JAKARTA – TATKALA.CO — Konsumsi dan perdagangan hiu dan pari di Indonesia masih marak terjadi. Pola konsumsi dan perdagangan spesies yang berlebihan ini telah mencapai 484 ton pada 2019.
Menyikapi hal ITU, Indonesia telah berkomitmen untuk melindungi serta melestarikan hiu pari melalui berbagai kebijakan inisiatif, seperti penetapan kawasan konservasi, penetapan status perlindungan, dan pengaturan perdagangannya melalui konvensi internasional untuk perdagangan spesies terancam punah (CITES).
Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia (Dirjen PRL-KKP), Victor Gustaf Manoppo, mengatakan, konservasi hiu dan pari dipandang strategis mengingat peran pentingnya dalam menjaga kelestarian ekosistem dan tingkat pemanfaatannya yang tinggi baik sebagai perikanan target maupun tangkapan samping.
“Untuk itu upaya konservasinya mencakup perlindungan habitat maupun pengaturan pemanfaatannya,” kata Victor.
Hingga saat ini, KKP telah menetapkan 28 kawasan konservasi yang terdapat hiu dan pari sebagai target konservasinya. Selain itu, dalam pengendalian pemanfaatan perdagangannya, telah mencatat 26.090 dokumen Surat Angkut Jenis Ikan (SAJI) selama 2021-2024 untuk hiu dan pari dari 512 perusahaan dengan bentuk pemanfaatan berupa sirip 40%, daging 25%, dan kulit 15%. Selanjutnya, KKP juga mendorong berkembangnya pemanfaatan hiu dan pari sebagai objek wisata bahari berkelanjutan di beberapa lokasi.
National Coordinator for Marine ETP Species WWF-Indonesia, Ranny Yuneni, mengatakan selama 10 tahun terakhir, WWF-Indonesia sudah mendorong mahasiswa dari lebih dari 15 universitas untuk melakukan penelitian tentang hiu dan pari sejak tahun 2014. “Dan kita juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari pemimpin muda hiu dan konservasi di Indonesia,” kata Ranny.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berkolaborasi dengan Universitas Indonesia, Yayasan WWF Indonesia, USAID-Kolektif, dan Konservasi Indonesia kembali melaksanakan simposium hiu dan pari Indonesia yang keempat.
Acara itu diselenggarakan pada 21-22 Mei 2024 di Universitas Indonesia.
Simposium keempat ini diharapkan menjadi wadah untuk lebih memahami status konservasi hiu dan pari, sambil juga menangani dimensi manusia dengan mengkaji aspek sosial-ekonomi yang terkait dengan konservasi mereka.
Pada kesempatan ini, WWF-Indonesia juga meluncurkan serial buku Panduan Pendugaan Cepat Hiu dan Pari, Panduan untuk Menentukan dan Mengidentifikasi Habitat Kritis untuk Memulihkan Populasi Spesies Hiu dan Pari, dan Panduan Praktis Perancangan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Hiu dan Pari.
Serial buku panduan ini telah diserahkan secara simbolis dari Direktur Program Kelautan dan Perikanan WWF-Indonesia, Imam Musthofa Zainudin, kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diwakili oleh Firdaus Agung, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, dan kepada Dede Djuhana selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Dalam sambutannya, Imam Musthofa Zainudin, Direktur Program Kelautan dan Perikanan WWF-Indonesia mengungkapkan, dari hasil simposium hiu dan pari ini, akan menjadi acuan untuk WWF-Indonesia dalam mendukung program ekonomi biru yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia, terutama dalam mengurangi ancaman dan melindungi habitat kritis hiu pari dalam skema perluasan kawasan konservasi di Indonesia.
“Hal tersebut juga berkontribusi kepada komitmen Pemerintah Indonesia ke global untuk memiliki 30% Kawasan konservasi kelautan pada tahun 2045,” kata Imam. [T][Rls/Ado]
Sumber: Rilis WWF-Indonesia
Editor: Adnyana Ole