ULIN Ni’am Yusron membuat tiga sarkofagus berelief kehidupan manusia Gilimanuk di masa prasejarah. Ketiga benda prasejarah yang berfungsi sebagai kuburan, peti mayat, atau wadah kubur itu diletakkan, ditata, di kawasan Museum Prasejarah Manusia Gilimanuk, Jembrana, Bali.
Angin pantai Selat Bali berkesiur. Suara-suara feri yang berlabuh menggema di langit Gilimanuk. Suara itu berat seperti keluar dari mulut makhkuk mitologi yang asing. Obor-obor minyak tanah yang ditancap membentuk pagar, apinya meliuk, mengecil pada batas nyala. Orang-orang yang datang malam itu duduk di tanah beralas tikar pandan yang khas. Mereka saling berbincang, menunggu acara dimulai.
Pada saat tarhim Isya mendaulat udara Gilimanuk, Ulin, si empunya acara, berdiri dan memberi sambutan. Sebagaimana acara seremonial pada umumnya, dengan bahasa Indonesia yang bernada Jawa, Komisaris ITDC itu memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada para tamu undangan, khususnya kepada rektor ISI, para promotor, dewan penguji, dan pejabat di lingkungan Pemerintah Jembrana yang berkesempatan hadir.
“Ini ujian tahap kelima saya untuk mendapat gelar doktor, itu pun kalau malam ini lulus,” ujar Ulin yang disambut gelak-tawa hadirin. Benar. Malam itu Ulin memang sedang melakukan Ujian Tertutup Program Studi Seni-Program Doktor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar di Museum Prasejarah Manusia Gilimanuk, Rabu (29/5/2024) malam.
Seperti yang telah disampaikan di paragraf pertama, Ulin membuat tiga sarkofagus dengan relief kehidupan di dinding-dindingnya. Karya seni (disertasi) yang bertajuk “Cipta Relief Raga Jiwani Manusia Gilimanuk” ini bertumpu pada teknik kolaborasi dengan pekerja animasi dalam menerjemahkan interpretasi para pakar arkeologi untuk dapat menghasilkan relief bermutu. Ulin menyebutnya, arkeoart.
Ulin Ni’am Yusron saat menjelaskan karyanya kepada para tamu undangan | Foto: Rusdy
Menurut Ulin, disertasi ini dibuat dengan menerapkan metode metarsa (metode terpadu arkeologi dan seni) untuk mengintegrasikan disiplin arkeologi dan seni melalui tahapan empati, definisi, ideasi, prototipe, dan pengujian.
Pendekatan ini mengombinasikan wawasan sejarah, arkeologi, seni, dan desain, untuk menciptakan relief yang tidak hanya menambah kekayaan informasi museum, tetapi juga mengomunikasikan pentingnya leluhur dan warisan budaya kepada masyarakat Bali.
“Ini juga sebuah usaha mencari kawitan dari manusia Gilimanuk,” kata Ulin.
Berdasar pada latar belakang penciptaan yang termuat dalam katalog ujian tertutup yang dibagikan Ulin kepada para tamu yang ia undang, tugas karya seni yang menggambarkan kehidupan manusia Gilimanuk ini mencoba menjadi medium edukatif yang efektif—menjadi jembatan masa lalu dan masa kini serta memperluas pemahaman tentang bagaimana integrasi lintas disiplin dapat memperkaya narasi budaya.
“Karya ini, sekali lagi, mencoba membangun pola relasi yang semakin kuat antara lintas disiplin ilmu. Karya cipta memang harus mewakili atau mencerminkan kehendak zaman dan masyarakat. Dan pendidikan adalah hulu dari cipta karsa masyarakat,” terang Prof. Dr. I Wayan (Kun) Adnyana, Rektor ISI Denpasar, saat memberi sambutan.
Dalam kata lain, “Cipta Relief Raga Jiwani Manusia Gilimanuk” ini lahir dari proses kolaborasi antara banyak pihak. Dengan pola pendekatan yaang terstruktur dan koboratif—yang disertai dengan kesiapan untuk adaptasi dan inovasi—seperti ini, menurut Ulin, adalah esensi dalam menciptakan karya seni yang menggabungkan keindahan, kedalaman ilmiah, dan relevansi kultural dalam satu mangkuk bernama kesenian.
“Ini dapat memantik atau memancing karya-karya seniman selanjutnya,” ujar Ulin. Benar. Karya yang ia hadirkan memang berpeluang untuk membuka jalan bagi dialog yang berkelanjutan antara masa lalu dan masa kini, serta menginspirasi generasi mendatang untuk menjelajahi dan memelihara warisan budaya dengan cara yang baru dan kreatif. “Museum perlu suasana baru,” sambung seniman-akademisi berambut gondrong itu.
Tafsir Kehidupan Prasejarah Manusia Gilimanuk
Sebagaimana telah banyak dituliskan para peneliti prasejarah, bahwa manusia Gilimanuk memiliki ciri khas percampuran migran ras Mongoloid dan penduduk asli ras Australomelanesid. Manusia Gilimanuk, sampai sejauh ini, dianggap sebagai kelompok manusia prasejarah yang hidup di awal Masehi.
Pada tahun 1960-1963, penelitian kepurbakalaan Bali yang dilakukan oleh R.P Soejono mengindikasikan bahwa sebelum kebudayaan Hindu berkembang di Bali, telah berkembang suatu kebudayaan prasejarah yang meliputi: paleolitik, opi-paleolitik, neolitik, perhubungan kebudayaan megalitik, dan logam awal.
Kita tahu, mengacu pada pendapat arkeolog, termasuk R.P Soejono—orang yang menemukan situs prasejarah manusia Gilimanuk pada 1962 itu—tentu saja, sisa-sisa peninggalan budaya dari masa prasejarah dikelompokkan dalam beberapa masa, yaitu masa hidup berburu dan mengumpulkan makanan, masa bercocok tanam, dan masa perundagian. Pada masa bercocok tanam atau masa neolitik ini muncul tradisi budaya tersendiri yang dikenal dengan kebudayaan megalitik.
Relief manusia memikul binatang buruan di dinding sarkofagus 1 | Foto: Rusdy
Dan dalam konteks karya seni yang bertajuk “Cipta Relief Raga Jiwani Manusia Gilimanuk” ini, Ulin mencoba menafsir—kalau bukan mengimajinasikan atau membayangkan—kehidupan prasejarah manusia Gilimanuk pada abad yang jauh dan menuangkannya ke dalam relief-relief yang dibubuhkan di dinding-dinding sarkofagus ciptaannya.
Manusia Gilimanuk pada masa prasejarah, dalam bayangan Ulin, adalah mereka yang memikul binatang buruan, memasak-meramu dengan gerabah, menaiki perahu, dan menaruh mayat di dalam batu-batu sarkofagus. Tak ada yang salah dalam tafsir selama itu memiliki dasar yang kuat. Dan tafsir, bisa saja salah.
Saat melihat relief yang terdapat di dinding sarkofagus pertama—yang menggambarkan kehidupan sehari-hari manusia Gilimanuk melalui adegan pemukiman, kegiatan memasak, dan perdagangan—kita dapat melihat dua manusia (prasejarah) sedang memikul binatang buruan. Kalau tidak salah, relief seperti ini juga ada pada dinding Candi Borobudur. Bedanya, relief di Borobudur menggambarkan orang-orang yang memikul ikan, bukan hewan berkaki empat.
Relief memikul hewan buruan ini juga kerap digunakan para sineas animasi dalam film-film mereka. Banyak adegan kartun yang menggunakan laku berburu seperti itu. Lantas, apakah memang begitu cara manusia Gilimanuk zaman prasejarah membawa binatang buruannya? Tak ada yang dapat memastikan. Tetapi yang jelas, pada sarkofagus (satu) ciptaan Ulin, mengilustrasikan interaksi sosial dan ekonomi dalam komunitas, serta hubungan mereka (manusia prasejarah) dengan lingkungan alam sekitar.
Relief manusia mengendarai perahu di dinding sarkofagus 2 | Foto: Rusdy
Pada sarkofagus dua, yang terletak di tengah-tengah antara sarkofagus satu dan tiga, terdapat relief orang-orang mengendarai perahu. Ini menggambarkan kegiatan orang-orang mengumpulkan makanan dengan cara bertani, berkebun, dan melaut—sebuah citra kehidupan ekonomi manusia Gilimanuk.
Mengenai masa bercocok tanam, kepercayaan begitu kental dengan sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati, terumata kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejateraan dan kesuburan tanaman. Pada masa ini masyarakat memiliki kepercayaan bahwa roh manusia tidak lenyap pada saat meninggal dan masih mempengaruhi kehidupan manusia.
Dalam kepercayaan pada masa bercocok tanam, upacara yang paling menonjol adalah upacara pada waktu penguburan. Mengenai hal ini, situs Gilimanuk adalah situs yang lengkap dan luas di Pulau Bali. Pola penguburan bermacam-macam, dengan bekal kubur yang bermacam-macam pula, serta temuan-temuan lain yang bervariasi.
Menurut Soejono dalam disertasi yang berjudul “Sistem-Sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali” (1977), di situs Gilimanuk ada beberapa pola penguburan, yaitu kuburan tanpa wadah, baik sekunder maupun primer; kubur dengan tempayan; dan sarkofagus.
Relief manusia berkumpul di sekitar sarkofagus di dinding sarkofagus 3 | Foto: Rusdy
Dan inilah relief yang tertuang dalam sarkofagus tiga ciptaan Ulin—yang menggambarkan sistem penguburan manusia Gilimanuk dengan menampilkan relief sekelompok orang yang berkumpul di sekitar sarkofagus yang berisi jenazah dan bekal kubur yang digambarkan secara detail.
Tafsir, sebagaimana dalam ilmu agama, sangat penting dilakukan. Namun, menafsir juga tidak semudah seperti yang kita bayangkan. Tafsir memutuhkan pengetahuan sejarah, antropologi, metode, logika, untuk mencapai hasil yang, paling tidak, mendekati kebenaran. Tafsir yang tak mengindahkan syarat-syarat tafsir, alias ngawur, alih-alih mencerahkan justru malah menyesatkan—sebagaimana yang terjadi dalam kasus beragama.
Tafsir kehidupan manusia Gilimanuk dalam “Cipta Relief Raga Jiwani Manusia Gilimanuk” ini, jika dilihat dari kombinasi pendekatan yang digunakan, barangkali memang bukan tafsir yang ngawur. Tafsir ini dilakukan dengan kaidah-kaidah ilmiah dan berdasar pada kajian sejarah, antropologi, dan kesenian.
Dengan begitu, relief-relief yang digambar di dinding ketiga sarkofagus tersebut, dapat menjadi pemantik visual yang menumbuhkan imajinasi kita masing-masing dalam membayangkan bagaimana kehidupan manusia Gilimanuk pada masa prasejarah.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole