PEMUDA yang menemukan kegemaran baru menulis itu menanyakan pada saya melalui kotak pesan, perihal media massa apa saja di Bali yang menerima tulisan berupa esai, opini, puisi dan cerita pendek/cerpen. Saya menjawabnya berdasarkan pengalaman dan informasi yang saya miliki. Lalu dia bertanya lagi: “apakah ada honornya?”
Pertanyaan yang membuat saya sedikit bersedih, karena: pertama, media yang memberi honor baik itu koran atau pun media daring kini makin sedikit. Entah itu kebijakan redaksi atau memang media tersebut secara finansial belum mampu memberikan honor bagi tulisan yang lolos seleksi dan dimuat.
Kedua, rasa sedih itu diam-diam muncul karena melihat gejala penulis pemula yang tampaknya lebih mementingkan hasil ketimbang proses. Honor bisa dibilang penting sebagai sebuah apresiasi, atau jika mau langsung: pengganti biaya pulsa internet atau untuk membeli buku sebagai bahan memperkaya wawasan penulis.
Jika misalkan memang tak ada honor, apakah lantas tidak jadi menulis?
Sejak lama saya menulis dan tak semua media yang memuat tulisan saya menyediakan honor. Bisa jadi karena itu pula saya memilih profesi wartawan untuk urusan “dapur”. Bagaimana pun ide di kepala mesti terwujud menjadi karya baik itu puisi atau esai, dua genre tulisan yang saya geluti. Di masa depan bisa juga saya menekuni cerpen dan novel. Kini, belum.
Sejatinya, apresiasi atau penghargaan atas kreativitas seorang penulis tidak hanya berhenti pada honor tulisan. Lebih dari itu, jejaring (networking). Karya atau tulisan yang tayang di media daring misalnya bisa menjadi rekam jejak kepengarangan penulis yang terus ada selama laman atau website media daring tetap aktif dan bisa ditelusuri melalui kotak pencarian Google.
Itu juga bisa dipakai saat penulis melamar pekerjaan sebagai copywriter atau content writer. Jika ingin tahu tentang penulis dengan mengetik namanya di Google, akan muncul tulisan-tulisan karyanya, selain berita dan media sosial miliknya, yang dapat dijadikan portofolio dalam proyek kepenulisan. Tulisan yang dimuat dan tersebar di media massa juga bisa diterbitkan menjadi buku, baik penerbitan secara mandiri oleh penulis atau ditawarkan pada penerbit komersial.
Bertanya soal honor tulisan, bagi saya, bisa membuat ‘kemungkinan’ lain yang akan diraih seorang penulis akan terhambat bahkan tertutup. Penulis di masa lalu, saya rasa lebih mengutamakan bagaimana mereka bisa terus berkarya, tidak selalu memikirkan honor. Yang penting berproses dulu, terus menulis tanpa henti –hasil akan datang dengan sendirinya.
Sekarang, ‘hasil’ itu wujudnya beragam; bisa materi, popularitas, mendapat komunitas baru, alih kreasi karya sastra, dan lain-lain. Sayang jika ide yang banyak tidak ditulis, hanya karena ‘tak ada honor’. Jika memang orientasi penulis adalah honor, bisa banyak menulis dan mengirimkannya pada media berhonor. Secara kuantitas memang akan banyak karya yang bisa dihasilkan; minggu ini dimuat di media A, minggu depan di media B, C, D, dst, dst. Tetapi, bagaimana dengan kualitas?
Gaya ‘kejar tayang’ atau ‘kejar target’ karena melulu mengejar honor dalam beberapa kasus membuat kualitas tulisan ‘segitu-gitu’ saja bahkan tak bagus/jelek. Mungkin saya keliru, karena sifatnya relatif. Namun, saya melihat, motivasi menulis juga menentukan kualitas karya.
Profesi Pengarang/Penulis
Novelis terkenal Nh. Dini (1936-2018) dalam buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (Jilid 2)—terbit pertama kali pada 1982 dan disunting oleh Pamusuk Eneste—menyebut, kerja kreasi selalu sukar dijalankan dengan kerja yang menghasilkan kebendaan, dengan kata lain: uang. Sebab itulah, karena alasan kesehatan dan beberapa persoalan lain (kala itu), Nh. Dini memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah sempat lama bermukim di Eropa, dan menjadi ‘pengarang penuh’. “Itu hanya dapat dicapai dengan penciptaan dan penulisan ‘komersial’, yaitu menerima pesanan yang sejalan dengan pure art saya,” tulis pengarang novel Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, Keberangkatan, dan La Barka itu.
Bagi Nh. Dini, selain ketenangan hati, seorang penulis membutuhkan “untuk tidak memikirkan” ini-itunya keperluan hidup sehari-hari. Untuk itu, kegigihan dan keuletan bagi seorang pengarang atau penulis merupakan elemen atau faktor penting dalam kehidupan. Suka mengarang tanpa disertai keuletan dan dorongan untuk selalu menghasilkan yang lebih baik dan yang lebih baik lagi, paling sedikit selalu bernilai sejajar, hanya akan tetap menjadi orang “yang suka mengarang”.
Menurutnya, sebutan pengarang mengandung segala risiko; seorang pengarang masih belum dapat hidup dari karangannya di Indonesia. Meskipun perhatian masyarakat dalam daya beli buku semakin membaik, seorang pengarang “biasa” belum bisa hidup santai dari hasil karangan-karangannya.
“Oleh karenanya, dia mempunyai kerja sampingan, umpamanya menjadi guru, wartawan atau jabatan lain, bahkan yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dunia penulisan atau sastra,” begitu Nh. Dini menulis pada buku yang memuat proses kreatif dan pengalaman 11 sastrawan terkemuka Indonesia tersebut.
Apa yang dirasakan Nh. Dini pada masa itu, kini tentu telah sedikit berubah. Banyak pengarang atau penulis di Indonesia yang buku-bukunya laku keras (best seller), dicetak berulang kali, yang membuat mereka bisa hidup secara mapan. Sebut saja Ayu Utami, Dewi Lestari, Andrea Hirata, dan juga Tere Liye yang membuktikan bahwa pengarang dan penulis adalah profesi yang menjanjikan. Jejak mereka pun banyak diikuti oleh para penulis muda di Indonesia.
Hanya saja, proses jatuh-bangun terutama saat memulai karir menulis tetaplah perlu dirasakan dan dilakoni oleh para penulis pemula. Dari tulisan yang ‘ditolak’ atau belum lolos kurasi redaktur media, dianggap kurang bagus oleh kritikus sastra atau bahkan yang menjadi ‘korban’ plagiasi oleh penulis lain—semuanya mesti dilalui, untuk kemudian menjadi matang baik dari segi kualitas maupun konsistensi dalam berkarya. Tidak ujug-ujug bertanya apakah tulisan mendapat honor atau tidak; sementara pada kesempatan yang sama ada puluhan penulis lain rajin mengirimkan karya mereka ke media cetak maupun media daring, yang menjadikan dunia kepenulisan di Indonesia bertambah semarak dan “hidup” dewasa ini. [T]
- BACA artikel lain dari penulisANGGA WIJAYA