Tulisan ini merupakan tulisan pertama dari laporan pandangan mata pelaksanaan semiloka dwiwindu ilmu pariwisata yang digelar di Kampus Poltekpar Bali, pada Senin 25 Maret 2024. Ada tiga pembicara yang hadir kala itu yakni Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt; Prof. Azril Azahari, Ph.D dan Prof. Dr. Diena Mutiara Lemy, A.Par., M.M., CHE. Berikut, ulasannya ditulis I Made Sarjana.
***
SEMUA orang menjadi wisatawan, namun tidak semua orang paham pariwisata. Inilah menjadi alasan kenapa ilmu pariwisata belum diakui sepenuhnya sebagai ilmu mandiri. Pariwisata didefinisikan sebagai perjalanan sementara seseorang untuk keluar dari rumah atau meninggalkan pekerjaan rutinnya. Alibi yang muncul sangat beragam seperti mencari ilmu atau meningkatkan kapasitas diri (sekolah, kursus, atau studi banding), mendapatkan pengelaman baru, bertemu kerabat atau sahabat maupun sekedar jalan-jalan menghilangkan kejenuhan. Alasan spiritual pun kerap menjadi pertimbangan orang rehat sejenak dari tanggung jawab sehari-hari. Sebagai contoh, warga Hindu akan mengisi waktu liburan dengan tirta yatra atau bersembahyang ke beberapa pura.
“Namun demikian, banyak orang menjawab tidak tahu Ketika disodori pertanyaan apa itu pariwisata,” tutur Peneliti Pusat Unggulan Pariwisata (PUPAR) Universitas Udayana Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt kala membuka presentasinya pada Semiloka Dwiwindu Ilmu Pariwisata, Senin (25/3/2024) di Kampus Poltekpar Bali, Kampial Nusa Dua. Lebih jauh dia bertutur jangankan orang biasa yang berprofesi sebagai buruh serabutan, pedagang atau petani, para akademisi yang berkutat dengan konsep dan teori keilmuan acap kali menjawab tidak tahu pariwisata tetapi dia melakukan aktivitas pariwisata.
Kondisi itu digambarkan sebagai suasana paradoks, sama halnya dengan perdebatan status pariwisata itu ilmu mandiri atau bukan. Secara formal, pariwisata telah dideklarasikan sebagai ilmu mandiri sejak 31 Maret 2008, dan 31 Maret 2024 ini genap berusia 16 tahun atau dwiwindu. Prof. Darma Putra mengakui bahwa pariwisata baru muncul sebagai bidang studi baru tahun 1990-an. Banyak orang bepergian untuk menunjukkan dirinya sebagai pribadi berbeda dengan warga lainnya, paham ini sebagai wujud “aktualisasi diri” pada konsep Maslow. Belum diakuinya pariwisata sebagai ilmu mandiri, karena dianggap pariwisata belum memiliki kajian. Tudingan ini direspon dengan munculnya teori-teori pariwisata dalam berbagai istilah. tourology (Leiper, 1981), tourismology (Jovicic, 1988), atau turystologia (Chłopecki, 2005).
Lantas kenapa masih terkesan bukan sebagai ilmu mandiri? Prof. Darma Putra punya penjelasan Panjang. Pertama, orang belajar pariwisata sangat dominan pada pendidikan vokasi (skill) daripada kajian (science). Hasil akhirnya lebih berorientasi pada upah daripada karya ilmiah, atau imajinasinya soal komisi daripada publikasi. Kedua, pada etafe awal perkembangannya pariwisata diposisilan sebagai sub-disiplin dari ilmu konvensional seperti Antropologi, Ekonomi, dan Geografi. Hal ini dikarenakan penyebutan pariwisata, minus morfem –logi pada nama seperti dalam sosiologi dan antropologi.
“Bukankah, tak semua ilmu punya morfem –logi, seperti ilmu politik,sejarah, ekonomi?” tanya Prof. Darma Putra Retoris. Keempat, konsekuensi dari sub-disiplin adalah pariwisata sebagai disiplin tanpa teori sendiri. Argumentasi paling akhir pariwisata “dibully” bukan ilmu mandiri karena pariwisata lebih berasosiasi rekreasi daripada riset; on leave vs on duty; informative vs depth interview.
Dalam perspektif Prof. Darma Putra ada empat tahap yang mesti dilalui pariwisata atau cabang ilmu lain menuju pengakuan sebagai disiplin. Tahap awal, ilmuwan mengenalkan objek dan fenomena baru sebagai materi untuk disiplin ilmu baru dengan bahasa yang mencukupi. Selanjutnya, ilmuwan membangun metode dan teori riset untuk disiplin baru. Tahap ketiga, ilmuwan menghasilkan banyak pengetahuan spesifik dari publikasi riset yang menunjukkan penggunaan metode yang dibangun. Pada puncaknya, ilmuwan menjaga dan meneruskan ilmu pengetahuan yang dihasilkan pada tahap pertama sampai tahap ketiga.
Lantas seberapa pantas, pariwisata mengantongi predikat sebagai ilmu mandiri? Untuk menjawab pertanyaan mendasar ini, Prof. Darma Putra punya segudang asumsi untuk meyakinkan khalayak bahwa pariwisata itu memang memenuhi syarat sebagai ilmu mandiri. Pariwisata sudah dipelajari di lembaga pendidikan tingkat sarjana dan pascasarjana di dunia. Jadi pariwisata itu lebih dari vokasi. Bila akademisi atau penulis ingin mencari referensi, tentu eksistensi jurnal khusus pariwisata jawabannya. Sudah banyak jurnal bereputasi yang memperkuat pariwisata sebagai ilmu. Sebut saja, Annal of Tourism Research yang diterbitkan sejak 1973 dan Current Issues in Tourism yang terbit sejak 1998.
Asumsi lain yang juga menguatkan, jumlah mahasiswa prodi pariwisata rata-rata lebih tinggi daripada mahasiswa prodi lain, seperti antropologi, arkeologi, dan sejarah. “Ada fakta unik dan menarik itu, kendati bidang kajian pariwisata baru diakui sebagai ilmu pada tahun 2008 sekaligus membuka jalan pembentukkan fakultas pariwisata, namun pengangkatan professor pariwisata di Indonesia mulai 2001. Dan kini ada banyak professor pariwisata; professor ilmu pariwisata yang pertama adalah Prof. Ir. I Gde Pitana, M.Sc., Ph.D., ditetapkan pada 1 Oktober 2001. Sementara itu, Prodi Magister Pariwisata direstui pertama 2001, di Program Pascasarjana Unud,” papar Prof. Nyoman Darma Putra.
Asumsi lainnya pariwisata itu ilmu mandiri, Tahun 2010, Pascasarjana Unud membuka Prodi Doktor Pariwisata; pertama di Indonesia. Jika ditelusuri jumlah Prodi dan Fak Pariwisata di Indonesia bertambah terus, kini bagai jamur di musim hujan. Secara kelembagaan dan komunitas akademik yang mendukung ilmu pariwisata sebagai ilmu mandiri juga sudah hadir Hildiktipari dan Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) yang mendukung pengembangan pariwisata dalam tiga ranah: Industri, Ilmu, dan Institusi Pendidikan Kepariwisataan. Disamping itu, jurnal pariwisata sebagai media deseminasi keilmuan hadir sebagai penguat pilar ilmu pariwisata.
Dalam perspektif Prof. Nyoman Darma Putra, ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pengembangan pengembangan Ilmu Pariwisata. Pertama, kuatnya trend riset pariwisata yang positivistik, pemecahan masalah pembangunan pariwisata yang menimbulkan sikap over-optimistic dan bias-positif. Kedua, dominannya paradigma pariwisata berkelanjutan, namun fakta kebalikannya terabaikan: ketika over tourism sudah nyata, strategi peningkatan angka kunjungan terus didorong sebagai indikator kemajuan.
Ketiga, kurangnya teori-teori baru dari kajian pariwisata mengingat selama ini, teori yang banyak dipakai adalah teori atau pendekatan lama seperti tourism area life cycle, host-guest, dan tipologi tourist. Keempat, ketika muncul teori atau pendekatan baru seperti Community Based Tourism (CBT), Creative Tourism, Alternative Tourism, aplikasinya tetap condong pada developmentalism bukan kritik atas pembangunan. Terakhir, kajiannya, pro-program pemerintah daripada kondisi nyata lapangan.
Menyimak fakta-fakta historis dan empiris dari ilmu pariwisata dan tantangannya di masa depan tersebut. Prof. Nyoman Darma Putra pun mempersembahkan sekuntum kamboja pada ulang tahun ilmu pariwisata yang ke-16 tanggal 31 Maret 2024. Ada enam helai dalam putik kamboja yang ditawarkan yakni diformulasikan sebagai abjad KAMBOJA.
Uraiannya, huruf K berarti ilmu pariwisata harus dibangun dalam kajian kritis, dan kolaboratif-multidisipliner. Huruf A dengan pendekatan adaptif, adoptif, maupun “adeptif” alias dapat dijual. Sementara itu M ditekankan sebagai upaya menggali dan mengembangkan metode keilmuan pariwisata harus lebih inovatif, dan up to date. B-nya mengandung pengertian brief-policy oriented, diikuti O sebagai upaya tak kenal lelah mewujudkan orisinalitas karya. Ada huruf J yang menunjukkan penguatan pariwisata sebagai ilmu mandiri membutuhkan jejaring stakeholders (pemangku kepentingan); serta huruf paling akhir yaitu A lagi diartikan sebagai para pemangku kepentingan pariwisata mesti aktif publikasi, dan aktif aplikasi.
Boleh jadi, sekuntum kamboja ini belum cukup disuntingkan ditelinga si gadis “ilmu Pariwisata” yang mulai menunjukkan pesonanya di usia 16 tahun. Jika ada yang punya hadiah berbeda dari sudut pandang lain tentu akan semakin indah. Intinya, dari balik semerbak bunga kamboja yang disodorkan Peneliti Pusat Unggulan Pariwisata Unud Prof. I Nyoman Darma Putra, dengan senang hati kita berujar “Dirgahayu Ilmu Pariwisata Indonesia”. [T]