DI atas panggung Sasana Budaya, Singaraja, di hadapan penonton yang duduk bergerombol di tribune, lima perempuan muda duduk menghadap gamelan selonding yang ditata berhadap-hadapan, tiga di sisi kanan dan dua di sisi kiri. Salah satu di antara perempuan tersebut adalah Ni Putu Pranamya Swari—atau yang akrab dipanggil Mya.
Malam itu, tak hanya sebagai penabuh atau pemain saja, Mya juga sekaligus berperan sebagai komposer karya yang dipentaskan. Karya musik tersebut bertajuk “Ng”, salah satu repertoar yang dipertunjukkan dan dibicarakan dalam Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram, Sabtu (1/6/2024) malam.
Dalam produksi karya tersebut, Pranamya Swari melibatkan Ayu Santi Novita, Dea Krisna Putri, Acharya Savitri, dan Dayu Laksmi sebagai penabuh; dan Sanggar Bumi Bajra—sebuah platform kreatif untuk eksplorasi dan kolaborasi vokal, teater, tari, dan perkusi—sebagai kolaborator. Mya mengaku mendapat inspirasi dari senior-seniornya di Bumi Bajra.
“Ng” mulai dimainkan. Suara selonding yang dipukul dengan lembut dan hati-hati, mencipta suasana tenang dan sublim di tengah suara bising Jalan Veteran, Paket Agung, Singaraja. Mendengar suara alat musik tradisional Bali itu, Sasana Budaya seolah menjelma tempat meditasi yang menyegarkan pikiran dari hiruk-pikuk aktivitas dan beban pekerjaan sehari-hari.
Selonding yang dimainkan Mya dan kawan-kawannya—vibrasi bunyinya—malam itu seolah mampu mengantarkan pendengar sampai pada dimensi murni yang hening, khusuk, sehingga mampu menstimulasi ketenangan dan kesejukan yang dapat menjernihkan pikiran. Musik (sound) memang sudah sejak lama dijadikan media alternatif penyembuhan atau sekadar merefesh diri dari kepenatan.
Repertoar “Ng” gubahan Mya berangkat dari fenomena orang Bali yang sering menggunakan intonasi nasal—bersangkutan dengan bunyi bahasa yang dihasilkan dengan mengeluarkan udara melalui hidung—“ng” dalam beragam aktifitas, baik dalam suasana religius (bergumam mengartikulasikan mantra-mantra) mapun yang berkaitan dengan estetika (tradisi lisan, bermusik).
Ni Putu Pranamya Swari | Foto: Rusdy
Selain itu, penggunaan nasal “ng” juga tampak pada proses menuangkan gending-gending—para pengrawit tradisi mengartikulasikan “ng” dalam berproses kreatif mereka. Dari fenomena tersebut, Mya menyajikan komposisi “ng” dalam barungan gambelan selonding.
Pada komposisi tersebut, “ng” diartikulasikan pada bilah-bilah selonding yang merepresentasikan olah pernapasan yang dikeluarkan oleh suara nasal dan mencoba untuk bermain secara random—dalam hal ini memainkan instrumen dengan ukuran pernapasan (nasal) dari masing-masing pemainnya.
Hal tersebut dilakukan dengan maksud membentuk artikulasi getaran nada dengan olah pernapasan menjadi ukuran ritme dalam bermusik. Bertemunya getaran nada yang tidak beraturan tersebut akan menghasilkan modulasi suara atau bunyi yang dibiarkan berbunyi apa adanya.
Sifat bilah-bilah nada yang lateral dipicu oleh eksplosif seperti pengucapan “ed” yang bisa diartikulasikan ke dalam bentuk hentakan dan menghasilkan gelombang/dentuman. Tentu, peranan suara nasal “ng” akan tetap harmoni dengan getaran besinya.
Namun, meskipun tidak sepenuhnya dimainkan secara random—tapi kembali pada esensi, “Ng” bermaksud ingin menuju ritme yang tak sama tapi menghasilkan sebuah komposisi musik dengan olahan “ng” pada keseluruhan nada selonding.
Repertoar debutan ini menggunakan formula/sistem kerja “ng” pada getaran nada selonding dengan metode eksplorasi, sehingga menghasilkan modulasi suara yang artikulatif. “Menurut saya ini adalah karya terbaik yang saya ciptakan,” ujar Mya kepada tatkala.co, Rabu (12/6/2024) siang.
Ni Putu Pranamya Swari, yang dilahirkan di Denpasar pada 1998, merupakan pelaku seni pertunjukan yang khusus mendalami seni karawitan Bali—walaupun dalam bidang ini ia tidak pernah belajar secara formal. Mya lulus dari jurusan Bisnis dan Manajemen di Politeknik Negeri Bali.
“Saya tumbuh dan besar di keluarga dokter dan dosen,” kata Mya. Lantas, bagaimana Mya menjadi seorang komposer? “Bapak yang memaksa saya untuk belajar kesenian tradisi,” jawabnya. Mya belajar berkesenian di Sanggar Maha Bajra Sandhi asuhan Ida Wayan Oka Granoka Gong—atau yang akrab dipanggil Tu Aji Granoka Gong, sebagaimana Mya menyebutnya.
Di Sanggar Bajra Sandhi itulah, Mya belajar menumbuhkan dan membangun semangat berkesenian. Dan selain itu, dalam proses berkesenian Mya, nama Wayan Kayumas tentu tak boleh dilupakan. “Ia yang menggenjot saya dalam kesenian gender wayang,” tutur Mya seolah sekaligus mengucapkan rasa terima kasih kepada nama yang ia sebut. Selain belajar seni musik tradisi, Mya juga mempelajari sedikit tentang tari dan seni pertunjukan.
Ni Putu Pranamya Swari bersama para penabuhnya | Foto: Rusdy
Meskipun tidak belajar kesenian di sekolah atau institusi formal, bagi Mya, kesenian—khususnya karawitan—merupakan “nyawa”. Menurutnya, saat ini, kesenian dijadikan sebagai media healing di tengah-tengah kesibukannya sebagai pebisnis.
Sebagai seorang yang tumbuh di lingkungan akademisi dan dokter, pikiran Mya tampaknya tak jauh-jauh dari frasa penyembuhan (healing), ketenangan jiwa, dan keseimbangan. Dan itulah tampaknya yang hendak ia sampaikan dalam repertoar “Ng”, yakni harmonisasi yang timbul di dalam ketenangan dan konsentrasi.
Saat ditanya mengenai apa yang ia perjuangan dan apa yang hendak dicapai dalam berkeseniannya, Mya menjawab dengan praktis, “Sebagai media healing dan mengasah teamwork.” Meski begitu, perempuan muda yang saat ini dipercaya menjadi Manajer Naluri Manca itu, pernah vakum selama bertahun-tahun dalam kesenian karawitan karena mengenyam pendidikan di Politeknik Negeri Bali.
Namun, setelah kevakuman tersebut, Mya mencoba berkarya kembali dalam Festival Taksapala. Jiwa karawitan yang sudah mengalir dalam darahnya itu mulai bangkit kembali. Hingga setelah itu, Mya kembali berkarya bersama Bumi Bajra dan juga Naluri Manca.
“Yang membuat saya menjadi seperti sekarang adalah keinginan saya untuk tetap mencintai kesenian tradisi. Dan setiap saya melakukan kegiatan tradisi ini, saya merasa heal—sembuh,” kata Mya.
Sebagai seniman perempuan, Mya mengaku pernah merasa diremehkan dan dianggap tidak bisa menabuh dengan durasi yang lama. Ia juga pernah merasa “diasingkan”. Tapi setelah ia berhasil membuktikan kepada orang-orang bahwa perempuan juga bisa berkarya, di tengah perkembangan penabuh perempuan saat ini yang sudah berkembang pesat, Mya merasa sudah ada kesetaraan gender dalam kesenian Bali.
Menurut Mya, tantangan dan kesulitannya sebagai seniman perempuan adalah eksplorasi yang terbatas. Baginya banyak ranah yang masih dianggap tabu, yang kadang kala sulit untuk ditembus seorang perempuan—ia tidak menyebutkan contohnya.
“Proses kreatif yang cukup struggle walaupun challenging,” ujarnya. Sejak dilahirkan, perempuan seolah sudah berada dalam bingkai, dalam klasifikasi-klasifikasi dengan konteks tertentu. Ada begitu banyak bentuk penyeragaman kepada perempuan, termasuk standar kecantikan. Menurut Mya tidak adil ketika para perempuan itu harus diseragamkan, harus begini, harus begitu, secara moral diatur harus begini-begitu.
Ni Putu Pranamya Swari (paling kiri) saat diskusi karya | Foto: Rusdy
Sampai di sini, layaknya Melati Suryodarmo, Mya juga ingin mendorong seniman perempuan muda untuk lebih kuat dalam pemikiran dan juga kritis terhadap medium mereka. Dalam hal tersebut maka perlu pembentukan perspektif, juga menyusun strategi artistiknya seperti apa. Seniman perempuan harus paham yang seperti itu, karena situasi sekarang semakin kompleks.
“Saya sangat setuju dengan ide kesetaraan. Semua insan, baik laki-laki maupun perempuan, juga memiliki hasrat yang sama dalam melakukan apa pun termasuk kesenian,” kata Mya tegas. Dalam waktu dekat ini, Mya berharap dapat kolaborasi dengan seniman seni pertunjukan dan membuat karya seni tari dan tabuh kontemporer. Itu keinginan yang bagus.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole