Di Tanah Lada merupakan sebuah novel karangan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2015. Novel Di Tanah Lada menjadi pemenang juara dua pada sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014 dan menjadi novel yang cukup dikenal oleh masyarakat.
Cerita dalam novel ini bertema kekerasan pada anak-anak dengan menggunakan latar kota metropolitan yang memiliki kesan dunia bebas dan keras.
Walaupun secara umum novel ini menceritakan tentang kekerasan pada anak (Child Abuse), namun novel Di Tanah Lada sebenarnya menceritakan tentang kepolosan cara berpikir anak kecil yang menjadi tidak percaya kepada adanya kebaikan dari seorang ayah di dunia ini, hal tersebut terjadi karena anak sering disakiti oleh ayahnya.
Novel ini juga bercerita tentang dua orang anak kecil yang tulus ingin hidup bahagia bersama di kehidupan yang lain setelah mengalami kehidupan buruk di kehidupannya sekarang, hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk bunuh diri.
Kisah dalam novel ini banyak terjadi di dunia nyata dan sering memakan banyak korban. Terutama di kota metropolitan Jakarta, keras dan liarnya persaingan hidup di ibukota menjadi faktor utama hal ini terjadi.
Pada dasarnya sebuah karya sastra diciptakan berdasarkan fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti kekerasan, kemiskinan, pengangguran, serta keterbelakangan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Endraswara (dalam Kadir, 2021: 173) bahwa pemicu lahirnya karya sastra adalah kehidupan sosial.
Sejalan dengan pendapat tersebut, sebuah karya sastra terutama novel biasanya ditulis dengan merefleksikan kehidupan sosial di sekitar penulis.
Dalam novel Di Tanah Lada anak-anak diperlakukan secara kasar oleh sang ayah yang seharusnya dapat menjadi pelindung bagi anak-anaknya. Salva adalah seorang anak perempuan yang sering mendapat perlakuan buruk dari sang papa, Salva kerap kali mendapat ucapan bahkan sang papa tidak segan-segan berlaku kasar terhadapnya.
Saat Salva berada di Rusun Nero, Salva bertemu dengan seorang anak laki-laki bernama P, P hidup bersama dengan sang papa, tidak jauh berbeda dengan nasib Salva, Ia juga sering mendapat tindakan kasar dari sang papa. Sesuai dengan kodratnya, dunia anak-anak seharusnya diisi dengan hal yang indah, hal-hal yang dapat membuat anak merasa bahagia layaknya anak yang hidup bahagia bersama kedua orang tuanya. Hidup dengan mendapat kasih sayang dari orang tua, perhatian yang cukup, serta segala kebutuhannya dapat terpenuhi.
Kehidupan anak-anak malang, seperti Salva yang sejak kecil sudah dianggap ludah oleh sang papa dan hampir diberi nama saliva karena menganggap Salva tidak berguna, selalu memberikan kata-kata buruk yang tidak pantas didengar oleh seorang anak kecil, hingga puncaknya ketika papanya tega mengurung Salva yang sedang tertidur di dalam koper.
Kemudian terdapat kisah P, anak laki-laki yang tidak sengaja bertemu dan berteman dengan Salva yang memiliki kisah hampir sama dengan Salva yaitu dibesarkan oleh papa yang ternyata bukan papa kandungnya dan selalu mendapat perlakukan kasar dari sang papa berupa disiksa dengan kejam.
Kisah P sedikit lebih menyedihkan jika dibandingkan dengan Salva, karena P dibesarkan oleh orang tua angkat yang ternyata adalah suami dari kakak ibu kandungnya sendiri, dan hingga pada akhirnya P mengetahui bahwa orang tua kandungnya adalah dua orang yang sudah P anggap kakaknya sendiri, yang sudah mengajari dan mendampingi P selama di Rusun Nero.
Permasalahan hidup kedua anak tersebut yang menuntun mereka untuk melakukan bunuh diri, bunuh diri yang Salva dan P anggap sebagai jalan agar mereka dapat hidup bahagia di kehidupan yang lain.
Terlepas dari berbagai konflik dalam novel ini, novel karangan Ziggy Zezysyazeoviennazabrizkie ini memiliki sebuah keunikan yang dapat menjadi daya tarik bagi pembacanya. Salva, seorang anak berusia enam tahun yang pandai dalam berbahasa Indonesia, setiap Salva berbicara dengan orang lain pasti menggunakan bahasa baku sesuai ejaan bahasa Indonesia yang benar.
Oleh karena itu, bahasa dalam novel ini menggunakan bahasa seorang anak kecil yang lugu dengan bahasa Indonesia baku, Ziggy seolah-olah mengajak para pembacanya merasa sensasi sedang mengobrol dengan seorang anak kecil.
Salva pandai berbahasa Indonesia dengan baik dan benar bukan tanpa alasan, pada saat ulang tahunnya yang ke tiga Salva diberi hadiah oleh kakeknya sebuah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus tersebut selalu Salva bawa ke mana pun Ia pergi agar jika kesulitan mengetahui arti sebuah kata Ia dapat langsung mencarinya di kamus. Akan tetapi, yang disayangkan adalah kepandaiannya itu dianggap remeh dan tidak membanggakan sang ayah.
Kisah dalam novel ini tidak hanya menceritakan tentang penderitaan Salva saja, sang ibu juga merasakan penderitaan yang sama. Ibu Salva sering bertengkar, diperlakukan kasar, hingga dipaksa oleh papa Salva untuk menemaninya berjudi. Tidak jarang Salva menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar, tidak jarang Salva diberi uang oleh sang mama agar keluar rumah saat orang tuanya bertengkar.
Kekerasan rumah tangga sudah menjadi hal yang biasa di Indonesia, KDRT dapat terjadi apabila budaya patriarki masih menjadi pedoman dalam realita sosial budaya Indonesia. Dalam novel Di Tanah Lada, kekerasan yang dilakukan oleh papa Salva terhadap mama Salva sesuai dengan pendapat ha. F. Nadia (Nurachmad, 2013: 100), kekerasan tersebut dapat berupa penyiksaan emosi, penyiksaan ekonomi yang membuat istri selalu bergantung secara ekonomi, dan ancaman akan siksaan.
Ziggy mengemas tindakan kekerasan rumah tangga ini dalam beberapa bentuk, seperti dalam bentuk verbal (Verbal Abuse) yaitu pada saat papa Salva menyalahkan mama Salva dan Salva karena selalu menghabiskan uang. “Papa balik berteriak lagi, “MASIH INGAT! KARENA KERJAAN DIA CUMA MALAS-MALASAN MENGHABISKAN UANGKU! COBA KAU DIDIK DIA UNTUK BEKERJA! BUKAN UNTUK JADI PEMALAS SEPERTIMU!”” (Hal 16).
Beberapa tindakan lain yaitu kekerasan nonverbal, yaitu pada saat papa dan mama Salva bertengkar karena Salva membawa P ke dalam kamar di Rusun Nero dan akhirnya papa Salva menyebut Salva sebagai jalang, setelah pertengkaran itu, tindakan KDRT pun terjadi. “ITU ANAK DIDIKANMU! DARI KECIL SUDAH JADI JALANG!”. Lalu mama tampaknya marah sekali sehingga badannya gemetaran. Dia melemparkan tas yang dia pegang ke arah papa. Tasnya mengenai kepala papa. Lalu papa menggeram keras-keras seperti monster. Dia menerjang mama dan mendorongnya sampai menabrak pintu. Kemudian, papa menampar mama.” (Hal 48)
Dalam cerita ini, anak dibuat takut dan trauma dengan perlakuan sang ayah yang selalu menyakitinya. Perlakuan-perlakuan yang dianggap sepele oleh orang tua ternyata sangat berpengaruh pada psikologis anak. Tindakan KDRT yang orang tua lakukan di depan anak dapat memberikan resiko kesehatan fisik maupun mental dalam jangka panjang, seperti pendapat Aghnis Fauziah bahwa anak yang menyaksikan KDRT akan mempelajari kekerasan dari lingkungannya tersebut, yaitu anak meyakini bahwa orang lain tidak bisa dipercaya, meyakini bahwa dunia tempat yang mengerikan dan tidak aman, meyakini bahwa laki-laki jahat, suka mengatur, dan kejam, serta meyakini bahwa perempuan lemah dan tidak berdaya.
Beberapa hal tersebut benar-benar terjadi pada Salva dan P. “Mama aku sama sekali nggak ingat aku. Berarti dia nggak sayang” (hal 154). Sesuai dengan pendapat sebelumnya, keyakinan kedua anak tersebut hilang sejak Salva dan P mendapat perlakuan buruk dari ibunya. Tidak hanya itu, Salva dan P menganggap semua papa di dunia ini jahat. “Ih, kok begitu sih?” Aku bergumam, sebal. “Kamu jangan jadi papa, dong. Nanti kamu jadi jahat.” (hal 160).
Salva dan P kompak untuk tidak mau menjadi mama dan papa karena mereka menganggap mama dan papa adalah orang yang buruk, jadi Salva dan P memutuskan untuk menjadi kakek dan nenek. Hal itu disebabkan karena kakek Salva, Kakek Kia, dan nenek Salva, Nenek Isma, mereka berdua dianggap orang-orang yang baik oleh Salva.
Berdasarkan beberapa kejadian tindak kekerasan, baik kepada anak maupun dalam rumah tangga tersebut terjadi salah satunya disebabkan oleh faktor lingkungan tempat tinggalnya. Rusun Nero, sebuah rusun di pinggiran kota Kota Jakarta yang berdiri di pemukiman penduduk kumuh dengan segala kekacauannya. Rusun Nero menjadi tempat tinggal beberapa orang dengan latarbelakang buruk, di sekitar rusun terdapat sebuah kasino (tempat perjudi) yang menjadi surga bagi orang dengan kelas sosial rendah hingga menengah penggila judi. Tidak heran jika papa Salva memilih pindah ke Rusun Nero, karena papa Salva adalah seorang penjudi yang rela menghabiskan warisan dari kakek Kia hanya untuk berjudi. “Ya! Bagus, kan? Kau lihat gang kecil di samping rusun ini? kalau kita lewat sana, terus saja, bisa langsung tembus ke kasino! Lihat! Luar biasa, kan?”
Begitu pula dengan papa P, Ia adalah seorang yang hobi berjudi, keluar rusun hanya ketika di malam hari dan kembali saat pagi harinya. “Kalau di atas jam7, Papa pergi main judi. Jadi, rumah kosong.”
Faktor lingkungan dan ekonomi menjadi faktor pendukung terjadinya kekerasan pada anak maupun dalam rumah tangga. Hal ini sesuai dengan pendapat Soetjiningsih (2002), kekerasan anak dan rumah tangga dipicu oleh tuntutan ekonomi yang semakin meningkat, pada akhirnya rasa kecewa dan marah orang tua dilimpahkan kepada anak karena kelemahan seorang anak yang dapat diperlakukan semena-mena oleh orang tua.
Jika dilihat dalam kisah pada novel Di Tanah Lada, kasus P adalah permasalahan yang kompleks terkait beberapa faktor yang dibahas sebelumnya. P menjadi korban kebencian sang papa, setiap melihat P pasti papa P merasa benci dan kesal karena ia menganggap P adalah beban hidupnya yang merepotkan. Padahal jika dilihat pada kenyataan sebenarnya, P adalah orang yang membiayai kebutuhan sang papa mulai dari membayar sewa kamar rusun hingga sang papa sering meminta uang pada P untuk judi, padahal P baru berusia sepuluh tahun. [T]