KRIAT–KRIUT bunyi engkol yang dikayuh oleh Samsu memecah kesunyian jalan panjang yang membelah hutan. Tak ada siapa pun selain lelaki sederhana itu.
Saban pagi, tiap pukul setengah enam, dia selalu lewat hutan yang hanya dihuni oleh tonggeret dan monyet itu. Dan tiap kali dia lewat, para kawanan tonggeret dan monyet bersahut-sahutan memanggil kawannya yang lain agar menyambut lelaki yang amat mereka kenal itu.
Kurang lebih sudah enam tahun lelaki itu mengayuh sepeda, dan entah sampai kapan dia akan bertahan dengan mengayuh sepeda keranjang tua itu.
Paling tidak 30 kilometer jarak yang harus dia tempuh dari rumahnya menuju ke sekolah. Dan 30 kilometer pula jarak yang harus dia tempuh dari sekolah menuju rumahnya. Total 60 kilometer jarak yang harus dia tempuh saban hari. Pulang-pergi.
Tapi, lelaki itu terlihat sangat bahagia meski jarak yang ditempuhnya bisa bikin kaki copot itu. Sudah berapa kali teman-temannya sesama guru telah membujuknya agar dia membeli sepeda motor baru, namun lelaki itu meresponsnya dengan tersenyum.
“Kenapa Pak Samsu nggak membeli motor baru saja?” kata salah seorang kawannya, Pak Huda, guru bidang studi Matematika suatu ketika.
“Saya nggak pernah kepikiran mau membeli sepeda motor, Pak Huda,” jawab Samsu, lelaki sederhana yang mengajar bidang studi Fisika itu. “Boro-boro mau membeli sepeda motor, lha wong uang gajian saja buat istri semua.”
“Lho, apakah tiap kali gajian Pak Samsu nggak disisain uang?”
“Gajinya pas, Pak.”
Tidak ada yang bisa memungkiri jika Samsu, guru senior itu sampai detik ini belum bisa membeli sepeda motor. Jangankan guru baru, guru senior yang sudah mengabdi lebih dari dua puluh tahun di sekolah itu gaji yang mereka terima tidaklah seberapa. Gaji yang mereka terima setiap bulan hanya cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari dalam sebulan saja.
Gaji yang tak seberapa cepat menguap. Belum lagi dibelanjakan untuk anak. Bahkan gaji insentif yang mereka terima dari dinas pendidikan juga cepat habis macam air. Belum lagi datangnya telat. Bisa-bisa sampai tak dibayar empat bulan.
Padahal lelaki itu lulusan kampus dari luar negeri. Apakah memang seburuk itukah birokrasi pendidikan di negeri kita? Kok bisa guru dibayar sampai telat?
Sebenarnya Samsu berencana untuk mengangsur motor baru langsung dari dealer, namun istrinya tak setuju. Entah apa pasal. Bahkan sampai detik ini Samsu masih rela harus tinggal di rumah mertuanya. Enak sih di pihak istrinya, namun tak enak di pihak Samsu. Tak jarang Samsu sering dibanding-bandingkan dengan kakak istrinya.
Padahal pendidikan Samsu masih jauh lebih baik daripada keluarga istrinya. Pernah istrinya Samsu bilang jika suaminya sampai mengutang sama dealer, dia akan menceraikan Samsu. Bukankah itu bagus buat Samsu? Bukankah bercerai dengan perempuan itu hidupnya justru akan berubah seratus delapan puluh derajat dari sekarang?
“Yaa Tuhan, kenapa hidupku begini-begini terus?” tangis Samsu ketika melewati jalan raya yang membelah padang ilalang. “Bukannya hamba tak bersyukur, namun atas nikmat mana yang bisa membuat hamba bersyukur?”
Samsu mencoba membandingkan hidupnya dengan kedua temannya, Ali dan Rakib. Ali yang sampai saat ini belum menikah, namun dilimpahi rezeki yang banyak. Begitu juga dengan Rakib, dia dikaruniai istri dan ayah mertua yang sangat pengertian. Berbeda jauh dengan dirinya yang dikaruniai istri yang suka merajuk dan marah-marah tanpa sebab, rumah masih menumpang, mertua yang cerewet dan merasa paling benar, dan kendaraan yang buruk.
“Apakah aku harus menikah lagi dengan perempuan lain dan menceraikan istriku?” tanya Samsu saat merayap di punggung bukit.
****
Hari raya Idul Fitri tahun ini tidak seramai beberapa puluh tahun yang lalu. Tradisi bersalam-salaman secara beramai-ramai sudah tergerus oleh zaman. Saling mengucapkan minal aidzin wal faizin sudah digantikan dengan mengunggah status di akun media sosial. Bahkan tradisi sungkeman kepada orangtua sekarang sudah cukup dengan video call-an lewat WhatsApp atau lewat kartu lebaran. Mudah dan efesien. Sehingga secara tidak langsung tata krama sebagai orang Jawa perlahan digerus oleh peradaban bangsa barat yang memang telah dikenal tak memiliki adat istiadat.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Samsu tak begitu antusias merayakan lebaran tahun ini. Padahal dirinya telah melaksanakan perintah Allah untuk berpuasa selama sebulan penuh. Baju baru pun dia tak beli. Hanya anak dan istrinya saja yang berpakaian baru. Untungnya dia habis menerima parsel dari sekolah sehingga masih bisa mengenakan sarung dan kemeja baru.
Sandal yang dia pakai pun sandal yang pernah dibelikan oleh ibunya. Meski tidak baru, namun setidaknya sandal karet itu masih kuat. Lebaran tahun ini rencananya dia ingin mengunjungi rumah satu-satunya bibinya yang masih hidup. Semua saudara ibunya telah meninggal dunia.
Kriat-kriut bunyi sepeda tak menyurutkan semangat dan niat Samsu untuk berlebaran ke rumah bibinya. Dia sama sekali tak ambil pusing maupun gengsi ketika orang-orang yang berpapasan dengannya di tengah jalan memandang dirinya dengan rendah. Toh mereka juga tak kenal siapa dirinya.
Dan tak seorang pun yang tahu kalau sepeda motor yang mereka pakai boleh jadi hasil dari pinjam maupun mengutang. Tak ada seorang pun tahu kalau orang-orang itu berpura-pura bahagia menyambut lebaran. Siapa tahu saat ini hidup mereka dikejar-kejar sama utang.
Sementara Samsu hidupnya sentosa. Tak ada tukang kredit maupun debt collector yang datang untuk menagih utang sama dirinya. Dia bisa tidur dengan nyenyak tanpa harus dibangunkan oleh penagih utang.
Malam harinya, Samsu kedatangan tamu. Dia tidak kenal dengan mereka. Hanya istrinya saja yang mengenal tamu itu karena mereka keluarga dari tetangga barunya. Sebenarnya mereka masih ada hubungan darah dengan istri Samsu, namun lumayan jauh. Mereka berempat. Perempuan semua.
“Kenapa tunangannya tak diajak, Dik?” tanya istri Samsu pada seorang gadis cantik yang mengenakan gamis warna putih.
Samsu melirik ke arah gadis yang ditanya oleh istrinya. Dia menduga kalau gadis itu sudah menikah.
“Dia masih belum ketemu sama jodohnya,” jawab kakak dari gadis itu.
“Mudah-mudahan tahun ini ketemu dengan jodoh yang terbaik!” Istri Samsu mendoakan gadis itu.
“Aamin.”
Dari istrinya, Samsu tahu asal-usul keluarga tamunya itu. Jadi begini, tetangga mereka, Farhan adalah anak dari Pak Danu. Pak Danu ini adalah putra sulung dari Mbah Sukri. Nah, Mbah Sukri ini adalah sepupu dari mbahnya istri Samsu. Jadi, Farhan ini masih sepupu jauh dari mertuanya Samsu. Farhan mempunyai lima saudara. Dan yang datang bertamu adalah adiknya Farhan. Sedangkan dua gadis itu tidak lain adalah keponakan Farhan.
“Jadi, dua gadis itu siapa?”
“Keponakannya Mas Farhan.”
“Sekolah di mana katanya?”
“Sudah kerja di toko buku.”
Samsu berkomentar “O”.
“Lalu, yang bulan lalu menikah itu siapa?”
“Adiknya Mas Farhan yang satunya lagi.”
“Tak kirain yang tadi duduk di sini.”
“Dia masih perawan.”
“Baguslah.”
Memasuki habis masa cuti lebaran, Samsu berencana akan pindah tempat mengajar. Dengan ijazah S2 yang dia miliki, Samsu seharusnya masih berkesempatan untuk bisa menjadi dosen di kampus. Sejak bertemu dengan gadis itu dia berubah. Dia jauh lebih bersemangat untuk mengubah takdir hidupnya. Sebab dia yakin, Tuhan tidak akan mengubah takdir suatu kaum jika kaum itu sendiri tak mengubah takdirnya sendiri. Jika kaum itu maunya seperti itu, maka Tuhan akan membiarkannya.
****
Sore itu, Samsu berangkat mengajar di kampus. Dia pamit kepada istrinya. Dan seperti biasanya, lelaki sederhana itu mengayuh sepeda keranjangnya. Tapi kali ini, orang-orang yang berpapasan dengannya tak lagi memandangnya dengan tatapan merendahkan. Sebab dia memakai jas almamater kampus dengan pangkat dosen.
“Dengan mengucap bismillah, izinkan saya malam ini untuk meminang Diva,” kata Samsu di hadapan keluarga Farhan.
“Tapi, bagaimana dengan istrimu?” tanya bibi gadis itu yang dulu pernah bertamu di rumah istri Samsu. “Apakah kamu akan menceraikan istrimu?”
Lalu, Samsu bercerita kepada mereka bahwa setiap laki-laki yang menikah dengan salah satu anggota keturunan mbahnya istri Samsu, maka sepanjang hidupnya mereka tidak akan bisa memiliki apa-apa. Meskipun telah bekerja sekeras apa pun, mereka akan tetap miskin makan tanah. Rumah menumpang dan kendaraan tidak punya. Gaji mereka takkan ada wujudnya sebab istri mereka boros.
“Siapa tahu dengan menikahi Diva, Allah akan meridai hidup saya ke jalan takdir yang lebih baik.”
Istri Samsu merasa seperti mengalami kiamat di siang bolong ketika mendapatkan sepucuk surat dengan kop Pengadilan Agama. Dia sama sekali tak menyangka kalau dirinya akan diceraikan oleh suaminya, Samsu, lelaki sederhana dan amat penyayang itu. Dan dia juga sama sekali tak menyangka jika perempuan yang akan dinikahi oleh suaminya adalah gadis yang amat dikenalnya. [T]
Probolinggo, Mei 2024.
BACAcerpen laindi tatkala.co