TAK keliru Made Taro disebut sebagai maestro tradisi lisan, khususnya pada genre dongeng dan permainan tradisional. Kesetiaannya pada dongeng dan permainan mungkin sulit ditandingi. Lelaki kelahiran 16 April 1939 itu tidak pernah berhenti mendongeng. Lebih dari separuh hidupnya, sejak tahun 1973 hingga kini saat usianya yang sudah melewati 85 tahun, Made Taro terus berkeliling mendongeng sambil bermain.
Tiap tahun, dia setidaknya menulis dua buku dongeng. Buku-buku itu dia terbitkan sendiri, dengan biaya sendiri, bahkan juga dia pasarkan sendiri.
Tiga tahun terakhir, Made Taro menerbitkan lima buku dongeng. Kelima buku dongeng itu, yakni Seni Tutur Sang Penolong (April 2022) yang berisi 14 dongeng, Seni Tutur Aku Cinta Ayah Bunda (November 2022) dengan 10 dongeng, Seni Tutur Dari Rumah Dongeng (Juli 2023) berisi 20 dongeng, Seni Tutur Dongeng Masa Kini (Oktober 2023) memuat 20 dongeng, dan Seni Tutur Bali Berkisah (Januari 2024) juga memuat 20 dongeng. April 2024, tebit lagi satu buku dongengnya bertajuk Dongengku Cerminku. Total tercatat ada 54 buku yang telah ditulis Made Taro.
Mengingat Dongeng, Mengingat Jati Diri
Ada sesuatu yang berbeda dari lima buku dongeng Made Taro itu. Kelimanya diberi tajuk “seni tutur”. Kelimanya juga menggunakan bentuk puisi. Sebelumnya, dongeng-dongeng Made Taro disajikan dengan gaya prosa. Karena itu, lima buku ini dapat dianggap sebagai wajah baru dongeng-dongeng Made Taro.
Disebut ‘wajah baru’ karena sebagian besar dongeng dalam kelima buku itu adalah penceritaan kembali ke dalam bentuk puisi dongeng-dongeng sebelumnya yang disajikan dalam bentuk prosa. Hal itu tampak sangat dominan dalam buku Seni Tutur Bali Berkisah. Dongeng tentang manusia tidak melihat dewa hingga dongeng Ajisaka sudah diceritakan Made Taro secara prosais dalam buku-buku dongeng sebelumnya.
Namun, ada juga dongeng-dongeng baru yang belum pernah dimuat dalam buku-buku sebelumnya. Ada dongeng baru yang ditulis setelah mendapat inspirasi dari cerita rakyat di suatu daerah atau negara, ada juga dongeng baru yang ditulis berdasarkan pengalaman masa kecil penulisnya. Dongeng baru atau diinspirasi dari sejumlah cerita rakyat itu tampak dalam buku Seni Tutur Dari Rumah Dongeng dan Seni Tutur Dongeng Masa Kini.
Label ‘seni tutur’ tampaknya dimaksudkan Made Taro untuk menegaskan aspek fungsi didaktis dongeng-dongeng itu untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan sehingga dapat dijadikan cermin oleh pembaca. Dalam tradisi Bali, menurut Ki Nirdon dalam buku Wija Kasawur (1992), kata tutur memang bermakna mendalam. Tutur berasal dari bahasa Jawa Kuna yang bermakna ‘ingat’ atau ‘sadar’. Melalui teks-teks tutur, masyarakat Bali belajar untuk senantiasa ingat dan sadar akan jati dirinya, dari mana dia berasal, yakni sangkan paraning dumadi.
Karena itu, penggunaan istilah ‘seni tutur’ dalam buku-buku dongeng mutakhir Made Taro dapat dibaca sebagai upaya Made Taro mengingatkan para pembacanya bahwa dongeng bukan sekadar pelipur lara atau cerita pengantar tidur untuk anak-anak, melainkan juga mengandung nilai-nilai moral dan ajaran kehidupan yang sarat makna.
Sayangnya, dalam pandangan Made Taro, banyak yang meragukan peranan dongeng di masa kini. Kerap kali dongeng dipandang remeh sehingga keberadaannya terabaikan. Padahal, masih menurut Made Taro, dongeng terasa makin menantang. Dongeng “menyimpan kejujuran dan penipuan”, “menyimpan kerendahhatian dan kesombongan”. Made Taro mengilustrasikan sikap orang-orang di masa kini yang melupakan dongeng itu dalam puisi pembuka pada buku Seni Tutur Dongeng Masa Kini seperti berikut ini.
………….
Belum juga kau memaklumi
Kau hanya menuntut kue enak masa kini
Tapi melupakan bubur kebijakan masa lampau
Ia adalah bubur leluhur
Yang diwariskan turun-temurun
Ia mampu menyuapkan bubur-bubur
Masa lampau dan masa kini
Ribuan kali ia mengingatkan,
“Jangan lupakan, jangan abaikan
Jangan buang aku di tempat sampah.”
Puisi ini tak pelak dapat dibaca sebagai ungkapan suara hati Made Taro agar dongeng tak diabaikan di masa kini. Menurutnya, dongeng tetap punya peran penting dalam kehidupan, betapa pun modernnya atau betapa pun teknologi informasi sudah sedemikian canggih. Manusia tetap membutuhkan dongeng sebagai tempat bercermin. Itu pula pesan yang diusung dalam buku keenamnya ini.
Puisi Anak
Pilihan Made Taro untuk menceritakan dongeng-dongengnya dalam bentuk puisi juga menarik untuk dicermati. Selain karena tampak konsisten dalam lima buku terakhirnya, Made Taro juga mengaku pilihannya itu didasari oleh pandangannya bahwa dongeng-dongeng selama ini sangat jarang ditulis dalam bentuk puisi, terlebih lagi puisi anak.
“Sepertinya genre puisi anak sangat terbatas dan kurang mendapat perhatian para peneliti sastra,” kata Made Taro dalam suatu perbincangan di teras rumahnya.
Padahal, menurut Made Taro, produksi puisi umum atau puisi untuk pembaca dewasa sangat melimpah. Karena itu, upaya Made Taro dapat dimaknai sebagai mengisi kekosongan dunia puisi anak sehingga patut dihargai.
Puisi anak pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan puisi pada umumnya. Menurut Burhan Nurgiyantoro dalam buku Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak (2005) penulisan puisi anak mesti memperhatikan unsur-unsur pembentuk puisi, terutama diksi, bunyi, dan rima. Hanya saja, dalam puisi anak, struktur, diksi, ungkapan dan kemungkinan pemaknaan, masih lebih sederhana. Kesederhanaan itu tentu saja selaras dengan dunia anak. Namun, dalam hal ‘permainan bahasa’, puisi anak biasanya menunjukkan intensitas pendayagunaan bahasa dengan mengutamakan kemunculan aspek rima dan irama atau berbagai bentuk pengulangan.
Seperti halnya dunia sastra anak pada umumnya, menulis puisi anak juga tidak mudah. Selain penggunaan bahasa yang sederhana, puisi anak juga harus merepresentasikan dunia anak yang wajar sesuai perkembangan kejiwaan anak-anak. Itu sebabnya, bisa dipahami jika ada sastrawan yang sudah berpengalaman mengatakan jauh lebih sulit menulis cerita anak dibandingkan novel umum.
Leon Agusta merupakan salah satu di antara sedikit penyair Indonesia yang berhasil menulis puisi anak. Salah satu puisinya yang terkenal, yakni “Putri Bangau”.
Putri Bangau
Konon dahulu di negeri Jepang
Tersebutlah tentang sebuah dongeng
Mengisahkan seekor bangau yang malang
Sayapnya luka tak bisa terbang
Seorang Pak Tani setengah baya
Menemukannya dekat telaga
Bangau dipungut diobatinya
Sehingga sembuh sayap yang luka
…………..
Puisi ini diangkat dari dongeng orang Jepang tentang seorang petani miskin yang tinggal di hutan. Suatu hari dia menolong seekor bangau yang terluka. Setelah sembuh, si bangau berjanji suatu ketika akan membantu sang petani. Sampai akhirnya si bangau datang lagi menjelma sebagai seorang putri cantik. Putri ini dinikahi sang petani. Ketika petani bekerja di ladang, sang purti cantik menenun kain sutra di rumah. Setelah selesai, kain hasil tenunan itu dijual ke kota. Karena sangat bagus, kain itu laku keras.
Sang pembeli yang seorang pedagang meminta dibuatkan kain lagi, namun putri cantik menolak. Akan tetapi, sang petani mendesak sehingga putri cantik mau membuatkan dengan syarat agar selama menenun dia tidak diintip. Ternyata, selama sang putri menenun, petani mengintipnya. Dia melihat seekor bangau mencabuti bulunya sendiri untuk dijadikan kain tenun. Setelah jadi, kain itu diserahkan sang putri kepada petani. Namun, sang putri meninggalkan petani karena merasa petani ingkar janji. Akhirnya, petani tinggal sendirian dan penuh penyesalan.
Jika Leon Agusta tampak bersetia dengan gaya pantun dan menjaga rima akhir, Made Taro terlihat lebih bebas. Bait-bait dalam puisi anak Made Taro lebih beragam dan tak selalu terpaku dengan rima akhir. Made Taro tampaknya tak menempatkan keindahan puisi anaknya pada struktur fisik, tetapi mengajak pembacanya menyelam pada keindahan narasi.
Seperti halnya Leon Agusta, Made Taro juga memiliki latar belakang sebagai penyair. Sebelum dikenal sebagai pendongeng, Made Taro adalah seorang penyair. Dia menulis puisi dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Pengetahuan dan pengalamannya mengenai puisi sangat mempengaruhinya menulis puisi anak. Hal itu dikombinasikan dengan pengalaman panjangnya menyelami dunia anak melalui dongeng dan permainan tradisional. Puisi-puisi anak Made Taro dalam buku seri seni tutur ini tetap mampu menjaga kesederhanaan dan kebersahajaan dunia anak-anak.
Melalui puisi anak, dongeng-dongeng Made Taro, baik yang diangkat dari cerita rakyat maupun pengalaman pribadinya di masa kecil, menjadi lebih indah dan segar. Hal itu karena Made Taro mempertimbangkan betul aspek diksi, bunyi, rima bahkan ketukan nada. Namun, tetap mempertimbangkan kewajaran dalam pengucapan. Karena itu, puisi-puisi anak dalam buku seri seni tutur karya Made Taro cocok dibacakan di depan panggung.
Dongeng-dongeng Made Taro dalam buku-buku seri seni tutur bukan sekadar hadir dengan wajah baru, tetapi juga semangat baru. Semangat yang tak pernah luntur menjaga tutur-tutur luhur para leluhur. [T]
BACA artikel lain ULAS BUKU atau artikel sastra dan kebudayaan lain dari penulis MADE SUJAYA