— Catatan Harian Sugi Lanus, Gĕgĕr Paminge – Ungasan, 25 Mei 2024
Sebagai makhluk yang mengada tentunya kita sadar bahwa tubuh-diri kita mengada di dunia oleh sebuah proses semesta. Kita lahir dan ada di muka bumi karena ada karya kosmik atau alam raya yang berkerja. Proses ini disebut peristiwa penciptaan.
Sebagai makhluk yang berpikir tentu pernah berpikir bahwa ketika ‘pikiran’ kita pakai untuk memikirkan alam raya dan kesemestaan tubuh, hati dan perasaan; ‘pikiran’ kita sadar bahwa ‘pikiran’ hanyalah alat yang punya keterbatasan. Alam raya tiada terbatas, karya kosmik tidak terbatas, tubuh kita buah karya kosmik.
‘Pikiran’ sebatas perkakas bertahan hidup, sebatas bernalar, dan menghayal, serta memberikan kemungkinan untuk meresepsi kehadiran tubuh-diri kita ini di depan ketiada-terbatasan kosmik.
‘Apa-siapa’ di balik karya kosmik ini?
Jika ‘pikiran’ kita ajak memahami ‘apa-siapa’ di balik karya kosmik dan yang melampaui semua yang tampak di jagat raya ini, ‘pikiran’ bertekuk sujud.
Di sini ‘pikiran’ akan menyerahkan tugas ini pada apa yang bekerja di belakang pikiran; ada perasaan mendalam dalam keheningan pikiran kita. Pada keheningan pikiran kita akan terpaut dengan yang lebih mendalam.
Perasaan yang lebih mendalam ketika pikiran hening, membuat kita sadar ada kesunyian di balik nalar pikir, yang melampaui logika, yang berlimpah rasa; ini yang membuat kita memahami ada sesuatu mendalam terhubung antara diri-tubuh kita dengan yang berkerja di balik karya kosmik. Ada pertautan sunyi.
Menjaga pertautan sunyi tubuh kita dengan kosmik ini, dalam berbagai literatur atau perbendaharaan kitab keagamaan, sering disebut sebagai “doa”, “tafakur”, “hening”, “meneng”, “berpasrah”, dan seterusnya.
Jika di dalam usaha dan niatan atau rindu bertaut dengan kosmik ini tanpa permintaan, tanpa kata, hanya dipenuhi rindu bertaut, usahanya disebut sebagai “yoga”. Dalam arti yang mendalam “yoga” adalah semua usaha sadar menjalin pertautan diri kita dengan karya kosmik yang menjadikan alam raya ini ada, alam raya ini berkarya; “yoga” adalah usaha bertaut dengan kesunyian yang berkerja di balik layak karya kosmik.
Pikiran kita merasakan dipenuhi berkah mengalir tak henti jika pertautan sunyi pikiran dengan kosmik terus terjaga secara sadar. Tanpa pertautan sunyi dengan yang bekerja di balik karya kosmik ini, hati dan pikiran akan mengering, menjadi kesepian dan penuh geliat, bahkan sesal.
Yang maha-agung adalah sunyi yang bekerja di belakang layar karya kosmik. Yang maha-cinta adalah berjumpanya rindu diri dengan yang maha-sunyi. [T]
BACA artikel lain dari penulisSUGI LANUS