AKHIR-AKHIR ini hujan sering tertabur dengan serta merta. Kadang lembut seperti perawat yang sopan, kadang cepat dan mengejutkan seperti peristiwa kecelakaan. Bagiku, seperti apapun, sama saja; aku selalu lupa membeli jas hujan. Apabila hujan sudah tertabur, barulah aku ingat bahwa aku lupa membeli jas hujan; lantas aku akan mengutuk diri sendiri sambil susah payah mencari tempat berteduh yang hampir selalu sudah ditempati orang lain meskipun sebagian dari mereka mengenakan jas hujan lengkap. Mengherankan, untuk apa mereka mengenakan jas hujan kalau tak berniat menembus hujan?
Pastilah, sebetulnya, mereka malas ke tempat tujuan. Bukan tempat tujuan itu yang mereka inginkan, melainkan tempat lain, yang hangat dan tanpa beban; tempat yang bukan rumah di mana keluarga menerapkan aturan-aturan, di mana orangtua tak ada bedanya dengan majikan, atau sebaliknya: anak-anak tak ada bedanya dengan karyawan yang malas dan bengal. Sayangnya, tempat yang hangat dan tanpa beban itu bukan tujuan mereka, meski mereka sangat menginginkannya.
Beban dan tekanan memang ada di mana-mana, dan hujan, yang tertabur dengan serta merta ketika seseorang sedang berada di jalan menuju tempat yang tidak mereka inginkan, membuat beban dan tekanan itu kian berat dan menjengkelkan. Perjalanan menuju tempat yang tak diinginkan, tapi harus tetap dijalani, terhalang tanpa ada kepastian kapan halangan tersebut bakal hilang.
Malam itu hujan tertabur kembali. Aku mengutuk diri sambil berupaya mencari tempat menepi. Aku sedang berada di Jalan Pemuda, tak ada tempat menepi di jalan itu. Terpaksa aku berbelok ke sebuah areal kafe yang kelihatan sepi. Sebagian besar areal kafe itu terbuka; cuma ada kanopi berbentuk jaring yang tentu saja tak bisa menahan hujan. Hanya bagian belakang, tempat kasir dan meja racik, yang berbentuk bangunan, itu pun sempit saja. Tempias memuncrat ke seluruh bagian bangunan itu.
Aku berniat masuk ke bangunan itu tapi urung sebab aku melihat di sebelah kiri ada toko yang sudah tutup. Beranda toko itu bisa dipakai untuk berteduh sehingga aku tak perlu memesan minuman hanya untuk menunggu hujan reda. Pintu dan bagian depan toko itu terbuat dari kaca. Rupanya itu toko yang menjual buku-buku kedokteran. Dekat dari Jalan Pemuda memang ada sekolah tinggi keperawatan. Pemilik toko pasti berharap para mahasiswa di sekolah tinggi itu akan menjadi pelanggannya.
Aku mendekatkan muka ke pintu kaca. Bagian dalam toko remang-remang, sedang bagian dekat pintu cukup terang. Ada poster Tan Malaka ditempel di dinding sebelah kiri, entah apa hubungannya dengan kedokteran, juga selembar baju putih, yang bisa langsung ditandai sebagai seragam perawat atau dokter, digantung di dinding sebelah kanan.
Sebagaimana di bangunan kafe, tempias sampai juga ke teras toko buku itu. Aku nyaris menempelkan tubuh ke pintu kaca sambil memunggungi hujan dan malam; menghadapkan pandangan ke dalam toko. Pada saat itu, sekonyong-konyong, di bagian belakang toko ada yang bergerak-gerak. Seseorang muncul dari balik kegelapan, menunjukkan sosoknya. Ia menatapku, pandangan kami bertemu. Aku bisa menandainya: seorang perempuan mengenakan seragam perawat. Sosoknya semakin jelas setelah ia melangkah keluar dari areal gelap, mendekat ke arahku. Ia mengucapkan sesuatu, tapi aku tak bisa mendengar. Bukan cuma karena deras hujan, melainkan juga karena ia berada dalam ruangan; suaranya tak bisa menembus dinding kaca. Aku memberi tanda bahwa aku tak mengerti apa yang diucapkannya. Ia mendekat, menoleh dengan hati-hati seakan takut ada yang mengetahui. Sampai di dekat pintu kaca ia kembali mengucapkan sesuatu, kali ini lebih panjang dari sebelumnya. Namun, aku tetap tak bisa menangkap kata-katanya. Aku menoleh ke belakang untuk mengetahui apakah ada orang yang melihat. Tak ada. Aku merasa perempuan itu dalam masalah dan ia hendak meminta pertolongan. Timbul niatku untuk berlari ke bangunan kafe tempat kasir berada, tapi aku melihat isyarat tangan perempuan itu yang melarangku sebelum ia kembali ke bagian gelap dalam ruangan toko. Aku mengabaikan isyarat perempuan itu, dan berlari menembus hujan ke arah bangunan kafe. Aku yakin perempuan itu butuh pertolongan.
Di dalam ruangan kafe cuma ada seorang kasir; seorang perempuan muda berambut pendek. Kasir berseru memanggil seseorang, lalu seorang perempuan lain keluar. Rambutnya juga pendek dan pirang sama seperti kasir itu. Perempuan yang baru keluar menunjuk daftar menu, tapi aku bertanya: “Kalian kembar ya?” Kedua perempuan itu mengangguk bersama-sama.
“Ada seseorang di dalam toko itu. Sepertinya ia dalam masalah. Sebaiknya kalian menengoknya,” ucapku. Dua perempuan saling pandang. Lalu perempuan yang baru keluar berkata: “Oh, itu. Saya akan menengoknya nanti. Sekarang silakan Anda memesan dulu. Tugas saya adalah melayani Anda, dan tugas dia adalah menerima bayaran dari Anda.”
“Sebetulnya saya ke sini cuma mau memberitahu soal orang itu. Saya tak berniat memesan apa-apa,” ucapku.
“Kalau begitu Anda bisa ke tempat lain,” jawab kasir.
“Tapi Anda berdua tahu bahwa ada seseorang di dalam toko buku itu, dan ia berada dalam masalah?”
“Tentu saja. Kami tahu,” ucap perempuan yang baru keluar.
“Dan kalian tak berbuat apa-apa?”
“Sudah saya katakan tadi, tugas saya adalah melayani dan tugas dia adalah menerima bayaran.”
Aku menggeleng-geleng.
Angin menderu-deru. Sementara hujan kian deras. Kanopi jaring menimbulkan suara seperti ada gelombang besar yang datang menghantam. Kursi-kursi berjatuhan. Aku bergegas ke pintu kafe dan menengok ke arah toko buku. Baru kuperhatikan bahwa di bagian atas dinding kaca toko buku itu ada mural sosok perempuan terbelit barisan huruf yang membentuk satu kalimat: Mors Vincit Omnia.
Aku kembali berlari ke toko buku dan langsung menengok ke dalam, tapi sosok perempuan itu tak tampak. Aku mengetuk-ngetuk pintu kaca, tapi tak ada perubahan apa-apa. Aku termenung dan berpikir-pikir. Sial. Kenapa aku harus repot dengan urusan ini?
Aku menimbang-nimbang sebentar, lalu kuputuskan kembali ke kafe. Begitu aku masuk ke kafe, kasir kembali berseru memanggil dan perempuan tadi kembali muncul. Aku melihat-lihat menu. Rupanya kafe itu disusun dengan konsep tertentu sehingga nama-nama di daftar menu merujuk ke nama-nama orang terkenal. Tanpa pertimbangan berarti aku memesan Shakespeare Roses Coffee.
Di ruangan ada beberapa meja. Aku memilih meja dengan dua kursi yang terletak di pojok. Aku sandarkan punggung di dinding sambil memperhatikan suara hujan yang tampaknya kian lebat. Sekonyong-konyong seorang perempuan masuk. Air menetes-netes dari jas hujannya. Ia langsung menuju kasir. “Gila hujannya. Banyak pohon tumbang. Di jalan protokol ada mobil yang tertindih. Pengemudinya perempuan. Waktu saya lewat tadi, ia masih terjepit.”
Kasir dan pelayan menunjukkan muka prihatin. Tampaknya mereka sudah saling mengenal. Perempuan itu melihat-lihat menu sambil membuka jas hujannya. Aku dapat menandai bahwa perempuan itu mengenakan seragam perawat. Aku juga dapat mendengar bahwa ia memesan minuman yang sama denganku.
Setelah memesan minuman, perempuan itu celingak-celinguk mencari tempat duduk. Ia melihatku dan berjalan mendekat.
“Maaf, bolehkah saya duduk di tempat Anda? Saya baru saja melihat peristiwa mengerikan. Saya masih terkejut. Saya butuh bersandar. Setiap kali datang kemari saya duduk di tempat Anda sekarang, itu bisa membuat saya merasa hangat dan tanpa beban.”
Aku bangkit. Perempuan itu segera duduk di kursi yang tadi kutempati, sementara aku duduk di kursi satunya. “Saya boleh duduk di sini?” tanyaku. Pertanyaan retoris, sebab aku sudah duduk. Perempuan itu mengangguk. Kami duduk berhadap-hadapan, tapi selama beberapa saat kami tak berucap apa-apa. Aku memikirkan perempuan di dalam toko buku. Sedang perempuan itu mungkin memikirkan peristiwa yang baru saja dilaluinya: pohon tumbang menimpa sebuah mobil dan seorang perempuan terjepit di dalamnya.
Sebentar kemudian pelayan mengantar pesanan kami. “Kita memesan kopi yang sama,” ucap perempuan itu. “Iya,” jawabku.
“Siapa namamu?”
“Romeo,” jawabku.
“Seperti nama laki-laki, ya?” tanyanya. Kuperhatikan papan nama kecil di dadanya: Julia.
“Kalau begitu mari kita bersulang,” katanya lagi. Kami mengangkat dan mendekatkan cangkir ke satu sama lain.
“Mors Vincit Omnia,” bisiknya, sebelum kami menyesap minuman masing-masing. [T]