DENPASAR | TATKALA.CO — Pada Hari Tuna Sedunia, para ilmuwan perikanan dan pembuat kebijakan di Indonesia, Filipina, dan Vietnam mendesak visi kolektif dan strategi regional yang lebih kuat untuk mempertahankan perikanan tuna sirip kuning di Western Central Pacific Ocean (WCPO), atau Samudera Pasifik Tengah Barat.
Ini merupakan pertemuan keempat sejak tahun 2022, para delegasi menyatakan meningkatnya urgensi untuk menyelaraskan langkah-langkah konservasi tuna sirip kuning (Thunnus albacares) di WCPO – yang menampung perikanan tuna terbesar di dunia – untuk menghindari aktivitas perikanan tuna yang merusak.
“Implementasi harvest strategy sebagai kebijakan pengelolaan perikanan tuna di Western & Central Pacific Fisheries Commission itu penting. Namun trend penurunan stok tuna di perairan ini nyata, sehingga tidak perlu menunggu pengesahannya tetapi perlu segera dilakukan langkah mitigasi seperti mereduksi tangkapan juvenile tuna, meningkatkan pengelolaan di area pemijahan, dan langkah lainnya untuk memastikan stok tuna di perairan ini tetap berada pada batas aman, karena waktu tetap berjalan,” ujar Dr. Imam Musthofa Zainuddin, Direktur Program Kelautan dan Perikanan, Yayasan WWF Indonesia.
Meski telah dinyatakan overfished oleh Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), populasi tuna madidihang terus mengalami penurunan di Samudra Hindia. Rencana pemulihan stok tuna madidihang yang kritis masih menjadi perdebatan di antara para pemangku kepentingan dan akan dibahas kembali pada pertemuan tahunan IOTC di Bangkok, 13-17 Mei 2024 mendatang. Para pelaku perikanan dipanggil untuk tidak menunda aksi pengelolaan tuna dengan dalih membutuhkan lebih banyak data maupun waktu.
“Terlalu riskan jika kita berasumsi laju penurunan populasi madidihang di wilayah WCPO akan mengikuti tren data terkini. Dengan adanya faktor perubahan iklim, tingkat rekrutmen ikan yang rendah, serta faktor-faktor kompleks lainnya, kita perlu menyiapkan diri untuk melaksanakan strategi pengelolaan yang telah disepakati agar populasi tuna madidihang tetap bertahan, selagi populasinya masih dalam batas aman,” ujar Dr. Fayakun Satria, Kepala Pusat Riset Perikanan, BRIN.
Penangkapan ikan berlebih dan peningkatan suhu laut telah mengguncang dinamika perikanan tuna, sehingga mempengaruhi masyarakat pesisir yang bergantung padanya. Berdasarkan pengalaman komunitas nelayan tuna di Selat Mindoro, Filipina, mereka mengaku kini harus memacu kapal hingga 40 kilometer dari tepi pantai dan menghabiskan satu sampai dua minggu di laut untuk mendapatkan hasil tangkapan sepadan dengan 3-7 hari melaut di masa lalu.
Pemerintah Indonesia mengumumkan pengurangan kuota tangkapan tuna madidihang dan cakalang di wilayah perairan kepulauan hingga 10% untuk tiga tahun mendatang. Hal ini dilakukan sebagai implementasi pendekatan Strategi Pemanfaatan Tuna Tropis yang telah disepakati oleh para pelaku perikanan tuna di Indonesia tahun lalu. Di sisi lain, Filipina dengan produksi tuna mencakup 10% dari total produksi perikanan nasionalnya, melakukan langkah pengelolaan tuna melalui kebijakan Strategi Pengelolaan Tuna Nasional yang menjadi kunci untuk menyeimbangkan kebutuhan sosio-ekonomi dan perikanan berkelanjutan.
Meski 43% produksi tuna madidihang di WCPO bersumber dari perikanan kepulauan, sebagian besar hasil produksinya (57%) beredar di luar wilayah perairan kepulauan WCPO. Hal ini membuat strategi panen yang diselaraskan secara regional menjadi sangat penting, agar stok tuna sirip kuning di WCPO dapat dikelola dengan efektif.
Didukung oleh WWF dan Masyarakat dan Perikanan Indonesia, rangkaian dialog ini bertujuan untuk mendukung pemerintah dalam menyamakan pemahaman akan tujuan, tantangan, dan ambisi kebijakan pengelolaan tuna tropis masing-masing negara. Koalisi informal ini akan terus menggawangi diskusi antara Indonesia, Filipina, dan Vietnam dalam mempererat komitmen dan kerja sama regional di Western Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC).
“Koalisi tiga negara ini merupakan wadah yang penting untuk mendiskusikan posisi masing-masing negara dalam pengelolaan stok perikanan tuna di wilayah ini, mengingat ketiga negara merupakan negara kepulauan dan berkembang. Dengan bekerja sama, kita dapat mengidentifikasi isu-isu penting untuk mengambil langkah dan diskusi bersama di level WCPFC,” ujar Joeren Yleana, Pengawas Akuakultur Bureau Fisheries and Aquatic Resources (BFAR), Filipina.
“Keterlibatan antara Vietnam, Indonesia, dan Filipina dalam pengelolaan tuna bukanlah hal baru. Kami telah bekerja sama lebih dari 10 tahun untuk isu ini melalui wadah West Pacific East Asia Project. Ini merupakan langkah konkrit kami dalam mempererat kolaborasi dan kepercayaan satu sama lain melalui dialog-dialog reguler. Di sini, kita dapat mengidentifikasi dan membahas isu-isu penting yang, tidak hanya menguntungkan ketiga negara, tetapi juga pihak dan lembaga lain yang lebih besar, seperti WCPFC,” jelas Dr. Hai Duyen Vu, Direktur Perikanan Tangkap Department of Fisheries (DoF) Vietnam. Kini, Vietnam sedang menyusun rencana pengelolaan tuna pertamanya yang akan mengatur kuota perikanan dan zona tangkap yang diperbolehkan.
Koalisi ini menegaskan bahwa visi dan strategi regional untuk perikanan tuna sirip kuning yang berkelanjutan adalah suatu keharusan. Hal ini akan berpengaruh pada komitmen penting lainnya terhadap isu perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan tujuan pembangunan berkelanjutan lainnya; sebuah poin yang telah disampaikan pada pertemuan tahunan WCPFC lalu. Selain itu, koalisi ini juga membahas topik-topik perikanan penting lainnya, termasuk kesejahteraan nelayan skala kecil, pengurangan tangkapan tuna kecil, pemberantasan praktik perikanan ilegal, serta penguatan keamanan pangan dan resiliensi perubahan iklim melalui penguatan pasar domestik dan keseimbangan sosio-ekonomi. [T][Rls/Ado]