LEBIH kurang 9 kilometer ke timur dari titik nol kota Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, berdiri sebuah sekolah menengah pertama di Kecamatan Mendoyo. Ya, SMP Negeri 4 Mendoyo.
Sekolah ini menaungi sebuah Sanggar Seni yang diberi nama Kumara Widya Suara. Sanggar inilah yang mewakili Jembrana dalam ajang Pesta Kesenian Bali ke-46 kategori Gong Kebyar Wanita (yang selanjutnya lebih sering ditulis GKW).
GKW Jembrana 2024 berbeda dengan GKW Jembrana pada tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya tahun ini GKW Jembrana tampil dengan punggawa-punggawa mudanya.
Ini kali pertama Jembrana mampu mengikuti tren GKW Kabupaten lain di Bali yang 5 tahun belakangan ini membawa squad muda-muda. Paling tidak Jembrana mampu mengimbangi dari segi usia dan teknik tentunya. Ini adalah masa depan yang cerah untuk ekosistem berkesenian di Jembrana.
Dokumentasi saat pembinaan Provinsi untuk Gong Kebyar Wanita Jembrana, 21 Mei 2024 di Pendopo Kesari Negara | Foto Dokumentasi I Gusti Kade Ari Satria Putra
Sanggar ini pada tanggal 20 Juni 2024 akan tampil di panggung Arda Chandra, Art Center Denpasar, berhadapan dengan Sanggar Seni Sakura Dewata sebagai duta Kabaten Bangli dan Sekaa Gong Gema Katonjaya sebagai duta Kota Denpasar. Kumara Widya Suara tampil dengan punggawa muda yang rata-rata masih duduk di bangku SMP. Hanya ada dua personil yang sudah menikah (ibuk-ibuk), yakni yang menempati posisi reong petit dan juru kendang lanang.
Tentu ini adalah sebuah energi potensial yang harus dilirik, diperhatikan, dipelihara dan harus dikembangkan oleh berbagai pihak, terpenting lagi pemerintah Kabupaten Jembrana melalui Dinas Kebudayaannya. Ya, begitu seharusnya!
Daannnn,,,, “Aaaaaaaaaaaaaaak!” jeritan Ucik (2,5 tahun), anakku memecah kusukku menulis malam ini. Jeritan itu memotong tiga paragraf seriusku barusan yang aku susun sebagai intro.
Aku bergegas beranjak dari ruang tamu menuju kamar tiga kali tiga meter itu. Ternyata dia sedang serius bermain puzzle dan ada anak puzzle–nyayang tak bisa dia pasang karena sudah rusak. Sudah rusak lo ya, hehe. Ah, dasar anak yang emosional sekali. Aku kira dia kenapa. Dan aku kembali ke ruang tamu untuk melanjutkan tulisan ini.
Oke kita lanjutkan pembahasan intinya.
Sepercik harapan berkembangnya ekosistem seni di Bumi Mekepung ini seperti tidak dijadikan inspirasi oleh pemangku kebijakan untuk membuat kebijakan.
Astagaa,,, sayang beribu sayang, para birokrat itu justru mencantumkan peraturan yang memblokade berkembangnya Srikandi Muda Jembrana dalam Lomba Gong Kebyar Wanita antar Kecamatan se-Jembrana. Yang mana tiga pemenangnya nanti (juara I, II dan III) akan mewakili Jembrana tiga tahun mendatang dalam ajang Pesta Kesenian Bali kategori Gong Kebyar Wanita.
Pada point pertama Surat Edaran kriteria lomba Gong Kebyar Wanita se-Kabupaten Jembrana 2024 itu berbunyi:
Setiap Kecamatan diwakili oleh I (satu) Sekaa Gong Wanita (boleh sekaa sebunan/ gabungan desa/ kelurahan di Kecamatan masing-masing) dengan umur minimal 17 tahun dan maximal 50 Tahun.
Hmmm,,, gumamku ketika pertama membaca kriteria ini. Kepalaku bak tersiram debu dengan segerombolan kumannya yang menyebabkan kepalaku gatal sekali. Tak kuasa untuk garuk-garuk kepala saking gatalnya.
Ya. Adanya rentang usia 17 hingga 50 tahun itu membuatku bertanya-tanya kepada diriku sendiri sembari terpaku melihat Surat Edaran Kriteria tersebut yang dikirim temankku via WhatsApp.
“Kira-kira sebelum membuat peraturan ini, apa mereka sudah pada sarapan gak ya? Hahahaaa!” pikirku.
Kata orang kalau logistik belum terisi, biasanya logika tidak jalan alias bisa kacau. Oke tidak apa-apa. Mungkin logistikku justru yang belum terisi ketika membaca Surat Edaran ini. Tapi aku akan mencoba menjelaskan logikaku yang belum terisi logistik malam ini.
Aku mencoba memulainya dengan mentelaah nomenklatur Gong Kebyar Wanita. Mencoba mencari perbedaan diksi wanita dan perempuan di mesin pencarian, sembari otakku bertanya-tanya kenapa menggunakan kata “Wanita”, kenapa tidak “Perempuan”, dan sejak kapan nomenklatur (Gong Kebyar Wanita) ini muncul dan lain sebaginya.
Maka jika itu aku jelaskan di sini, tulisannya akan panjang dan aku akan bingung sendiri. Hahahaaa.
Seandainya, jika memang faktor usia yang dijadikan dasar sebagai salah satu indikator untuk menggolongkan “wanita” (anggap saja logika peraturan point satu itu benar, rentang usia 17-50 tahun disebut wanita), sebaiknya Dinas Kebudayaan Kabupaten Jembrana melalui Bidang Kesenian-nya perlu mengkaji ulang kebijakan ini dengan bijaksana.
Karena momen tampilnya punggawa-punggawa muda Gong Kebyar Wanita Jembrana 2024 kali ini harusnya dijadikan tolak ukur untuk membuat kriteria Lomba Gong Kebyar Wanita serangkaian HUT Kota Negara ke-129 ini.
Dokumentasi saat pembinaan Provinsi untuk Gong Kebyar Wanita Jembrana, 21 Mei 2024 di Pendopo Kesari Negara | Foto Dokumentasi I Gusti Kade Ari Satria Putra
Dan logikaku (tanpa logistik) ini seakan berorasi lagi, “Wahai pemangku kebijakan, kenapa anda-anda ini tidak berpikir bahwa ternyata ada srikandi-srikandi muda Jembrana di bidang Seni Karawitan yang harus diberikan wadah untuk berkembang? Kenapa Anda tidak berpikir untuk menggali lagi sedalam dan seluas luasnya mencari mutiara-mutiara muda yang segar demi keberlangsungan kehidupan seni peninggalan tetua kita? Ah? Kenapaaaaa?”
Ini orasi logikaku, tentu saja tanpa logistik. Tentu saja logikaku ini kemungkinan salahnya besar. Tapi mari renung-renungkan kembali.
Jika kita berkaca pada statistik demografi di Jembrana, memberi rentang usia 17-50 tahun merupakan peraturan tanpa visi membangun Jembrana di bidang kesenian.
Pasalnya remaja-remaja di Jembrana, setelah mereka tamat SMA sebagian besar akan “kabur” ke Denpasar atau ke Singaraja, atau keluar Bali, untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi dan ada yang berkerja pula. Jadi cenderung susah mendapatkan partisipasi penabuh wanita di bawah usia 25 tahun. Bahkan mendapatkan partisipasi penabuh wanita di bawah usia 30 tahun pun susahnya seperempat mati.
Rata-rata wanita usia 25-30 tahun sudah menikah dan masih sangat sibuk mengurus anak dan membangun rumah tangganya. Tidak ada waktu untuk mengikuti proses latihan megambel di balai banjar.
Maka pencantuman rentang usia 17-50 tahun ini paling banter akan menyaring mereka yang usianya di atas 30 tahun bahkan di atas 40 tahun. Calon “nenek-nenek” dan nenek-nenek itulah yang bakal latihan megambel setiap malam di balai banjar. Barangkali latihan itu bisa menjadi pelepas penat di tengah gempuran mencari cuan untuk keberlangsungan hidup.
Apakah seperti itu visi mereka untuk keberlangsungan ekosistem seni di Jembrana?
Astaga, jika seperti itu jalan pemikiran mereka, maka saya pikir itu visi dengan logika yang kacau.
Jika acuan yang digunakan adalah kriteria Parade Gong Kebyar Wanita yang dikeluarkan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali untuk Pesta Kesenian Bali ke-46, maka benar dalam kriteria tersebut mencantumkan rentan usia 15 sampai 45 tahun.
Rentang usia ini sedikit lebih logis (ketimbang 17-50 tahun) diterapkan jika para birokrat yang mengurus seni di Kabupaten Jembrana ingin menjunjung sinergi antara Pemprov dan Pemkab. Karena usia 15 tahun itu adalah rata-rata mereka yang masih duduk dibangku SMP kelas tiga. Jadi, dengan rentang usia seperti itu, kemungkinannya akan lebih besar untuk bisa mendapatkan partisipasi penabuh wanita yang masih duduk di bangku SMP dan SMA.
Namun tetap saja rentang usia tersebut masih kurang efektif diterapkan di Jembrana. Lagian, bukankah kadang-kadang aturan-aturan Gong Kebyar di PKB itu kerap kali tidak dihiraukan? Kriteria hanya sebatas tinta di atas kertas yang selesai di tataran literasi. “Ah, masih parade, sing lomba” Ah, toh ini parade, bukan lomba, begitu kadang alasan yang terdengar.
Dan rasanya tidak berlebihan saya menaruh kecurigaan bahwa para birokrat yang mengurus seni di Jembrana itu tidak mengerti apa yang sebenarnya mereka lakukan. Mungkin hanya meng copy-paste kriteria dari tahun ke tahun, membuat kriteria asal-asalan tanpa visi misi yang jelas dan tidak melibatkan para pelaku seni/pengabdi seni di Jembrana untuk diminta aspirasinya.
Menurut logika saya, jika ingin mencantumkan kriteria usia dalam Lomba Gong Kebyar Wanita se-Kabupaten Jembrana, justru akan lebih mempunyai visi jika membatasi usia seperti tim sepakbola. Misalnya usia maksimal 17 tahun atau 18 tahun atau usia di bawah 18 tahun. Dengan membatasi usia maksimal 17 atau 18 tahun, maka mau tidak mau setiap kecamatan akan tampil dengan squad yang muda-muda dan tentu akan banyak menyaring mutiara-mutiara muda di Jembrana.
Jadi ajang ini juga sekalian sebagai ajang untuk menggali potensi-potensi di bidang seni tabuh di Jembrana. Dan tentu efek sosialnya juga akan positif, di mana program ini juga turut andil dalam mengendalikan kenakalan-kenakalan remaja, terkhusus di Jembrana.
Atau jika mereka (pemangku kebijakan) merasa, Jembrana belum siap menerapkan batas usia, sekalian saja tidak usah mencantumkan rentang usia. Maka setiap sekaa yang mewakili kecamatan akan menyesuaikan dengan pontensi penabuh di wilayahnya, baik dalam skup banjar, desa/kelurahan bahkan kecamatan. Jadi aturan mainnya lebih bisa diterima.
Jika ada kecamatan yang mampu menampilkan squad muda-muda, yaah tentu harus disyukuri. Kendatipun ada kecamatan yang membawa squad “ibu-ibu” atau “nenek-nenek” juga tidak apa-apa. Jadi peraturannya lebih bijaksana dan logis tentunya.
Jegleg…
Suara pintu kamar terdengar lirih, istriku membukanya dengan hati-hati karna takut Ucik, anakku, bangun dari tidurnya.
“Blitu (panggilan sayang istriku kepadaku), sube jam 3 pagi ne, sing bubuk? Sing megae binjep?” (Bli Tu, sudah jam 3 ini, tidak tidur, tidak kerja lagi sebentar?).
“O nah-nah, jani jani, (Oh ya, sekarang)” sahutku dengan lirih. Sungguh istri yang perhatian. [T]