Oleh: Pramono dan I Made Pria Dharsana
TULISAN kolom Satjipto Rahardjo, “Kuasa Sang Hakim“ mendudukan bahwa para hakim memang berkuasa. Tapi itu berbatas di ruang pengadilan saja. Di dalam ruangan hakim memang benar-benar raja, karena kalau menganggu jalannya sidang, seorang menteripun bisa saja disuruhnya keluar. Duduk bertumpang kaki pun, kalau itu tak berkenan di hati sang pengadil, bisa diperintahkan keluar. Memang, dalam persidangan di Inggris saja orang tak berani duduk bertumpang kaki. Begitulah mereka menghormati hakimnya.
Kolom itu dimuat di halaman 104, Majalah Tempo, Edisi, 27 April 1990 silam, dan dia menyebutkan bahwa idealisasi adalah adalah bagian lumrah dari kehidupan sehari-hari, tapi asal kita tetap sadar bahwa itu adalah idealisasi, bukan keadaan yang sebenarnya. Orang Indonesia suka memberikan atribut kepada hakimnya sebutan yang muluk-muluk, yang mengesankan bahwa hakim itu sudah “bukan manusia biasa..
Ia mengatakan, “berpikir dalam penghayatan terhadap negera Indonesia yang berdasarkan hukum ini dicerminkan dalam penghormatan kita terhadap hakim kita. Dan penghormatan terhadap kedudukan yang ada kaitannya dengan kekuasaan saja tentulah kurang tepat. Apalagi dalam penjelasan UUD dikatakan,”ini adalah negara yang berdasarkan hukum, bukan kekuasaan semata”. Dengan memberikan penghormatan yang semestinya kepada hakim, mudah-mudahan hal itu akan bisa merupakan lambang bagi komitmen terhadap nilai-nilai keadilan”.
Satjipto Rahardjo, mempertanyakan apakah jika sudah memberikan tempat yang cukup terhormat kepada para hakim, lantas mereka bisa melenggang seenaknya atau tak perlu meyakinkan kepada masyarakat bahwa mereka itu memang pantas diberikan kehormatan? Sebagai institusi sosial, hakim dan pengadilan jugan tak terbebas dari kewajiban untuk senantiasa meyakinkan public akan kebenaran dan keabsahan posisinya. Karena itu, grafik penghormatan terhadap hakim juga bisa naik turun, kendati kepada mereka secara normtif sudah diberikan kedudukan yang terhormat dalam masyarakat.
Satu hal yang menjadi catatan, Satjipto Rahardjo, yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini adalah tradisi kita yang gemar dibuai oleh pernyataan-pernyataan yang bersifat ideal dan kemudian menerima dan memperlakukannya sebagai suatu kenyataan. Idealisasi adalah adalah bagian lumrah dari kehidupan sehari-hari, tapi asal kita tetap sadar bahwa itu adalah idealisasi, bukan keadaan yang sebenarnya.
Orang Indonesia, menurut Satjipto Rahardjo suka memberikan atribut kepada hakimnya sebutan yang muluk-muluk, yang mengesankan bahwa hakim itu sudah “bukan manusia biasa”. Tapi menurut hemat Saya, apa yang dipahami Guru Besar FH Undip ini barangkali hal itu diperlukan karena masyarakat mengharapkan agar hakimnya bisa membuat prestasi yang baik dan besar sehingga perlu juga diciptakan mitos tentang hakim yang kualitasnya sudah jauh diatas manusia biasa.
“Tapi mitos adalah mitos. Kita tak perlu kaget apabaila ada hakim yang bertindak begini atau begitu yang sudah tak sesuai dengan gambarannya sebagai seorang besar yang memegang pusat keadilan,” ujar Prof Tjjp yang biasa dijuluki begawan sosilogi hukum Indonesia yang pertama mencetuskan gagasan hukum progresif ini.
Selanjutnya, ia menilai soal kesadaran dan pemahaman sosiologis, bahwa hakim adalah manusia biasa yang tentunya juga berafiliasi dengan berbagai faktor layaknya manusia biasa, seyogianya dimiliki masyarakat. Dengan demikian, apabila ada sekian haki, akan ada sekian macam hakim pula, seperti ditentukan oleh latar belakang sosialnya, pendidikannya, religiusitasnya bahkan juga afiliasinya dengan keluarganya. Intinya, tak ada keputusan hakim yang persis sama, kecuali hakim digantikan oleh mesin atau komputer. Jadi, keputusan hakim adalah keputusan manusia dengan sekalian kompleksitasnya.
Menurut hemat penulis, kebebasan hakim menjatuhkan putusan haruslah independen dan tidak ada satu apapun yang mempengaruhinya, tapi bukan berarti kekebasan itu tanpa batas, sebab seorang hakim dalam menjatuhkan putusannya harus berdasarkan hukum yang ada, dan ia tidak boleh semena-mena dengan alasan independensi. Independensi adalah jaminan terlindunginya Hak Asasi Manusia (HAM). Maka, bisa dikatakan bahwa independensi hakim itu bukan hak, melainkan wajib. Maka penting, untuk merekonstruksi pemaknaaan soal independensi hakim. Independensi hakim harus memiliki kompetensi, imparsial dan akuntabilitas.
Teraitkan independensi hakim, melaksanakan imparsialitas adalah kewajiban. Independensi dan imparsialitas menjadi rule yang berlaku di semua peradilan di dunia. Dan tidaklah keliru peranan hakim sangat berpengaruh dalam sistem kehakiman di Indonesia. Hakim bukan sekedar pejabat yang diberi tugas menegakkan hukum berdasarkan Undang-undang, namun hakim bertugas menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya, hakim tidak boleh mengatakan, tak ada UU apabila ia dihadapkan suatu sengketa yang ia sidangkan, hakim harus bisa menggali nilai-nilai hukum dalam masyarakat dan ia harus bisa membuat hukum, dan jabatannya harus mampu menemukan hukum (judge made law).
Mengutip peryataan Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, (Unibraw), Malang, Muchamad Ali Safaat, semua negara sepertinya kesulitan menjaga kekuasaan kehakiman untuk tetap independen dan merdeka. (Hukumonline, Nopember (14/11/23). Kekuasaan kehakiman memegang kekuasan yang tergolong kecil dibandingkan cabang kekuasaan lain. Hakim mengandalkan putusan sebagai bentuk kekuasaannya. Tapi hakim tidak memliki perangkat untuk melakukan upaya paksa karena yang punya instrument itu adalah cabang eksekutif. Dan hakim juga tidak punya kewenangan membentuk regulasi walau putusannya dapat mempengaruhi pembentukan hukum. Artinya apa, kekuasaan kehakiman mempunyai marwah sejajar dengan eksekutif dan legeslatif bari diabad 21.
Sejatinya, hakim termasuk aparat penegak hukum yang relative independen dan merdeka mengingat berada di bawah cabang kekuasaan sendiri yaitu yudikatif, berbeda dengan Polisi dan Kejaksaan yang berada dibawah ekesekutif, sehingga rentan diintervensi. Contohnya; dalam kasus “Cicak vs Buaya dimana Presiden meminta urusan KPK dan Polri diselesaikan di luar pengadilan. Kendati lebih independen dan merdeka dibanding aparat penegak hukum lain, tapi Dosen Unair ini menegaskan bukan berarti kekuasaan kehakiman bebas intervensi.
Tercatat sedkitnya ada celah masuknya intervensi kepada kekuasaan kehakiman. Pertama, pengaturan kelembagaan karena setiap lembaga negara termasuk pengadailan dibentuk melalui undang-undang dan aturan hukum. Misalnya UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman, UU No 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU No 2 Tahun 2003 tentang Mahakamh Konstittusi, serta Undang-Undang disetiap lingkungan peradilan lainnya. Kedua, intervensi bisa masuk lewat celah anggaran. Dan hal ini menjadi persoalan yang signifikan walau sempat ada hakim agung yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi karena anggaran MA tidak cukup. Ketiga mematuhi putusan hakim. Dalam hal ini, pengadilan tidak punya instrumen untuk menegakan putusan hakim. Keempat, seleksi jabatan juga membuka celah intervensi. Misalnya, memperpanjang masa jabatan hakim MK dengan cara melakukan pertemuan dengan DPR, dan lain sebagainya.
Masih menurut Ali Safaat, intervensi itu terjadi karena ada cabang kekuasaan yang merasa terancam dengan kekuasaan kehakiman yang independen dan merdeka. Misalkan MK yang membatalkan Undang-Undang yang sebelumnya telah dibahas oleh pemerintah dan DPR RI. Dan imbasnya seorang hakim konstitusi dicopot karena dinilai banyak membatalkan undang-undang yang dihasilkan DPR RI. Apalagi MK adalah lembaga yang berhak memutus, sudah pasti kepentingan DPR RI dan partai politik ada disana. Bisa juga ada intervensi lain terhadap kekuasan kehakiman karena lemahnya ingritas hakim akhirnyanmembuka peluan untuk diintervensi demi keuntungan pribadi serta lemahnya pengawasan publik terhadap kekuasaan kehakiman.
Dan menurut hemat penulis, seyogianya memang kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak adalah sesuatu yang mutlak harus ada karena merupakan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Konsep independensi kekuasaan kehakiman, mengharamkan tekanan, pengaruh, dan campur tangan dari siapa pun. Dan prinsip independensi peradilan melekat dan tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya.
Dengan demikian, sudah seharusnya independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, bebas dari pengaruh luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik dengan imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.
Penulis juga berpendangan kemerdekaan hakim erat kaitannya ketidakberpihakan (sikap imparsial hakim), baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan. Hakim tidak independen tak bisa bersikap netral dalam menjalankan tugasnya. Dimana kemerdekaan fungsional, mengandung larangan bagi cabang kekuasaan yang lain untuk mengadakan intervensi terhadap hakim dalam melaksanakan tugas justisialnya.
Dalam hal ini, kemerdekaan tersebut tidak pernah diartikan mengandung sifat mutlak, karena dibatasi oleh hukum dan keadilan. Kemerdekaan hakim bukan merupakan privilege atau hak istimewa hakim, melainkan merupakan hak yang melekat (indispensable right atau inherent right) pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair trial). Intinya, maksud dari peradilan yang bebas dan tidak memihak adalah hakim tidak boleh dipengaruhi dan bebas intervensi dari pihak manapun dalam menjalanakan kewajiban daan wewenangnya.
- Pramono, penulis pengamat Kebijakan Piblik yang kini masihMahasiswa di Fakultas Hukum Univeristas Islam Sultan Agung, Semarang
- I Made Pria Dharsana, penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Bali