Guru Ibu untuk menjaga Kabikuan Jirah dan merawat seisi Gandamayu.
Atas pertentangan ini terjadilah perang batin yang disimbolkan bathin Rarung dalam wujud barong Macan dan bathin Manggali diejawantahkan dalam wujud barong bangkal.
Mengapa batin Rarung diwujudkan dengan barong macan? Atau mengapa bathin Manggali diejawantahkan dengan barong bangkal? Rarung dengan kecerdasannya selalu melompat-lompati realitas sehingga sangat cocok dengan gerak macan/harimau yang selalu melompat.
Manggali dengan kecerdasannya “menggali” ke dalam akar pengetahun sesuai dengan gerak bangkal yang selalu mencari penghidupan dengan cara menggali tanah pertiwi. Ini adalah bahasa simbolik, untuk tidak mengumbar konflik ini pada teknis “siat” wadag dengan mempertunjukan gerakan perkelahian atau pertunjukkan kedigjayan vulgar dengan eksekusi tantangan atau caci makian.
Konflik Rarung dan Manggali adalah konflik halus melibatkan ideologi, nalar, kecerdasan, intelegensi khas dari orang tak sembarang atau disebut linuwih. Hal ini sejalan dengan peristiwa kehidupan manusia riil, orang cerdas tidak akan pernah berkonflik dengan cara premanisme namun selalu menggunakan akal pikiran untuk berkompetisi.
Atas konflik bathin Rarung dan Manggali menyebabkan Betari Nini Bagawati sebagai penguasa Gandamayu turun untuk memberikan wejangan atas konflik tersebut. Betari Nini Bagawati dengan diringi oleh para Kinara-Kinari hadir untuk memberikan wejangan Dharani kepada Rarung dan Manggali.
Setelah memberikan wejangan esensi Dharani, Betari Bagawati memperlihatkan “kemahaan” beliau dengan yang pertama beliau hadir dalam wujud cantik nan pekik direpresentasikan dengan tarian Telek bernama Ni Predana.
Selepas menunjukkan wujud cantiknya, Betari juga menunjukkan prebawa beliau dalam wujud Durga Dewi bertaring panjang bergelar Ki Wesi Melila dan Ki Wesi Wresani. Bermata bagaikan Matahari Kembar. Badawang Nala sebagai pijakan dan diapit oleh Naga Tatsaka dan Naga Basuki.
Bahu kanan-kiri beliau adalah Bhuta Siu dan Bhuta Gumulung. Menjadi cantik dan angker adalah realitas beliau. Beliau akan menjadi apa saja sesuai dengan keingginnnya dan gejala semesta.
Cantik-seram, baik-buruk, adalah realitas pembeda. Pembeda yang akan terus berbeda namun saling melihat dan mengingatkan. Hal inilah yang disebut dengan keseimbangan. Rarung dan Manggali melalui Dharani diingatkan untuk konsisten dalam meneguhkan keyakinan yang dianut, tanpa harus saling memaksa pembenaran antara satu dengan yang lainnya.
Hujan deras seketika mengguyur seakan memberikan penegasan alam turut hadir dalam pemaknaan pemanggungan ini, selain itu semacam memberi tanda betapa berat beban Rarung dan Manggali atas pencerahan Dharani yang akan diemban melewati zaman demi zaman.
Setelah adegan ini malam beranjak semakin larut, tepat pukul 00.00 sebagai ending dari pertunjukan lelampahan anyar “Lubuk Gandamayu”, prelingga arcanam pengabih Ida Betari Dalem dalam wujud rangda putih yang bergelar Ratu Sakti tedun sebagai Betari Bagawati-Durga Dewi.
Selain mesolah untuk kepentingan pertunjukan, beliau juga tedun untuk dipersembahkan bhakti pesamleh bersarana kurban babi yang belum dikebiri di tengah setra Desa Adat Padangtegal dipuput oleh Ida Pedanda Gede Jungutan Manuaba.
Ritual pesamlehan dengan sarana kurban babi yang belum dikebiri disebut dengan Pasu Yadnya. Pasu Yadnya yaitu kurban suci yang biasanya dilakukan dalam bingkai upakara caru atau pekelem yang berfungsi untuk menetralisir dan mentransformasi energi bhuta menjadi energi kedewataan.
Ritual ini digelar bertujuan untuk menetralisir energi bhuta dari alam semesta umumnya dan Desa Adat Padangtegal khususnya sehingga masyarakat dapat hidup dan menghidupi dengan nyaman, aman dan tentram.
Akhirnya, selepas ritual pesamleh ditengah setra Desa Adat Padangtegal maka Ratu Sakti kembali (mewali) ke prahyangan Pura Dalem diiringi oleh krama desa. Pertunjukan lelampahan anyar “Lubuk Gandamayu” juga usai, namun pemaknaan Dharani tidaklah pernah usai.
Dharani harus diselami dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Dharani adalah anugerah dari Ida Betari Dalem (Siwa-Durga-Uma-Parwati). Sudah sepatutnya Dharani tidak hanya berhenti pada teksnya saja namun melalui pertunjukan lelampahan anyar “Lubuk Gandamayu” mulai dimaknai serta diinternalisasi dalam diri jika belum mampu dilakukan.
Pukul 01.00 Wita hingga menjelang subuh hujan deras kembali mengguyur. Seolah menjadi penyejuk setelah ritual Napak Pertiwi, ataukah menjadi kedingingan atas belum mampunya manusia menemui esensi padmambara?[T]
Tulisan Pendek ini dihaturkan kepada Betara Narotama, Dhyana Jenggala, 2024