TIDAK biasanya, di meja-meja Kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Buleleng di Singaraja, Bali, itu terdapat berkas-berkas lama dan usang, lusuh dan robek. Berkas itu bertumpuk-tumpuk memenuhi ruangan. Tampak beberapa orang merapikannya dengan teliti.
Saya datang ke ruangan kantor PCNU itu, Selasa, 21 Mei 2024. Begitu masuk, bau masa lalu menguar seketika, menyengat ingatan-ingatan saya tentang sesuatu. Beragam macam jenis dokumen yang tampak kuno tergeletak di atas meja modern. Tentu, sesuatu pemandangan yang terasa aneh. Berkas-berkas, belakangan saya ketahui, sebagain besar keluaran tahun 1960-an.
Tumpukan berkas dan sebuah bulletin | Foto: Son
Ada banyak jenis berkas atau dokumen penting di sana. Mata saya tertuju pada sebuah bulletin LAKPESDAM NO. 16/TH. IV, APRIL 1994. Sebuah judul tulisan “Aids dan Film” menarik perhatian saya untuk mengambilnya—membacanya penuh penasaran. Tulisan itu ada di halaman pertama, paling awal, ditulis oleh H.M. Said Budairy, seorang tokoh nasional yang belakangan saya tahu bahwa ia pernah ke Buleleng, Bali.
Said Budairy atau sering dikenal sebagai aktivis pergerakan memang merupakan salah satu tokoh penting di Nahdlatul Ulama (NU). Itulah yang menyebabkan mengapa saya bisa tertarik.
Tidak hanya dikenal sebagai pendiri Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia), Budairy juga dikenal sebagai salah satu pendiri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), dan juga merupakan salah satu deklarator (Muasis) organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
“Dokumen-dokumen itu merupakan berkas lama milik PC NU Buleleng, termasuk Bulletin itu,” ucap Baidowi, salah satu kader PMII Buleleng.
Di kalangan mahasiswa yang berlatar NU, nama Budairy tentu sudah tak asing lagi, termasuk saya. Lebih-lebih pada mereka yang mengikuti PMII—ia telah dianggap sebagai salah satu tokoh penting karena sebagai pendirinya.
Di dalam tulisannya itu Said Budairy mengkritisi bagaimana pemerintah (saat itu) mesti mengambil langkah cepat terkait pencegahan HIV—setelah penyebarannya di Thailand sekitar 500.000 orang sudah terkena AIDS.
Walaupun ia telah menilai baik bahwa pemerintah sudah mengambil langkah cepat, melalui rencana Inpres Sistem Koordinasi Penanggulangan dan Pencegahan AIDS, tetapi baginya masih perlu ditambahkan alternatif lain untuk menekan penyebarannya di Indonesia.
Ia menilai bahwa mesti ada penertiban “prilaku” yang berhubungan dengan itu. Salah satunya adalah dengan tidak memberikan kampanye hubungan seks bebas, dalam hal ini melalui film.
H. Rahmat (berdiri), Said Budairy (duduk, kursi paling kiri)| | Foto: Dok. NU
Said Budairy memandang, bagaimana penayangan film yang cenderung minim sensor adalah sebuah kemungkinan yang buruk bagi penyebaran AIDS, karena masyarakat (terutama di kalangan mudanya) sangat mungkin akan banyak yang meniru pergaulan bebas (sex bebas) hanya karena terpengaruh oleh menonton film, terutama film-film yang dari luar—yang membawa paham liberalisme.
Kemudian ia mengusulkan pada pemerintah (dalam hal ini Departemen Penerangan), nyambi aturan Inpres itu diberlakukan, agar penyiaran film dapat lebih dulu melangkah melalui sensor film untuk bagian-bagian yang berbau hubungan seksual. Seperti pada nukilan saya berikut dari bulletin tersebut:
“Bisa jadi inilah salah satu pekerjaan pertama Koordinator dari Sistem Koordinasi Penanggulangan dan Pencegahan AIDS sekeluarnya Ipresnya nanti. Toh seperti Departemen Penerangan akan menjadi salah satu departemen teknis dalam system koordinasi tersebut. Tapi tanpa menunggu “ditertibkan” melalui himbauan atau penyadaran atau pemaksaan, agaknya tidaklah berlebihan kalau di kalangan pengelola televisi swasta Indonesia mengambil langkah sendiri. Daya Tarik film toh tidak hanya pada bumbu-bumbu yang berkaitan dengan hubungan seksual. Dan tidak menjadi kewajiban para pengelola stasiun televisi untuk “hanya” mengikuti selera konsumen tertentu. sebaliknya malah mengarahkan dan membina mereka kearah yang lebi positip”.
Tidak hanya sebagai organisatoris Said Budairy sangat dikenal. Tetapi di dunia tulis menulis juga ia cukup dikenal terutama di bidang jurnalistik, setelah Mahbub Djunaidi. Bahkan ia dijuluki sebagai jurnalis andal.
Beberapa orang sedang merapikan berkas-berkas jadul untuk pameran | Foto: Baidowi
Beberapa media yang pernah diikutinya seperti Harian Duta Masyarakat (1961), Majalah Risalah Islamiyah (1970), koran Pelita (1073), dan terakhir di Harian umum Pelita (1974) milik Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Di koran itu, ia telah membuat pemberitaan mainstream terkait kecurangan-kecurangan Golkar pada pemilu 1977. Akibatnya Said Budairy dikeluarkan dari media itu.
Tetapi, siapa sangka jika sesosok Said Budairy itu pernah berkunjung di Buleleng?
Napak Tilas Said Budairy di Buleleng melalui Lakpesdam
“Pak Said itu memang sering kemari. Sering mengadakan pelatihan di sini (Buleleng), waktu itu sekitar tahun 1980 dan 1990-an, dan saya sebagai ketua Lakpesdamnya Buleleng waktu itu. Beliau sering datang ke Buleleng, dan banyak sekali program beliau di sini,” ucap Haji Rahmat Al Baihaqi, Ketua PC NU Buleleng, ketika ditemui Senin, 27 Mei 2024.
Haji Rahmat, atau yang biasa di sapa Pak Haji itu, tampak wajahnya terlihat begitu berat mengingat tentang masa lalunya ketika bercerita—mengingat kisahnya dengan Said Budairy. Sepertinya memang mengingat cerita adalah hal yang paling berat bagi umur 68 itu.
Saat berkegiatan dengan Said Budairy beberapa puluh tahun silam, Haji Rahmat saat itu masih muda berumur sekitar 39 tahunan. Beberapa kegiatan yang digelar bersama terlaksanakan dengan baik. Dan itu bukanlah terkait tulis menulis tetapi lebih pada kegiatan sosial yang urgent.
Said Budairy sedang duduk (kursi paling ujung, kanan) | Foto: Dok. NU
Kegiatan Lakspesdam dan beberapa lintas agama di Bulelenv (1995) | Foto: Dok. NU
Hal demikian sejalan dengan tujuan dari Lakpesdam sendiri, yang progresnya terkait sosial-keagamaan. Dikutip dari nu.or.id bahwa munculnya Lakpesdam adalah sebuah upaya untuk meminimalisir gerakan NU yang terlalu politis (sejak menjadi partai)—agar kembalinya pada khitah atau cita-cita NU yang teramanahkan melalui muktamar ke-27 di Situbondo pada tahun 1984.
KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) adalah orang yang terpilih sebagai Ketua Umum PBNU kala itu. Di bawah kendali Gusdur, NU yang dinahkodainya bergerak kepada arah gerakan sosial-keagamaan, atau membangkitkan kembali semangat pada kegiatan-kegiatan yang berkemajuan, dalam hal ini, mengarahkan peran NU di masyarakat, bukan lagi sebagai partai yang sekadar mengarah kepada kekuasaan atau parlemen semata.
Di sana, Said Budairy memiliki peran penting juga di pengurusan Gusdur, yaitu sebagai bendarahanya. Kala itu juga, Said Budairy gencar mengkonsolidasikan gearakan NU kembali ke khittah 26 (nilai perjuangan NU semasa tahun 1926).
Sekitar tahun 1995, Said ikut mendirikan Lakpesdam dan menjadi direkturnya selama delapan tahun. Sebagai implementasinya, Lakpesdam menghidupkan khitah tersebut (bahwa NU bukan partai), setidaknya, ada beberapa kegiatan yang dibawa Said Budairy ke Buleleng, seperti pelatihan Pengelolaan Dana Sehat, Pengembangan Ekonomi, Manajemen Organisasi, Sanitasi dan Air bersih, dan lain sebagainya.
Acara tersebut tidak hanya diikuti oleh peserta lokal Buleleng, tetapi juga ada yang dari luar Buleleng seperti dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dan tentunya, para pesertanya diikuti oleh lintas agama.
Haji Rahmat (tengah) sedang bercerita tentang Said Budairy | Foto: Baidowi
Pula acara tersebut tidak hanya bekerjasama dengan Lakpesdam yang dibawa oleh Budairy dari Jakarta, tetapi juga bekerja sama dengan LSM yang ada di Australia, Cina dan Jepang.
“Saya masih ingat, dalam acara itu yang menjadi pematerinya itu ada dari Jepang, Australia dan Cina. Karena bekerjasama dengan LSM dari negara-negara tadi, tidak hanya dengan Lakpesdam pusat saja,” kata Haji Rahmat.
Masih dengan wajah yang berat—mengingat, Haji Rahmat berusaha untuk mengeluarkan memori lamanya. Bagaimana pertemuan terakhir dengan Said Budairy nyaris tak terlacak di dalam pikirannya. Sembari mengira-ngira, ia menyebut ‘Jakarta’ sebagai kota terakhir ia berjumpa dengan seniornya itu.
“Pak Said itu, kalau bicara sangat lembut, berbeda dengan saya yang kasar. Dan kalo dia ngadain kegiatan di sini, beliau itu selalu tepat sasaran. Sangat menyesuaikan dengan apa yang dibutuhkan di sini. Intinya, sosoknya sangat mengayomi siapa saja,” tuturnya.
Rencananya, dalam waktu dekat-dekat ini, dokumen-dokumen dan segala macam benda sejarah tentang Islam di Bali Utara dan Nahdlatul Ulama Buleleng khususnya—akan dikumpulkan dan dipamerkan dalam rangka memperingati 70 tahun PC NU Buleleng. Kegiatan itu direncanakan akan dilaksanakan di Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha Singaraja. [T]
Reporter: Sonhaji Abdullah
Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole