PENAMPILAN wayang kulit yang dikombinasikan dengan pertunjukan teater pada “Pagelaran Seni dan Olahraga, Tri Hita Karana: Karya Cipta Sukmawati Sukarnoputri”, secara konsep, seolah memberikan nuansa baru dalam dunia seni pertunjukan di Bali. Pertunjukan tersebut digelar di Taman Bung Karno, Desa Sukasada, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Kamis (06/06/2024) malam.
Sepertinya, malam itu, I Gusti Made Aryana yang mendalangi pertunjukan tersebut, telah berhasil mengocok perasaan sedih bercampur semangat kepada para penonton yang bertengger di tribune Taman Bung Karno.
Melihat wayang kulit di satu layar putih dengan latar cahaya gelap dan lampu tembak yang menyorot pada kain yang terbentang cukup besar di atas panggung, pertunjukan tersebut seketika menjelma seperti film yang sedang diputar di layar lebar.
Saat cerita di dalam layar dijeda oleh sang dalang, mucul dua aktor di panggung melanjutkan kisah. Hal itu membuat pertunjukan menjadi semakin menarik dan unik, tidak hambar. Tidak klise, seperti yang dikatakan Ida Bagus Parta Wijaya. Sebagai penonton sekaligus penikmat seni pertunjukan tradisional, ekspresi senang dan terpukau tergurat di wajahnya cukup lama.
“Tentu menghibur dan menyenangkan. Apalagi gerak tarinya manusia ini, memang seperti gerakan wayang kulit yang saya kenal. Menarinya indah. Tidak ngawur. Menarinya benar seperti penari. Tidak sekadar asal-asalan menari. Sesuailah dengan karakter wayangnya yang energik,” ucap lelaki paruh baya yang akrab dipanggil Captain itu.
Jro Dalang Sembroli bersama krunya di Taman Bung Karno | Foto: Son
Sebagai penonton, Parta Wijaya juga memberi pengakuan lain—bahwa tidak hanya perasaan yang terkocok sedih dan haru yang ia rasakan, tetapi perutnya pula tergelitik tawa oleh cerita humor dan tingkah lucu para pemain, baik aktor di panggung maupun wayang kulit yang dimainkan oleh Made Aryana.
Sampai di sini, secara konsep, Sukmawati Sukarnoputri membawa pertunjukan seni ini lebih pada pembaharuan. Selain wayang kulit yang dikombinasikan dengan pertunjukan teater, ia juga berkerja sama dengan seniman lain di Bali Utara untuk melahirkan konsep pembaharuan itu di atas panggung.
“Kemasannya ‘kan pembaruan daripada tarian Bali tradisional. Yang sama sekali tidak persis seperti yang biasa dilakukan di pura—jadi ada pembaruan. Dan juga saya tampilkan suatu kreasi kombinasi antara seni tari dengan olahraga itu. Karena fokusnya adalah seni gerak,” ujat Sukmawati saat memberi penjelasan pada wartawan seusai peertunjukan.
Adapun beberapa penampil yang ikut terlibat, di antaranya; Tari Pancasila, Seni Pencak silat Bakti Negara Desa Alasangker, Bahana Surya Dharma (Barongsai), Petinju Pertina Buleleng, Padekopan Dwi Mekar, dan Komunitas Pedalangan Sembroli.
Dari banyaknya penampilan yang telah dikonstruk berbeda itu, seketika malam di bulan Juni di Bali Utara menjadi malam yang sangat hidup dan berkesan. Kebersamaan para penonton saat menonton itu pula terasa lebih “nyata” daripada duduk berlama di dalam gedung bioskop ternama—yang mesti membeli tiket dan antre panjang untuk masuk ke sana.
Sedang di sana, di TBK (Taman Bung Karno), semua yang hadir justru menyatu begitu harmonis tanpa beban seperti ritual tadi. Dan yang paling penting, tidak ada perbedaan kelas yang kontras malam itu. Sehingga ruang terbuka menjadi sangat ramah dan nyaman ketika seseorang bersama sanak keluarganya hadir dan duduk bersama menikmati—tanpa gangguan komersil.
Barangkali karena dalam rangka memperingati Bulan Bung Karno, adalah salah satu sebab mengapa kehangatan secara kolektif itu ada di sana.
Ya, bulan Juni adalah Bulan Bung Karno. Setidaknya ada beberapa hal penting yang diperingati di bulan Juni ini. Seperti tanggal kelahiran Bung Karno pada 6 Juni 1901, sekaligus tanggal wafatnya pada 21 Juni 1970. Dan pula sebagai tanggal lahir Pancasila pada 1 Juni 1945.
Ir. Soekarno atau Bung Karno sendiri adalah salah satu Founding Father Indonesia, yang telah ikut serta mencetuskan Pancasila selain Muhammad Yamin dan Soepomo.
Suasana Pagelaran Seni dan Olahraga Tri Hita Karana di Taman Bung Karno | Foto: Son
Untuk mengingat jasa-jasanya, salah satu putrinya, Sukmawati Sukarnoputri, menginisasi acara itu bersama beberapa seniman Bali Utara—untuk mengenang bapaknya. Dan tentunya, sebagai momen penting untuk kembali merenungkan apa yang telah dilakukan Bung Karno untuk bangsa ini semasa ia hidup, dan juga untuk kembali merenungkan nilai-nilai Tri Hita Karana di Bali.
“Senang sekali. Berbahagia sekali. Karena bisa terlaksana dengan baik. Ini untuk merayakan Bulan Bung Karno, juga hari lahirnya Pancasila dan hari lahirnya Bung Karno. Dan ibu berbahagia sekali, cuaca juga sangat mendukung,” tutur Sukamwati Sukarnoputri saat memberikan kesannya setelah acara selesai.
Made Aryana, selaku seniman yang digandeng Soekmawati, merasa berhasil membuat para penonton merenung sangat serius. Terutama dalam merenungi nasib bangsa ini ke depan dan lebih-lebih nasib Bali ke depan.
“Terkait cerita, ibu (Sukmawati Sukarnoputri) yang menyuruh saya untuk menceritakan Dewa Ruci, perjalanan Bima untuk mencari jati diri,” jelas Made Aryana yang akrab dipanggil Dalang Sembroli itu.
Kisah Dewa Ruci dan Tri Hita Karana
Kepiawaian dalam memainkan wayang kulit dan membuat skenario cerita yang hidup, barangkali itulah keistimewaan Dalang Sembroli sebagai seniman (dalang). Apalagi setelah perannya dalam film Jayaprana Layonsari (2023) yang berhasil ditayangkan di beberapa bioskop di Indonesia, telah menunjukan Dalang Sembroli sebagai seniman senior.
“Ketika ibu (Sukmawati) menyuruh saya untuk memakai cerita Dewa Ruci, mulailah saya pakai di wayang tradisi dulu. Jadi, sejenis membuat embrio karyanya di sana,” terang Jro Sembroli.
Sekitar tiga bulanan sang dalang dan timnya menggarap cerita tersebut dengan segala macam kesulitannya, terutama dalam mengemas cerita panjang menjadi lebih padat. Menceritakan Dewa Ruci—dewa kerdil yang dijumpai Bima dalam perjalanannya mencari air kehidupan (tirta amerta)—termasuk cerita tua dalam khazanah pewayangan Jawa.
Secara moral, cerita Dewa Ruci memberi pesan sangat berarti. Bagaimana kepatuhan murid kepada guru, kemandirian bertindak dan perjuangan dalam menemukan jati diri tercitrakan dalam cerita.
Bima sebagai murid yang benar-benar taat dan serius dalam mencari arti sesungguhnya dalam hidup, benar-benar pergi ke hutan atas perintah gurunya itu—Resi Drona, yang padahal, di balik itu semua adalah rencana “busuk” gurunya dalam mencelakakan Bima.
Pertunjukan Dewa Ruci di Panggung Taman Bung Karno | Foto: Son
Tidak ada Tirta Amerta (air kehidupan) di gunung atau di hutan yang ditujukan oleh gurunya sebagai tugas—selain rintangan kematian. Tetapi, dengan teguh dan kesungguhan Bima dalam mendapatkan ilmu “sangkan paraning dumadi”, ia lalui semua rintangan itu dengan jiwa ksatria.
“Sebenarnya, cerita ini sangat panjang. Kami coba-coba, nah, ketemulah adegan yang tadi itu. Hanoman yang memberi saran kepada Bima agar tidak pergi ke tengah hutan mencari tirta amerta. Namun, karena keteguhannya Bima untuk mencari ilmu sangkan parang dumadi, semua yang menghalangi ia hiraukan—ia jalan terus gitu. Lalu dia bertemu dengan Rukmala dan Rukmakala. Ia lawan,” tutur Dalang Sembroli menjelaskan.
Sangkan paraning dumadi adalah sebuah falsafah hidup, bagaimana manusia belajar untuk mengenali dirinya sendiri. Atau mengenal dari mana ia berasal dan bagaimana hubungan ia dengan Sang Pencipta.
Dan pesan moral yang dapat diambil dari cerita itu, manusia sudah semestinya tidak merasa angkuh dan sombong, pula dalam merasa diri berkuasa atas kehidupan ini. Sebab, dalam hidup, masih ada yang Maha Hidup, yaitu Tuhan.
Adapaun dalam Tri Hita Karana, ajaran demikian termaktub sangat jelas. Bagaimana hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan alam adalah ajaran masyarakat Bali untuk kehidupan. Dan membawakan cerita tentang Dewa Ruci melalui wayang kulit, tentu menjadi sebuah pembahasan yang sangat serius.
Maksudnya, tidak cukup untuk dibahas di panggung kesenian semata—sebagai hiburan, terutama kalangan pemerintah yang hadir dan menonton—sudah seharusnya melihat “kritik sosial” yang dipertunjukan Made Aryana sebagai pesan yang berarti pula, yang lebih konkret.
Melalui pertunjukan ini, dalam setiap kebijakan pemerintah yang hendak dibuat, harus lebih berpihak pada masyarakat dan alam Bali. Dan tingkah lakunya pula sebagai tokoh, harus layak ditiru sebagaimana Soekarno memperlakukan bangsa ini.
“Kebetulank cerita ini juga ada sangkut-pautnya dengan itu (alam). Jadi, adalah sedikit kritik sosial terhadap lingkungan, terhadap alam semesta. Bagaimana rusak dan bagusnya alam atau lingkungan (Buana Agung) itu ada pada manusianya sendiri (Buana Alit),” ujar Dalang Sembroli.
Sesaat setelah mengatakan hal tersebut, Dalang Sembroli juga menegaskan, bahwa jika kita tidak bisa membangun alam atau lingkungan dengan terbarukan, misalnya, cukup merawat saja. “Itu juga jauh lebih penting. Sebab merawat juga adalah membangun,” ujarnya.[T]
Reporter: Sonhaji Abdullah
Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto