PADA malam menjelang 29, sehari sebelum lebaran, di depan pintu setiap rumah, entah pintu depan, samping, maupun belakang, terdapat bonggol jagung yang dilumuri minyak tanah lalu ditusuk sebatang buluh—seperti hendak membakar jagung—dan dipacak di tanah kemudian dibakar. Bonggol itu menjelma obor kecil yang meliuk diterpa sore yang gerah. Orang Dusun Karang Binangun menyebutnya “colok”.
Tak jelas kapan tradisi ini dimulai. Dan tak jelas pula apa tujuannya. Di Karang Binangun, sejarah gelap seperti gang-gangnya yang sempit. Tetapi, terkait tujuannya, menurut kakek-nenek, colok ini sebagai penerang bagi arwah-roh mereka yang lebih dulu mangkat, yang berkunjung ke rumah saat malam 29. Penjelasan yang agak sulit diterima memang, tapi ini kepercayaan yang sudah dianut berabad-abad silam.
Menjelang lebaran, selain membakar colok dan menancapkannya di depan setiap pintu, Dusun Karang Binangun tampak lebih bergeliat. Ibu-ibu sibuk di dapur, membuat jajanan yang akan dihidangkan di meja tamu. Jajanan macam peyek, kacang asin, marning, keripik singkong, dan keripik pisang, biasanya diatasi sendiri. Selebihnya, jajanan yang dianggap lebih kekinian, mereka memburunya di pasar.
Hari-hari seperti ini, bagai tak ada celah di pasar desa maupun kecamatan. Lapak-lapak kue kering dan jajanan ringan, lapak pakaian, sendal, kupluk, sampai lapak bunga, diserbu masyarakat. Bunga? Ya, untuk ditabur di kuburan keluarga—nyekar, ziarah.
Tapi sebelum nyekar, sementara ibu-ibu sibuk di pasar dan di dapur, bapak-bapak di Karang Binangun berbondong-bondong ke kuburan untuk melakukan resik—kegiatan bersih-bersih area pusara menjelang hari raya. Resik ini biasanya dilakukan dua hari sebelum Idulfitri. Maka, jika kau berkunjung ke Karang Binangun hari ini, kau tak akan mendapati semak-belukar di antara nisan yang ranggas.
Setelah resik di kuburan, para lelaki lanjut resik-resik di rumah. Mereka mengoyak sarang laba-laba yang bergelayut di sudut-sudut ruangan. Mengepel lantai, mencabut rumput liar di halaman dan di pinggir jalan, membenarkan letak meja-kursi setelah mencucinya dengan kasar, dan menata semua hal untuk dua tujuan utama: terlihat rapi dan layak huni.
Pekerjaan tak selesai di situ, pakan kambing dan sapi harus segera dipikirkan. Rumput dan reramban harus dikumpulkan lebih banyak dari hari biasanya. Setiap orang yang memiliki ternak harus menyiapkan tabungan pakan sebelum lebaran. Ini penting! Sebab pada saat hari raya, sebelum Asar menjelang, tak ada orang yang bekerja. Semua orang di rumah. Tapi setelah Asar, bapak-bapak akan ke tegal memberi pakan ternak. Lepas itu pulang, menyambut sanak-tetangga yang hendak beranjangsana.
Tapi itu hanya berlaku saat hari raya saja. Sehari setelahnya, orang-orang Karang Binangun akan kembali seperti hari-hari biasa—kembali ke pengaturan awal sebagai petani yang lebih banyak menghabiskan waktu siang hari di ladang daripada di rumah.
Dalam diri orang Karang Binangun, sebenarnya mereka nyaris menikmati puasa sepanjang hidup dan hari raya setiap harinya. Dalam kehidupan sosial dan politik, misalnya, mereka dipaksa puasa secara sistemik. Menahan diri untuk tidak memiliki hak sebagai warga negara secara sejati. Tapi bisa merayakan kebahagiaan hidupnya setiap hari dengan caranya sendiri.
Dan dalam hidup, sebagian dari mereka menahan lapar dari modernitas dan kemajuan dunia di luar sana. Tapi puas dan kenyang terhadap rasa syukur akan orisinalitas hidup mereka yang default dari Tuhan.
Karang Binangun menjelang lebaran adalah dusun yang dilanda ketidakpastian musim. Sekarang musim sangat susah diramal. Layaknya judi togel. Ada waktu-waktu tertentu ketika matahari bersinar dengan terang—dan panas, panas sekali. Tetapi hanya sepersekian menit dan tanpa diduga-duga, angin kembali mengirim matahari pulang, membuat terbirit-birit kumpulan awan hitam—walaupun terik membakar lebih banyak mengguyurnya daripada air yang menyejukkan. Tuhan, kacang tanah kami butuh air.
Saat panas, jalanan seperti dipanggang dan angin kering berembus membawa debu dan aroma kotoran ternak. Orang-orang berlalu-lalang dengan gerutu-gerutu. Para perempuan berkumpul di tiap-tiap beranda rumah sambil berbicara banyak hal—bahkan tak sanggup saya uraikan di sini. Setiap menit pembicaraan, mereka mengungkapkan teori yang sama bahwa matahari sesungguhnya tidak sepanas ini beberapa tahun sebelumnya.
Gumpalan rumput kering menggelinding dan berhenti terhalang pematang. Kemarau adalah musim yang dibenci kalong. Buah-buahan tidak mereka temukan. Serangga pun seperti tulisan yang dilalap oleh karet penghapus. Lenyap entah ke mana. Pada saat seperti ini, Karang Binangun tak lebih dari dusun miskin tegalan yang meratapi ketidakberdayaan di tengah tsunami modernitas yang nggegirisi.
Menjelang lebaran seperti sekarang, saatnya orang-orang Karang Binangun yang merantau—seperti saya—pulang ke rumah masing-masing, mudik. Perantau-perantau, termasuk saya, adalah jenis orang yang pandai menutupi luka-luka. Nyaris tak satu pun cerita sengsara di tanah seberang digumamkan. Otomatis, tanpa disadari, seolah hanya cerita manis dan capaian-capaian gemilang yang patut disampaikan. Kami, para perantau-perantau kampungan ini, adalah pembohong-pembohong ulung menjelang akhir Ramadan. Percayalah!
Ah, Karang Binangun yang kecil. Tempat saya dilahirkan. Tempat saya menusuk biji-biji mete dan menyusupkannya ke lapis terdalam dedaunan kering yang dibakar. Saat biji-biji itu mengepul dan hitam arang, saya membukanya dengan batu. Serpihan arangnya memberi noda di tepi beton telaga kecil berair cokelat—tempat saya memasukkan kaki ke dasarnya yang berlumpur dan penuh dengan pecahan rumah keong. Sebutir inti, kacang kecil di antara pecahannya, akan menggelinding ke mana saja. Saya hanya perlu mengusapnya dengan ibu jari, bahkan kadang tidak, sebelum memamahbiaknya.[T]